KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Selasa, 20 Januari 2009

konflik Sumberdaya Perikanan di Perairan Morotai (Perspektif Psikologi Sosial dan perilaku Agresi nelayan morotai dalam mempertahankan eksistensinya

Kepulauan Morotai adalah gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara yang terletak pada wilayah perbatasan antar negara yaitu antara Indonesia dengan Republik Palau di kawasan pasifik. Morotai dengan posisi sebagai Pulau kecil perbatasan yang berada di wilayah pasifik, menjadikan wilayah ini mempunyai potensi perikanan tangkap cakalang yang besar karena secara alamiah migrasi ikan cakalang dari laut Jepang ke lautan pasifik dan seterusnya ke laut Maluku, Laut Halmahera dan Laut Banda melintasi wilayah perairan ini. Menurut Arifin (2006), daerah 4 mil dan 12 mil kepulauan Morotai tergolong DPI cakalang yang potensial.

Lautan Morotai sudah dianggap oleh masyarakat Morotai sebagai tempat memenuhi kebutuhan keluarga dan mencari nafkah ekonomi. Pandangan mereka tentang wilayah perairan tersebut lebih dari pada hanya sekedar sebagai tempat eksploitasi hasil laut saja, namun mereka mempunyai anggapan bahwa wilayah kelautan Morotai adalah warisan nenek moyang mereka yang harus dijaga dan penggunaannya untuk seluruh keturunan masyarakat Morotai. Masyarakat Morotai juga melakukan uparaca-upacara adat yang diperuntukkan agar terjadi keseimbangan alam atas dieksploitasi sumberdaya kelautan. Pemanfaatan kelautan Morotai sudah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Morotai untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka. Perkembangan masyarakat dan kebutuhan ekonomi sudah membuat mereka lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan keluarga dan pasar, walaupun dalam skala yang masih sederhana. Kesederhanaannya masih dapat dilihat dari cara mereka menggunakan sumberdaya peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan di lautan Morotai.

Ketergantungan masyarakat pada sumberdaya kelautan merupakan salah satu faktor yang mencerminkan bahwa mereka adalah masyarakat nelayan. Sumberdaya kelautan sebagai sumberdaya yang bisa diakses oleh semua orang karena tidak memiliki batas-batas sertifikasi kepemilikan atau sering disebut open acces resources. Seperti juga di kelautan Morotai yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di luar suku Morotai. Ada beberapa kelompok nelayan yang memanfaatkan sumberdaya kelautan Morotai yaitu masyarakat dari Bitung-Sulawesi Utara hingga nelayan dari Filipina. Masyarakat dari luar tersebut mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh masyarakat Morotai. Artinya, masyarakat Morotai lebih tertinggal dalam teknologi peralatan penangkapan ikan. Sehingga, perolehan yang diharapkan antara kelompok-kelompok tersebut sangat berlainan. Padahal jumlah hasil tangkapan ikan diakumulasi lebih dari 400 ton lebih setiap hari. Dari hasil perolehan tersebut, masyarakat Morotai tidak lebih dari 15% hasil penangkapan ikan yang diperolehnya.( Ismail; 2007 )

Ada beberapa kendala yang menyebabkan nelayan di kepulauan Morotai mempunyai hasil tangkapan yang kecil antara lain, Pertama; tingginya harga BBM merupakan salah satu kendala yang sangat dirasakan oleh nelayan di kepulauan Morotai, dengan tipologi wilayah kepulauan dan aksesibilitas antar desa yang rendah menyebabkan harga BBM antara desa satu dengan desa yang lainnya sangat berbeda, kisaran harga BBM di kepulauan Morotai antara Rp. 7000/lt sampai dengan Rp. 7500/lt. Kedua; rendahnya harga ikan. Ketiga; banyaknya nelayan asing yang melakukan penangkapan di wilayah perairan kepulauan Morotai, seperti halnya dari Bitung dan negara Taiwan, serta Philipina. Ke empat; peralatan penangkapan ikan ( sarana dan Prasarana) yang belum memadai. Sebagai pulau-pulau kecil terluar, kepulauan ini mempunyai kondisi wilayah yang tertinggal, baik sumber daya manusia, tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang terkebelakang, dan infrastruktur wilayah yang belum memadai. Hal ini dapat terjadi karena wilayah-wilayah terluar selama ini dibangun berdasarkan pada pendekatan keamanan (security aproach) di bandingkan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity aproach).

Permasalahan
Masyarakat Morotai yang kesehariannya memenuhi kebutuhan dari proses mencari sumberdaya laut sangat tergantung pada hasil yang diperoleh dari usahanya mencari ikan. Persaingan yang terjadi dalam usaha mencari ikan dengan nelayan-nelayan dari luar masyarakat Morotai tidak dapat dielakkan, bahkan cenderung berujung pada prilaku agresi nelayan lokal terhadap nelayan asing, ataupun sebaliknya. Persaingannya menjadi sangat dirasakan dampaknya ketika perbedaan teknologi sarana dan prasarana peralatan penangkapan ikan antara masyarakat Morotai dan masyarakat luar tidak seimbang. Artinya, peralatan tangkap masyarakat Morotai yang masih sederhana (tradisional) tidak dapat bersaing dengan masyarakat luar yang memiliki peralatan tangkap ikan yang sudah lebih maju (moderen) dilengkapi dengan alat global positioning system (GPS) untuk memantau ikan.

Pada akhir Tahun 2003 yang lalu terjadi bentrokan fisik antara masyarakat Morotai dan nelayan dari Philipina. Bentrokan dilakukan oleh masyarakat Morotai dengan melakukan pengeroyokan kepada nelayan dari Philipina. Permasalahannya adalah mengapa masyarakat Morotai menyerang nelayan dari luar wilayah Filipina yang mencari ikan di daerah perairan Morotai? Untuk menjelaskan perilaku masyarakat tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskannya berdasarkan kajian psikologi sosial.
Agresi dalam Pertikaian Sumber Daya Perikanan di Perairan Morotai. Dalam studi –studi antropologi maritim, (Kusnadi, 2002) justru memperlihatkan kepada kita bahwa dibeberapa bagian dunia juga masih ditemukan adanya klaim pemelikan (praktik hak ulayat laut) oleh kelompok-kelompok nelayan yang mendiamai suatu kawasasan pesisir. Pemahaman ini samapai sekarang masih mendominasi masyarakat dikawasan pesisir pulau Morotai. Laut dengan sendirinya dianggap sebagai Property.
Morotai adalah pulau terluar indonesia yang berdekatan dengan samudra pasifik, dan berbatasan dengan Republik Palau dan Philipan. Di perairan Morotai memiliki potensi sumber daya perikanan yang cukup melimpah. Dengan Sumber daya perikanan yang melimpah tersebut, membuat banyak para nelayan lokal maupun asing dijadikan sebagai area potensial untuk penagkapan ikan.

Pertikaian diatas laut seringkalai tidak dapat dihindarkan antara dua komunitas nelayan ( Morotai dan Philipina) dalam memperebutkan Sumber daya perikanan di Perairan Morotai.. Pemukulan dan pengrusakan beberapa tahun lalu, yang dilakukan nelayan lokal diatas kapal nelayan philipina merupakan bagian dari bentuk-bentuk kekerasan. Dan kekerasan merupakan sebuah manifestasi dari perilaku agresi. Oleh karenanya Pemukulan, dan pengrusakan alat –alat penangkapan dan navigasi kapal nelayan Philipina yang di lakukan oleh kelompok nelayan lokal (morotai ) adalah perilaku agresi yang muncul akibat dari tata nilai dan adat-istiadat yang berkembang dalam masyarakat tradisional di kawasan pesisir yang menganggap sumber daya laut yang ada diperairan Morotai sebagai hak milik (Property), oleh karenanya kehadiran nelayan asing melakukan penangkapan ikan diperairan Morotai dianggap merampas sebagian propertynya.
Agresi itu sendiri menurut Murray, di defenisikan sebagai suatu cara untuk melawan secara kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh atau menghukum orang lain. Atau secara singkat agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Sedangkan menurut Sarwono (2002) agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.

Kasus penyerangan nelayan Morotai terhadap Nelayan Philipina di perairan Morotai setidaknya dapat memberikan gambaran agresi dari sudut padang psikologi sosial.
Sebagai pulau-pulau kecil terluar, kepulauan Morotai ini mempunyai kondisi wilayah yang tertinggal, baik dari aspek sumber daya manusia (pengetahuan), tingkat kesejahteraan ekonomi, dan infrastruktur wilayah, serta secara geografis umumnya di Maluku Utara termasuk kepulauan Morotai mempunyai suhu udara yang cukup panas. Dengan melihat fenomena sosial-ekonomi dan kondisi geografis tersebut, dalam perspektif psikologi sosial dapat saja memunculkan prilaku agresi seseorang atau kelompok tertentu.

Hal ini sebabkan karena Kemiskinan juga merupakan salah satu penyebab dari tindakan agresi. Menurut Byod Mccandless ( mu’tadin, Z,1991), mengatakan bahwa bila seseorang itu dibesarkan dalam lingkungan komunitas yang miskin maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Sementara pada sisi yang lain, kondisi geografis dengan suhu yang tinggi di Perairan Morotai merupakan penyebab munculnya perilaku agresi. Argumentasi teoritik dapat dilihat dari adanya pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresifitas. Pada tahun 1968 Us Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresifitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat di bandingkan dengan musim-musim lainnya ( Fisher, et al, dalam sarlito Psikologi Lingkungan 1992).

Dari berbagai penyebab-penyebab prilaku agresi yang dijelaskan diatas sehubungan dengan ulasan kasus pertikaian sumber daya perikanan di perairan Morotai, maka dalam konteks ini kita akan mencoba menggunakan perspektif situasional dalam prilaku agresif satu diantaranya adalah In Group Vs Out Group Conflict.Dalam Perspektif ini menjelaskan bahwa perilaku agresi seringkali didasarkan atas konflik antar kelompok. Konflik antar kelompok seringkali dipicu oleh perasaan In Group Vs Out Group sehingga anggota kelompok di warnai perasaan prasangka. Salah satu teori prasangka adalah Realistic Conflict Theory yang memandang prasangka berakar dari kompetisi sejumlah kelompok sosial terhadap sejumlah komuditas ( sumber daya) maupun peluang. Apabila kompetisi berlanjut maka masing-masing anggota akan memandang anggota kelompok lain sebagai musuh, jika terdapat isysarat agresi maka perilaku agresi akan muncul.

Sepertinya, sikap dan perilaku antar kedua kelompok nelayan tersebut cenderung merefleksikan kepentingan kelompoknya. Ketika kepentingan-kepentingan kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan di perairan Morotau tidak kompatibel atau, dengan kata lain ketika kelompok nelayan asal philipina berhasil memperoleh hasil tangkapan ikan yang lebih banyak dari kelompok nelayan lokal, maka respons psikologi sosialnya cenderung negatif terhadap nelayan philipina: sikap berprasangka, penilain terbias, dan perilaku permusuhan akan terjadi, dan berujung pada perilaku agresi. Namun ketika kepentingan-kepentingan tersebut kompatibel atau lebih baik lagi, maka reaksinya akan lebih positif seperti toleransi, adil, dan ramah ( Rupert Brown dalam Prejudice, 2005)

Sumber daya perikanan adalah sumber daya yang sangat terbatas. Hal ini memungkinkan proses eksploitasi penangkapan ikan harus memperhatikan aspek-aspek ekologis untuk keberlanjutan spesis ikan yang terdapat didalap “perut” perairan Morotai. Sumber daya yang terbatas, diperhadapkan dengan kompetisi nelayan lokal dan Philipina yang menggantungkan nasib di laut sebagai sumber kehidupan mereka, seringkali terjadi kompetisi dalam perebutan sumber daya, dalam situasi demikian akan memunculkan perilaku agresi. Di sisi lain Praktek penangkapan nelayan asal philipana yang tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan ekologis dan keberlanjutan spesis ikan diperairan morotai membuat nelayan lokal merasa terancam, karena terganggunya sumber-sumber kehidupan dimasa datang sebagai nelayan lokal.

Dalam pada itu, sepertinya bagi kami prilaku agresi berkembang karena adanya kompetisi sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya. Dalam hal ini terjadi perebutan satu macam sumber daya yang dipandang terbatas, dan diperebutkan oleh kedua belah pihak. Dalam Perspektif sosiobilogis, manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang terpenting itu terbatas, ketika mengalami ketidaknyamanan, ketika sistem sosial tidak berjalan dengan baik, dan ketika ancaman dari pihak luar, (Dunkin, 1995). Hal ini semua dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia.

Dengan demikian, perilaku agresi nelayan lokal Morotai terhadap nelayan philipina di perairan Morotai utara, tidak semata-mata disebabkan oleh kondisi kemiskinan yang dialami oleh masayrakat nelayan lokal ( Morotai, atau dikarenakan kondisi suhu wilayah yang cukup panas seperti yang diungkapkan oleh Byod Mccandless ( dalam, Mu’tadin 2002), dan ( Fisher, et al dalam sarlito Psikologi Lingkungan 1992) yang lebih menekankan pada faktor suhu sangat mempengaruhi penyebab agersi. Namun ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi penyebab terjadinya perilaku agresi nelayan lokal terhadap nelayan philipina.

Sebagai penyebab terjadinya konflik antara nelayan lokal Morotai dan Nelayan Philipina, dapat dilihat dari interaksi antar individu atau kelompok nelayan Morotai, sepertinya ada kecendrungan untuk mengambil jalan pintas dalam mempersepsi individu atau kelompok nelayan asal phlipina, dengan cara memberikan ”cap” tertentu kepada individu atau kelompok nelayan philipina yang berkaitan dengan sifat-sifat yang khas yang seakan-akan menempel pada individu atau kelompok, misalnya nelayan philipina adalah penjahat laut, dan Kejam. Persepsi yang salah ini atau cap yang diberikan sesuai sifat disebut sebagai stereotip. Stereotip adalah keyakinan bahwa semua anggota kelompok sosial tertentu memiliki karakteristik atau traits yang sama, dan stereotip juga merupakan kerangka berpikir kognitif yang sangat mempengaruhi pemrosesan informasi sosial yang datang, (Baron & Donny Bryne 2004). Prasangka adalah sikap negatif terhadap individu atau kelompok tertentu, prasangka muncul karena adanya stereotip, Akibatnya terjadi penyimpangan pandangan dari kenyataan sesungguhnya, maka kecendrungan akan memberikan dampak negatif terjadinya konflik.

Oleh karenanya teori tentang sikap prasangka , dan stereotip, pada dasarnya berkompoten menjelaskan tentang sumber terjadinya konflik. Namun perlu di catat bahwa, penjelasan teoritis tersebut, masih melihat konflik pada tingkat individual (Hogg .2003a).

Diketahui bahwa, sumberdaya kelautan merupakan sumberdaya yang berhak diakses oleh banyak pihak. Namun terdapat perbedaan proses pemaknaan antara nelayan lokal dan nelayan lainnya, seperti nelayan dari Bitung dan Filipina. mereka sepertinya memiliki persepsi terhadap laut hanya sebatas sebagai objek. Berbeda dengan masyarakat Morotai yang mempunyai persepsi bahwa laut adalah kepunyaan yang bisa diajak berkomunikasi melali simbol sesaji yang dipersembahkan pada bulan tertentu, dan di lain sisi laut diperairan Morotai dianggap sebagai Property

Proses eksploitasi yang dilakukan oleh nelayan Bitung dan Filipina dianggap oleh masyarakat Morotai tidak menghargai keberadaannya sebagai sumberdaya yang bermakna. Oleh karena itu, pada proses yang ekstrim, masyarakat Morotai melakukan proses atribusi, persepsi dan kognitfnya terhadap perilaku mereka yang dianggap merugikan keberadaan sumberdaya kelautan dan keberlangsungan hidup serta perekonomian masyarakat Morotai. Mereka secara tidak langsung juga melakukan indentifikasi sosial dengan memposisikan dirinya dan stereotype terhadap nelayan Filipina. Proses selanjutnya adalah melakukan interaksi dengan nelayan tersebut dalam berbagai bentuk yang boleh jadi mengakibatkan konflik atau agresi, dengan tujuan memperingatkan mereka agar tidak melakukan eksploitasi di wilayah perairan laut ulayat masyarakat Morotai. Muzfer & Sherif Selama puluhan tahun melakukan eksperimen tentang proses kerjasama, dan terjadinya konflik antar kelompok, dan solusi untuk menyelesaikan konfliknya adalah menciptakan goal bersama yang menyangkut kepentingan bersama (superordinate goal).

Sebagai upaya melakukan resolusi konflik sehubungan dengan sering terjadinya pertikaian sumber daya perikanan di perairan Morotai yang melibatkan dua kelompok nelayan, diantaranya nelayan morotai dan nelayan phlipin, serta penyebab-penyebab yang memungkinkan terjadinya agresi atau konflik maka dalam pendekatan psikologi sosial dalam resolusi konflik kasus tersebut adalah dengan pertama kali menciptakan kondisi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk saling memenuhi kebutuhannya secara konstruktif. Untuk mengurangi bentuk kekerasan atau perilaku agresi kelompok nelayan tertentu, dengan menggunakan perspektif Burton diperlukanya langkah “preventif” yaitu suatu upaya untuk menghilangkan sumber konflik dan secara lebih pro aktif mempromosikan lingkungan yang positif untuk memungkinkan masyarakat secara konstruktif memenuhi kebbutuhan-kebutuhannya. Langkah ini sejalan dengan cara pandang Deutch (1993), bahwa dalam rangka resolusi konflik adalah bagaimana mengubah dinamika konflik dari kompetitif menjadi yang lebih kooperatif. Pada hakikatnya kontribusi teori Psikologi Sosial tidak terbatas hanya untuk menjelaskan dan memahami konflik, akan tetapi sudah lebih maju satu tingkat yaitu berkontribusi untuk resolusi konflik dan rekonsiliasi.

Tidak ada komentar: