KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Sabtu, 24 Januari 2009

Antara Generasi Popeda dan Generasi Perda di DPRD Halbar.

Tinggal menghitung hari, datangnya bulan kita akan menyongsong pesta demokrasi pemilihan legislatif yang akan berlangsung pada Bulan maret Mendatang. Di Halmahera Barat, dalam rangka menjemput pesta para calon bandit kekuasaan ini di meriahkan dengan berbagai macam baliho, umbul-umbul partai, spanduk yang bertuliskan slogan-slogan dan jargon politik yang terkesan “genit-genitan”. Umumnya dari keselurhan baliho bertuliskan siap memperjuangkan aspirasi masyarakat, siap menjadi calon "bandit kekuasaan" yang amanah. Namun tak nampak satu dari sekian banyak jejeran baliho yang dipajang disudut-sudut perempatan jalan, disamping pertokoan, yang jujur bertuliskan saya siap memperkaya diri dengan kemewahan dan fasilitas sebagai anggota dewan. Bahkan ada juga baliho dan sejenisnya dipajang berhadapan dengan tempat ibadah,kata temanku, seakan-akan mereka juga mengharapkan restu jama'ah dan keberpihakan Tuhan kepada diri mereka. Lagi-lagi Panwas didaerah ini pun terkesan acuh tahu, padalah pemasangan umbul-umbul partai dan baliho didekat tempat ibadah adalah suatu pelenggaran. Di daerah baru seperti halnya Halmahera Barat, adalah sesuatu yang lumrah bagi, dimana elit-elit lokal mempunyai kecenderungan bermain diwilayah politik praktis untuk menduduki lembaga legislatif semata-mata hanya ingin memperkaya diri. Mencari hidup di gedung dewan adalah target utama mereka mengikuti pencalonan dewan, ketimbang menghidupkan gedung dewan agar peduli terhadap kepentingan dan aspirasi masyarakat yang diwakilkannya. Potret Anggota dewan Halmahera barat periode 2004-2009 seharusnya memberikan gambaran nyata dan membuka mata bathin kita sebagai warga halmahera barat tentang betapa lemahnya institusi dewan kita saat itu, karena dipengaruhi oleh kwalitas dan daya kritisisme mereka dalam membaca fenomena sosial, politik, ekonomi dan budaya di daerahnya sendiri. tidak adanya kepekaan sosial, yang ada hanyalah kepekaan mereka menghitung APBD dan menggorotinya. Hasil menggorogoti APBD itu, pada momentum pemilihan nantinya mereka gunakan untuk membunuh kekritisisme masyarakat dengan cara membeli suara masyarakat, dan lain sebagainya.

James uang: Anggota DPRD Halbar
Pilih Mereka .? Mereka Kaya..!!! Kita Tetap Jadi Kuli..
Menjelang Pesta demokrasi (pemilihan Legislatif) di halmahera barat, mirip dengan suasana menjelang hari natal atau lebaran idul fitri. Para caleg bertindak sebagai dermawan kaya, yang membagikan sedikit zakat dan bantuan-bantuan lainnya dalam bentuk pakaian baru, kepada masyarakat yang tak mampu, seperti para janda , orang tua-tua jompo dan anak – anak terlantar, dengan mengharapkan doa darinya agar selalu diberikan rezeki dan hidayah dari Allah Swt. Sampai-sampai ada yang mengatakan disaat memberikat zakat/bantuannya, nenek..opa, doain saya semoga sehat selalu, banyak rejeki, sehingga tahun depan saya akan membagikan rejeki saya juga kepad nenek dan opa. Mereka terus memberikan bantuan berupa pakaian (batik), memberikan uang kepada masyarakat agar mereka dapat terpilih kembali pada pemilu legislatif mendatang.

Politik senter clas menjadi demikian dominan. Mereka sepertinya tidak tahu malu dan miskin iman, karena sesungguhnya nenek dan opa juga tahu, bahwa sebagian kelebihan dari rejekinya adalah juga milik opa dan nenek. Oleh sebab itu, di Halmahera Barat saat ini, sulit membedakan mana perayaan pesta demokrasi dan mana peryaaan menjelang hari idulfitri dan Natal tahun baru dimana para dermawan bergerilya memberikan zakat dan lain sebagainya kepada pemilih pemula.

Jika budaya tersebut, terus saja tetap dipertahankan, tanpa mempertimbangkan kwalitas anggota dewan yang bersangkutan, maka kedepan kita akan mengulangi tipe anggota dewan halbar yang datang ke gudung dewan bukan membawa buku agenda yang memuat keluhan-keluhan dan pesoalan masyarakat, akan tetapi yang mereka bawa di kantor adalah ngantuk, lesu atau loyo, dan malas. Untung saja mereka masing-masing mempunyai sopir pribadi, yang disediakan oleh sekretariat dewan, jika mereka mengemudikan sendiri, mungkin saja kasus kecelakaan berlalulintas di Halmahera barat rata-rata karena ngantuk, dan korban terbanyak boleh dikatakan para anggota dewan itu. Penyakit ngantuk, malas, lesu, membuat mereka kebanyakan mengalami impoten dalam memproduksi peraturan daerah (perda) dan serta mengartikulasikan kepentingan masyarakat banyak di halmahera barat.

Kata seorang sahabatku, penyakit Ngantuk, lesu, malas dan setengah tak berdaya oleh dewan kita, akibat dari overdosis konsumsi popeda.. mereka (anggota dewan Halbar periode 2004-2009) adalah masuk dalam kategori generasi Popeda bukan Generasi Perda. Ini adalah popeda yang sering dikonsumsi anggota dekab Halbar kita. Sebagai orang maluku-maluku utara pasti tahu dengan popeda. adalah sebagai produk makanan khas local, yang mengakomodasi kepentingan penyakit ngantuk, malas, dan lain sebagainya. Layaknya mereka mengkonsumsi obat perangsang penumbuhan otak agar mampu berpikir dan merumuskan kebijakan-kebijakan seperti halnya perda dan lain sebagainya yang menyentuh kepentingan masyarakat. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah memasuki Tahun ketujuh, di berbagai daerah telah bergiat membenahi daerahnya masing-masing. Di Halmahera Barat pemerintah Daerah mencoba membenahi berbagai sector, membangun berbagai dasar hokum sebagai pengatur aktivitas di daerah, termasuk didalamnya peraturan daerah. Kurang lebih 14 RANPERDA yang telah diajukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat kepada Pihak DPRD. Lagi-Lagi tak satupun Perda itu disahkan Oleh DPRD Kabupaten Halmahera Barat. Padahal Dalam ber-DPRD, untuk mengukur kinerja DPRD berhasil atau tidak dalam melaksanakan tugas dan tanggungjwabnya adalah dilihat dari berapa jumlah perda yang telah diundangkan. Tentu, hal ini berkaitan dengan fungsi legislasi mereka sendiri. Beberapa produk hokum ( perda) yang dirancang oleh pihak eksekutif Halbar, di pandang oleh mereka sebagai Produk yang lemah dari berbagai pendekatan analisis social, hokum, maupun akademik yang mereka pakai. Dengan Alasan ini, Perda yang diusulkan Eksekutifpun kemudian menjadi terbelangkalai, DPRD kabupaten Habar, terkesan mereka tidak mempunyai Animo yang besar untuk berdampingan dengan pihak eksekutif sebagai mitra dalam membangun Halmahera barat. Padahal dengan kehadiran PERDA sepertinya dapat membantu kelancaran pelayanan umum, serta menjamin hak – hak masyarakat di daerah kita. Sikap politik yang tidak proaktif ditampilkan DPRD Halbar atas berbagai RANPERDA yang diajukan oleh eksekutif, merupakan suatu bentuk kejahatan politik DPRD Halmahera Barat yang secara tidak langsung menghambat kelancaran pelayanan umum masyarakat, maupun ketidakrelaannya untuk menjamin hak-hak masyarakat di halmahera barat. Kini, tak ada harapan lagi bagi DPRD untuk mengesahkan beberapa RANPERDA menjadi PERDA, waktu kurang lebih satu bulan kedepan mereka hanya memikirkan untuk memperebutkan dan membeli suara pemilih, agar dapat terpilih pada pemilu nantinya. Tentu, Masyarakat Halbar tidak buta, pada siapa mereka akan jatuhkan pilihan politiknya. Karena mereka adalah kumpulan orang-orang malas, lemah, loyo, suak. Mereka-mereka ini merupakan generasi popeda yang tak layak dipilih kembali pada periode berikutnya, dan kita menyambut dan memberikan selamat datang pada “generasi perda” pada pemilu 2009 nantinya.

Baca Selengkapnya......

Ketika Roba (Roh Perubahan) Datang di Halbar.

Ketika reformasi digelindingkan pada tahun 1998 ,adalah suatu berkah yang harus disyukuri. Dari keberkahan di tahun itulah, telah berhasil merubah secara evolusioner sistem politik negara kita. Satu dari sekian banyak aspek dalam sistem politik yang berubah itu adalah semangat demokrasi pemereintahan kita dari sentaralisme ke arah desentralisasi yang merupakan ide dan gagasan besar yang suguhkan dari se-orang Ryas rasyid yang kini dikenal sebagai bapak arstitek Otonomi daerah. Konsep inilah yang merupakan awal mula dan cikal bakal lahirnya provinsi maluku utara, dan kemudian berbarengan dengan disahkannya undang – undang tentang pemekaran wilayah dimaluku utara, satu diantaranya adalah Kabupaten Halmahera Barat. Halmahera Barat, resmi ditetapkan sebagai salah satu kabupaten otonom di Maluku utara sejak hingga kini di awal penghujung tahun 2009 Halmahera Barat telah genap tiga berusia tahun. Sebelum adanya Undang-undang tentang pemekaran wilayah, secara administrasi pemerintahan dan pelayanan kepentingan masyarakat dijazirah halmahera barat ini, masih berada pada wilayah administarsi kabupaten Maluku Utara yang berkedudukan diternate. Halmahera Barat ketika itu hanya terdapat tiga kecamatan yakni, kecamatan jailolo, kecamtan ibu dan kecamtan lolooda sebagai perpanjang tangan pemerintah kabupaten Maluku Utara dalam melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan kepentingan masyarakat di daerah ini. Rentangkendai pemerintahan kabupaten dan kecamatan yang begitu jauh, tentu sangat berpengaruh terhadap aktifitas dan efektifitas pelayanan terhadap masyarakat, apalagi secara geografis di beberapa wilayah sepertihalnya loloda yang terisolir dari aspek sarana dan prasarana transportasi, tentu sangat sulit untuk melaksanakan fungsi dan tugas koordinasinya secara baik. Kini, Halmahera Barat telah menjadi salah satu kabupaten otonom di Maluku utara, hadirnya kebijakan politik pemerintahan (otonomi daerah) justru telah memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintahan antara pemerintah kecamatan dan Kabupaten yang berpusat di jailolo sebagai pusat pemerintahan. Disamping alasan memperpendek rentang kendali pemerintah, ada sisi lain yang ditangkap dalam semangat otonomisasi adalah pemerataan distribusi pembangunan dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Pemerintahan Halmahera Barat ketika itu masih berada pada masa transisi pemerintahan dari Gahral Syah kepada Wahyudin pora sebagai Pjs Bupati Kabupaten Halmahera Barat. Sebagai Kabupaten Induk, maka beban anggaran kabupaten Halmahera barat saat itu, harus di sisihkan sebagaiannya kepada kabupaten-kabupaten lain dimaluku utara sebagai “budget stimulus”. Oleh karenanya disadari pada masa transisi pemerintah kabupaten Halmahera barat ketika itu, belum memaksimalkan program-program pembangunannya, akan tetapi lebih memfokuskan arah dan kebijakan programnya pada pembenahan infrastruktur pemerintahan, dan disilain mempersiapkan hajatan demokrasi di Halmahera Barat yakni; pemilihan Bupati dan wakil bupati Halmahera Barat pada tahun 2005. Pada momentum ini juga , isi brankas APBD juga terkuras habis karena harus membiayai dua tahapan pemilihan Kepala daerah ketika itu. Lagi-lagi program pembangunan untuk masyarakat bukan menjadi prioritas utamanya, melainkan penguatan kelembagaan demokrasi didaerah ini. Hingga pada awal tahun 2006, tepatnya pada tanggal 04 Februari 2006 berhasil ditetapkannya Namto H. Roba dan Penta L. Nuara sebagai Bupati dan Wakil bupati terpilih Halmahera Barat periode 2006-2011. Moto melayani bukan dilayani, sepertinya menjadi konsep pemerintah Halmahera Barat dalam melakukan fungsi dan tugas pelayananannya terhadap masyarakat Halmahera Barat. Jika di Ilhami, secara filosofi konsep tersebut justru mengegaskan kepada publik bahwa, masyarakat merupakan tuan dan pemerintah sebagai hambanya harus patuh dan secara ikhlas melayanai kepentingan tuannya. Itu berarti bahwa masyarakat dimata pemerintah tentu memiliki drajat sosial yang paling tinggi untuk dihormati dan berusaha untuk mengakomodasi aspirasi dan kepentingannya. Pada tahun 2006 berbagai terobosan program Pemerintah Halmahera barat gencar dilakukan ditengah kondisi keuangan daerah yang. Akan tetapi, situasi ini tidak menjadi hambatan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat dibawah kendali bupati Namto H. Roba dalam melaksanakan tugas mulianya untuk melayani masayarakat Halmahera Barat. Hanya dengan bermodal Ide/Gagasan serta keberanian dalam mengambil keputusan untuk kepentingan masyarakat, Namto Hui roba dan Penta L. Libela Nuara beserta Jajarannya boleh dikatakan berhasil mengeluarkan masyarakat Halmahera Barat dari keter-tatih-an pembangunan, dan keterisolasian masyarakatnya. Pemerintah Hamahera Barat di bawah kepemimpinan Namto H Roba, berhasil meletakan“Ide/Gagasan” yang berhasil untuk membangun Halmahera Barat sejak tahun 2006 hingga saat ini, , diantaranya adalah,Pertama,Membangun Halmahera Barat khsusunya pada aspek pembangunan infrastruktur pembangunan fisik (jalan, bangunan dll). Diwujudkan dalam program perbaikan dan pembuatan jalan sebagai salah satu strategi pemerintah untuk membuka akses ekonomi bagi masyarakat dalam mempermudah distribusi produksi komuditi masyarakata didaerah ini. Kesulitan akses jalan dan transportasi, sepertinya menjadi kendala dan hambatan masyarakat Halmahera barat selama ini. Membangun Halmahera Barat Dari aspek pemberdayaan ekonomi masyarakat. Diwujudkan dalam bentuk program kegiatan pemerintah daerah melalui dinas koperasi memberikan pinjaman keuangan kepada kelembagaan-kelembagaan koperasi ditingkat desa untuk dapat eksis dalam melakukan fungsi pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat. Dalam konteks ini, pemerintah Halmahera Barat juga membuka ruang kerja sama dengan lembaga –lembaga pemerintah dan non-pemerintah lainnya, seperti halnya UNDP, P2DTK, PPK dan lain sebagainnya untuk ikut mendorong dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat ditingkat kecamatan dan desa di Kabupaten Halmahera Barat.Membangun Halmahera Barat sebagai kota Jasa. diwujudkan dengan program pembangunan pelabuhan peti kemas didesa mutui, dan pembangunan pelabuhan udara didaerah jailolo selatan-timur. Sementara Pada sektor yang lain, pemerintah daerah juga akan mewujudkan harapannya dalam menanggulangi krisis energi dengan Pembangkit listrik panas bumi di halmahera barat dalam beberapa tahun kedepan. Keempat,Membangun Halmahera Barat sebagai Kota Parawisata Budaya. diwujudkan dalam konsep dan atau Agrowisata ,serta merevitalisasi kelembagaan-kelembagaan adat lokal seperti halnya dan lain sebagainya.Ide/gagasan Membangun Halmahera Barat sebagai daerah lumbung padi. Secara umum diwujudkan dalam program kelembagaan-kelembagaan petani padi serta, pemanfataan lahan untuk penanaman padi pada setiap kecamatan di Kabupaten halmahera Barat. Membangun Halmahera Barat dari aspek Sumberdaya Manusia. Diwujudkan dalam program pendidikan s2, bagi putra/i Halmahera Barat serta mendirikan sekolah tinggi pertanian dan kewirausahan yang bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor – IPB Bogor. Kita sebagai warga Hamahera Barat, patut memberikan apresiasi positif terhadap kepemimpinannya, atas program dan prestasinya selama kepemimpinan yang hanya 3 Tahun saja dia mampu berbuat untuk masyarakat dan daerahnya., tak heran jika satu-satunya bupati di Maluku Utara yang mendapatkan penghargaan sebagai Bapak Pembangunan dari Mendagri/Presiden tahun 2008, kalau bukan Namto, siapa lagi.

Baca Selengkapnya......

Selasa, 20 Januari 2009

konflik Sumberdaya Perikanan di Perairan Morotai (Perspektif Psikologi Sosial dan perilaku Agresi nelayan morotai dalam mempertahankan eksistensinya

Kepulauan Morotai adalah gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara yang terletak pada wilayah perbatasan antar negara yaitu antara Indonesia dengan Republik Palau di kawasan pasifik. Morotai dengan posisi sebagai Pulau kecil perbatasan yang berada di wilayah pasifik, menjadikan wilayah ini mempunyai potensi perikanan tangkap cakalang yang besar karena secara alamiah migrasi ikan cakalang dari laut Jepang ke lautan pasifik dan seterusnya ke laut Maluku, Laut Halmahera dan Laut Banda melintasi wilayah perairan ini. Menurut Arifin (2006), daerah 4 mil dan 12 mil kepulauan Morotai tergolong DPI cakalang yang potensial.

Lautan Morotai sudah dianggap oleh masyarakat Morotai sebagai tempat memenuhi kebutuhan keluarga dan mencari nafkah ekonomi. Pandangan mereka tentang wilayah perairan tersebut lebih dari pada hanya sekedar sebagai tempat eksploitasi hasil laut saja, namun mereka mempunyai anggapan bahwa wilayah kelautan Morotai adalah warisan nenek moyang mereka yang harus dijaga dan penggunaannya untuk seluruh keturunan masyarakat Morotai. Masyarakat Morotai juga melakukan uparaca-upacara adat yang diperuntukkan agar terjadi keseimbangan alam atas dieksploitasi sumberdaya kelautan. Pemanfaatan kelautan Morotai sudah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Morotai untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka. Perkembangan masyarakat dan kebutuhan ekonomi sudah membuat mereka lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan keluarga dan pasar, walaupun dalam skala yang masih sederhana. Kesederhanaannya masih dapat dilihat dari cara mereka menggunakan sumberdaya peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan di lautan Morotai.

Ketergantungan masyarakat pada sumberdaya kelautan merupakan salah satu faktor yang mencerminkan bahwa mereka adalah masyarakat nelayan. Sumberdaya kelautan sebagai sumberdaya yang bisa diakses oleh semua orang karena tidak memiliki batas-batas sertifikasi kepemilikan atau sering disebut open acces resources. Seperti juga di kelautan Morotai yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di luar suku Morotai. Ada beberapa kelompok nelayan yang memanfaatkan sumberdaya kelautan Morotai yaitu masyarakat dari Bitung-Sulawesi Utara hingga nelayan dari Filipina. Masyarakat dari luar tersebut mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh masyarakat Morotai. Artinya, masyarakat Morotai lebih tertinggal dalam teknologi peralatan penangkapan ikan. Sehingga, perolehan yang diharapkan antara kelompok-kelompok tersebut sangat berlainan. Padahal jumlah hasil tangkapan ikan diakumulasi lebih dari 400 ton lebih setiap hari. Dari hasil perolehan tersebut, masyarakat Morotai tidak lebih dari 15% hasil penangkapan ikan yang diperolehnya.( Ismail; 2007 )

Ada beberapa kendala yang menyebabkan nelayan di kepulauan Morotai mempunyai hasil tangkapan yang kecil antara lain, Pertama; tingginya harga BBM merupakan salah satu kendala yang sangat dirasakan oleh nelayan di kepulauan Morotai, dengan tipologi wilayah kepulauan dan aksesibilitas antar desa yang rendah menyebabkan harga BBM antara desa satu dengan desa yang lainnya sangat berbeda, kisaran harga BBM di kepulauan Morotai antara Rp. 7000/lt sampai dengan Rp. 7500/lt. Kedua; rendahnya harga ikan. Ketiga; banyaknya nelayan asing yang melakukan penangkapan di wilayah perairan kepulauan Morotai, seperti halnya dari Bitung dan negara Taiwan, serta Philipina. Ke empat; peralatan penangkapan ikan ( sarana dan Prasarana) yang belum memadai. Sebagai pulau-pulau kecil terluar, kepulauan ini mempunyai kondisi wilayah yang tertinggal, baik sumber daya manusia, tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang terkebelakang, dan infrastruktur wilayah yang belum memadai. Hal ini dapat terjadi karena wilayah-wilayah terluar selama ini dibangun berdasarkan pada pendekatan keamanan (security aproach) di bandingkan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity aproach).

Permasalahan
Masyarakat Morotai yang kesehariannya memenuhi kebutuhan dari proses mencari sumberdaya laut sangat tergantung pada hasil yang diperoleh dari usahanya mencari ikan. Persaingan yang terjadi dalam usaha mencari ikan dengan nelayan-nelayan dari luar masyarakat Morotai tidak dapat dielakkan, bahkan cenderung berujung pada prilaku agresi nelayan lokal terhadap nelayan asing, ataupun sebaliknya. Persaingannya menjadi sangat dirasakan dampaknya ketika perbedaan teknologi sarana dan prasarana peralatan penangkapan ikan antara masyarakat Morotai dan masyarakat luar tidak seimbang. Artinya, peralatan tangkap masyarakat Morotai yang masih sederhana (tradisional) tidak dapat bersaing dengan masyarakat luar yang memiliki peralatan tangkap ikan yang sudah lebih maju (moderen) dilengkapi dengan alat global positioning system (GPS) untuk memantau ikan.

Pada akhir Tahun 2003 yang lalu terjadi bentrokan fisik antara masyarakat Morotai dan nelayan dari Philipina. Bentrokan dilakukan oleh masyarakat Morotai dengan melakukan pengeroyokan kepada nelayan dari Philipina. Permasalahannya adalah mengapa masyarakat Morotai menyerang nelayan dari luar wilayah Filipina yang mencari ikan di daerah perairan Morotai? Untuk menjelaskan perilaku masyarakat tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskannya berdasarkan kajian psikologi sosial.
Agresi dalam Pertikaian Sumber Daya Perikanan di Perairan Morotai. Dalam studi –studi antropologi maritim, (Kusnadi, 2002) justru memperlihatkan kepada kita bahwa dibeberapa bagian dunia juga masih ditemukan adanya klaim pemelikan (praktik hak ulayat laut) oleh kelompok-kelompok nelayan yang mendiamai suatu kawasasan pesisir. Pemahaman ini samapai sekarang masih mendominasi masyarakat dikawasan pesisir pulau Morotai. Laut dengan sendirinya dianggap sebagai Property.
Morotai adalah pulau terluar indonesia yang berdekatan dengan samudra pasifik, dan berbatasan dengan Republik Palau dan Philipan. Di perairan Morotai memiliki potensi sumber daya perikanan yang cukup melimpah. Dengan Sumber daya perikanan yang melimpah tersebut, membuat banyak para nelayan lokal maupun asing dijadikan sebagai area potensial untuk penagkapan ikan.

Pertikaian diatas laut seringkalai tidak dapat dihindarkan antara dua komunitas nelayan ( Morotai dan Philipina) dalam memperebutkan Sumber daya perikanan di Perairan Morotai.. Pemukulan dan pengrusakan beberapa tahun lalu, yang dilakukan nelayan lokal diatas kapal nelayan philipina merupakan bagian dari bentuk-bentuk kekerasan. Dan kekerasan merupakan sebuah manifestasi dari perilaku agresi. Oleh karenanya Pemukulan, dan pengrusakan alat –alat penangkapan dan navigasi kapal nelayan Philipina yang di lakukan oleh kelompok nelayan lokal (morotai ) adalah perilaku agresi yang muncul akibat dari tata nilai dan adat-istiadat yang berkembang dalam masyarakat tradisional di kawasan pesisir yang menganggap sumber daya laut yang ada diperairan Morotai sebagai hak milik (Property), oleh karenanya kehadiran nelayan asing melakukan penangkapan ikan diperairan Morotai dianggap merampas sebagian propertynya.
Agresi itu sendiri menurut Murray, di defenisikan sebagai suatu cara untuk melawan secara kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh atau menghukum orang lain. Atau secara singkat agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Sedangkan menurut Sarwono (2002) agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.

Kasus penyerangan nelayan Morotai terhadap Nelayan Philipina di perairan Morotai setidaknya dapat memberikan gambaran agresi dari sudut padang psikologi sosial.
Sebagai pulau-pulau kecil terluar, kepulauan Morotai ini mempunyai kondisi wilayah yang tertinggal, baik dari aspek sumber daya manusia (pengetahuan), tingkat kesejahteraan ekonomi, dan infrastruktur wilayah, serta secara geografis umumnya di Maluku Utara termasuk kepulauan Morotai mempunyai suhu udara yang cukup panas. Dengan melihat fenomena sosial-ekonomi dan kondisi geografis tersebut, dalam perspektif psikologi sosial dapat saja memunculkan prilaku agresi seseorang atau kelompok tertentu.

Hal ini sebabkan karena Kemiskinan juga merupakan salah satu penyebab dari tindakan agresi. Menurut Byod Mccandless ( mu’tadin, Z,1991), mengatakan bahwa bila seseorang itu dibesarkan dalam lingkungan komunitas yang miskin maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Sementara pada sisi yang lain, kondisi geografis dengan suhu yang tinggi di Perairan Morotai merupakan penyebab munculnya perilaku agresi. Argumentasi teoritik dapat dilihat dari adanya pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresifitas. Pada tahun 1968 Us Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresifitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat di bandingkan dengan musim-musim lainnya ( Fisher, et al, dalam sarlito Psikologi Lingkungan 1992).

Dari berbagai penyebab-penyebab prilaku agresi yang dijelaskan diatas sehubungan dengan ulasan kasus pertikaian sumber daya perikanan di perairan Morotai, maka dalam konteks ini kita akan mencoba menggunakan perspektif situasional dalam prilaku agresif satu diantaranya adalah In Group Vs Out Group Conflict.Dalam Perspektif ini menjelaskan bahwa perilaku agresi seringkali didasarkan atas konflik antar kelompok. Konflik antar kelompok seringkali dipicu oleh perasaan In Group Vs Out Group sehingga anggota kelompok di warnai perasaan prasangka. Salah satu teori prasangka adalah Realistic Conflict Theory yang memandang prasangka berakar dari kompetisi sejumlah kelompok sosial terhadap sejumlah komuditas ( sumber daya) maupun peluang. Apabila kompetisi berlanjut maka masing-masing anggota akan memandang anggota kelompok lain sebagai musuh, jika terdapat isysarat agresi maka perilaku agresi akan muncul.

Sepertinya, sikap dan perilaku antar kedua kelompok nelayan tersebut cenderung merefleksikan kepentingan kelompoknya. Ketika kepentingan-kepentingan kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan di perairan Morotau tidak kompatibel atau, dengan kata lain ketika kelompok nelayan asal philipina berhasil memperoleh hasil tangkapan ikan yang lebih banyak dari kelompok nelayan lokal, maka respons psikologi sosialnya cenderung negatif terhadap nelayan philipina: sikap berprasangka, penilain terbias, dan perilaku permusuhan akan terjadi, dan berujung pada perilaku agresi. Namun ketika kepentingan-kepentingan tersebut kompatibel atau lebih baik lagi, maka reaksinya akan lebih positif seperti toleransi, adil, dan ramah ( Rupert Brown dalam Prejudice, 2005)

Sumber daya perikanan adalah sumber daya yang sangat terbatas. Hal ini memungkinkan proses eksploitasi penangkapan ikan harus memperhatikan aspek-aspek ekologis untuk keberlanjutan spesis ikan yang terdapat didalap “perut” perairan Morotai. Sumber daya yang terbatas, diperhadapkan dengan kompetisi nelayan lokal dan Philipina yang menggantungkan nasib di laut sebagai sumber kehidupan mereka, seringkali terjadi kompetisi dalam perebutan sumber daya, dalam situasi demikian akan memunculkan perilaku agresi. Di sisi lain Praktek penangkapan nelayan asal philipana yang tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan ekologis dan keberlanjutan spesis ikan diperairan morotai membuat nelayan lokal merasa terancam, karena terganggunya sumber-sumber kehidupan dimasa datang sebagai nelayan lokal.

Dalam pada itu, sepertinya bagi kami prilaku agresi berkembang karena adanya kompetisi sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya. Dalam hal ini terjadi perebutan satu macam sumber daya yang dipandang terbatas, dan diperebutkan oleh kedua belah pihak. Dalam Perspektif sosiobilogis, manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang terpenting itu terbatas, ketika mengalami ketidaknyamanan, ketika sistem sosial tidak berjalan dengan baik, dan ketika ancaman dari pihak luar, (Dunkin, 1995). Hal ini semua dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia.

Dengan demikian, perilaku agresi nelayan lokal Morotai terhadap nelayan philipina di perairan Morotai utara, tidak semata-mata disebabkan oleh kondisi kemiskinan yang dialami oleh masayrakat nelayan lokal ( Morotai, atau dikarenakan kondisi suhu wilayah yang cukup panas seperti yang diungkapkan oleh Byod Mccandless ( dalam, Mu’tadin 2002), dan ( Fisher, et al dalam sarlito Psikologi Lingkungan 1992) yang lebih menekankan pada faktor suhu sangat mempengaruhi penyebab agersi. Namun ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi penyebab terjadinya perilaku agresi nelayan lokal terhadap nelayan philipina.

Sebagai penyebab terjadinya konflik antara nelayan lokal Morotai dan Nelayan Philipina, dapat dilihat dari interaksi antar individu atau kelompok nelayan Morotai, sepertinya ada kecendrungan untuk mengambil jalan pintas dalam mempersepsi individu atau kelompok nelayan asal phlipina, dengan cara memberikan ”cap” tertentu kepada individu atau kelompok nelayan philipina yang berkaitan dengan sifat-sifat yang khas yang seakan-akan menempel pada individu atau kelompok, misalnya nelayan philipina adalah penjahat laut, dan Kejam. Persepsi yang salah ini atau cap yang diberikan sesuai sifat disebut sebagai stereotip. Stereotip adalah keyakinan bahwa semua anggota kelompok sosial tertentu memiliki karakteristik atau traits yang sama, dan stereotip juga merupakan kerangka berpikir kognitif yang sangat mempengaruhi pemrosesan informasi sosial yang datang, (Baron & Donny Bryne 2004). Prasangka adalah sikap negatif terhadap individu atau kelompok tertentu, prasangka muncul karena adanya stereotip, Akibatnya terjadi penyimpangan pandangan dari kenyataan sesungguhnya, maka kecendrungan akan memberikan dampak negatif terjadinya konflik.

Oleh karenanya teori tentang sikap prasangka , dan stereotip, pada dasarnya berkompoten menjelaskan tentang sumber terjadinya konflik. Namun perlu di catat bahwa, penjelasan teoritis tersebut, masih melihat konflik pada tingkat individual (Hogg .2003a).

Diketahui bahwa, sumberdaya kelautan merupakan sumberdaya yang berhak diakses oleh banyak pihak. Namun terdapat perbedaan proses pemaknaan antara nelayan lokal dan nelayan lainnya, seperti nelayan dari Bitung dan Filipina. mereka sepertinya memiliki persepsi terhadap laut hanya sebatas sebagai objek. Berbeda dengan masyarakat Morotai yang mempunyai persepsi bahwa laut adalah kepunyaan yang bisa diajak berkomunikasi melali simbol sesaji yang dipersembahkan pada bulan tertentu, dan di lain sisi laut diperairan Morotai dianggap sebagai Property

Proses eksploitasi yang dilakukan oleh nelayan Bitung dan Filipina dianggap oleh masyarakat Morotai tidak menghargai keberadaannya sebagai sumberdaya yang bermakna. Oleh karena itu, pada proses yang ekstrim, masyarakat Morotai melakukan proses atribusi, persepsi dan kognitfnya terhadap perilaku mereka yang dianggap merugikan keberadaan sumberdaya kelautan dan keberlangsungan hidup serta perekonomian masyarakat Morotai. Mereka secara tidak langsung juga melakukan indentifikasi sosial dengan memposisikan dirinya dan stereotype terhadap nelayan Filipina. Proses selanjutnya adalah melakukan interaksi dengan nelayan tersebut dalam berbagai bentuk yang boleh jadi mengakibatkan konflik atau agresi, dengan tujuan memperingatkan mereka agar tidak melakukan eksploitasi di wilayah perairan laut ulayat masyarakat Morotai. Muzfer & Sherif Selama puluhan tahun melakukan eksperimen tentang proses kerjasama, dan terjadinya konflik antar kelompok, dan solusi untuk menyelesaikan konfliknya adalah menciptakan goal bersama yang menyangkut kepentingan bersama (superordinate goal).

Sebagai upaya melakukan resolusi konflik sehubungan dengan sering terjadinya pertikaian sumber daya perikanan di perairan Morotai yang melibatkan dua kelompok nelayan, diantaranya nelayan morotai dan nelayan phlipin, serta penyebab-penyebab yang memungkinkan terjadinya agresi atau konflik maka dalam pendekatan psikologi sosial dalam resolusi konflik kasus tersebut adalah dengan pertama kali menciptakan kondisi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk saling memenuhi kebutuhannya secara konstruktif. Untuk mengurangi bentuk kekerasan atau perilaku agresi kelompok nelayan tertentu, dengan menggunakan perspektif Burton diperlukanya langkah “preventif” yaitu suatu upaya untuk menghilangkan sumber konflik dan secara lebih pro aktif mempromosikan lingkungan yang positif untuk memungkinkan masyarakat secara konstruktif memenuhi kebbutuhan-kebutuhannya. Langkah ini sejalan dengan cara pandang Deutch (1993), bahwa dalam rangka resolusi konflik adalah bagaimana mengubah dinamika konflik dari kompetitif menjadi yang lebih kooperatif. Pada hakikatnya kontribusi teori Psikologi Sosial tidak terbatas hanya untuk menjelaskan dan memahami konflik, akan tetapi sudah lebih maju satu tingkat yaitu berkontribusi untuk resolusi konflik dan rekonsiliasi.

Baca Selengkapnya......

Senin, 19 Januari 2009

Asal Mula Kampong , dan Potret Kelembagaan lokal Petani Kelapa di Desa Susupu.

Mulanya saya tidak percaya mendengar cerita tentang sejarah desa susupu ( kampung halaman saya sendiri) yang berasal dari komunitas Agama Kristen di daerah daratan pegunungan wilayah sahu. Berbekal rasa ingin tahu akan sejarah desa Susupu, saya pun kemudian bergegas kesana dan menemui ”orang tua-tua” yang tidak sekedar tua dari sisi umur karena di makan zaman, namun mereka mereka juga dianggap memiliki pengetahuannya dalam membaca sejarah masyarakatnya sendiri.Desa susupu terletak di pesisir Barat pantai Sahu, kurang lebih 1 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan dari jailolo (ibu kota Kabupaten Halmahera Barat). Untuk sampai kedesa Susupu, sepertinya kita harus melewati daratan sahu pedalaman yang mayoritasnya beragama kristen. Di daerah Sahu Pedalaman inilah menurut cerita merupakan cikal bakal hadirnya desa Susupu. Masyarakat Susupu, ketika itu, masih bermukim didaratan pedalaman sahu kampong balisoang, tacici, taraudu, idamgamlamo, gamomeng dan masih banyak kampong lagi yang berada di wilayah kecamatan sahu.Konon menurut cerita dari beberapa orang yang dikunjungi, mengatakan bahwa masyarakat dari kampong-kampong tersebut awalnya adalah masyarakat animisem yang masih percaya dengan roh-roh halus, percaya kepada pohon-pohon, batu-batuan yang memiliki kekeuatan supranatural

Namun selanjutnya para misionaris baik kristen maupun penyiar islam datang dibumi Halmahera khususnya di Kecamatan Sahu, hingga bentuk kepercayaan masyarakat pun kemudian ikut berubah dan bergeser dari animesme ke keyakinan akan eksistensi Sang Pencipta Tuhan yang maha Esa. Namun proses masuknya agama di Kecamatan Sahu inipun terjadi pro kontra ditengah masyarakat terhadap kehadiran missionaris yang membawa kedua ideologi agama (islam kristen) itu sendiri. Sebagian besar menerima atau memeluk agama kristen dikecamatan sahu sebagai suatu keyakinan akan kebenaran, namun ada sebagian kecil masyarakat ketika itu yang lebih memilih islam sebagai agamanya, dalam konteks ini, bagi masyarakat sahu tentu dikenal dengan ikrar ”galib se likudi”, dimana terjadi kesepakatan dan perjanjian bagi masyarakat sahu atas pilihan agama dimaksud. Situasi ini kemudian membuat orang-orang yang masuk islam ketika itu memilih keluar dari kampongnya (sahu) meninggalkan kerabatnya, saudaranya untuk pindah dan membuat sutau pemukiman tersendiri di daerah saroang Daerah saorang ini hanya dapat ditempuh 15 menit dengan jalan kaki dari desa Balisoang. Didaerah inilah (saroang) merupakan bukti sejarah masjid yang pertama kali dibangun sebagai tempat ibadah umat islam ketika itu. Kini masjid yang memiliki nilai historis bagi sebuah peradaban masyarakat susupu, saat ini tertinggal hanyalah fondasi bangunannya yang ditutupi hutan belukar. Tidak hanya masjid yang dibungkus hutan belukar, namun pantauan kami, kuburan-kuburan islam yang berada tak jauh dari masjidpun dibiarkan tidak terurus. Padahal mereka memeliki kontribusi yang besar terhadap eksistensi islam khususnya diwilayah pesisir sahu di desa susupu.

Menurut cerita, menerangkan bahwa penyiar agama didaerah Sahu ketika itu adalah Orang Arab yang bernama Bafagehe. Bafagehe adalah orang yang mengajarkan islam didaratan sahu. Bafgehe meninggal dan dikuburkan diwilayah sahu, dan kini dijadikan sebagai jere (tempat keramat), yang pada malam-malam tertentu sering dijiarah oleh masyarakat susupu dan sekitarnya. Seiring dengan waktu,komunitas saroang inipun kemudian memilih untuk keluar dari wilayah daratan pegunungan sahu, dan membuat komunitasnya tersendiri di daerah Gura utu tepatnya didekat pesisir sahu. Mereka meninggalkan wilayah saroang, hanyalah karena perbedaan keyakinan, dan saling menghargai antar sesamanya. Yang sedikit (orang islam) memilih keluar dari wilayah komunitas sahu dan lebih banyak (orang kristen) pemeluk suatu agama ketika itu, memilih untuk menetap didaerah itu. Namun ada sebagian yang berpendapat, bahwa ada kecenderungan masyarakat ketika itu yang memilih alih profesi disamping sebgai masyarakat petani, mereka juga dapat hidup dari hasil tangkapannya dilaut. Keluar dari saroang dan menuju ketempat pemukinan baru di gura utu adalah cikal bakal penamaan kampong yang dibentuk oleh orang islam ini menjadi kampong susupu.

Susupu berasal dari bahasa daerah ternate adalah "sisupu” yang artinya ”dikeluarkan”. Oleh karenanya jika dilihat pada setiap perkampungan di wilayah Sahu tidak terlihat suatu model perkampungan masyarakat yang terdapat percampuran agama. Selalu saja dilihat pemisahan desa antara islam maupun kristen. Susupu menjadi perkampungan yang berpenghuni kurang lebih dari 3000 KK, dan kini telah dimekarkan menjadi beberapa desa diantaranya, desa lako akelamo, desa tacim, desa Ropu Tengah Balu, desa Jarakore. Dengan demikian, Susupu adalah desa Induk dari komunitas desa-desa muslim yang berada dipesisir Pantai Sahu. Orang-orang yang berasal dari sahu pedalaman yang kini sudah menjadi Orang susupu dan bermukim didaerah pesisir Pantai Barat Sahu, mereka umumnya tidak memanfaatkan potensi perikanan laut sebagai sumber kehidupan dan mata pencariannya. Akan tetapi umumnya, mereka bermata pencarian pada sektor pertanian dan perkebunan. Hal ini karena daya dukung lahan pertanian yang mereka miliki cukup besar dan dimiliki secara turun temurun. Karena berasal dari daerah pedalaman, maka orang-orang susupu dan Lako akelamo mempunyai area dan atau lahan pertanian/perkebunannya di daerah pedalaman sahu hingga saat ini. Laut yang menyimpan potensi perikanan sebagian besar dimanfaatkan oleh masyarakat pendatang dari suku Gamkonora, makian, tidore. Mereka, hanya memanfaatkan potensi perikanan laut sebagai mata pencarian kedua setelah sektor pertanian/perkebunan. Bagi mereka (masyarakat susupu dan Lako-akelamo), profesi sebagai nelayan bukanlah pekerjaan utama, melainkan posisinya hanya sebagai nelayan subsisten untuk kebutuhan makan kesehariannya saja. Masyarakat didesa susupu merupakan masyarakat yang umumnya bermata pencarian sebagai petani dan sebagaiannya berprofesi sebagai masyarakat nelayan.Masyarakat petani di desa susupu menurutnya, digolongkan menjadi masyarakat petani kelapa, petani padi, rica, bawang, kacang, kasbi atau (ubi).Sedangkan yang dimaksudkan dengan masyarakat nelayan bukanlah nelayan yang memasarkan atau mengkomersilkan hasil-hasil tangkapannya untuk di pasarkan (nelayan komersil). Akan tetapi mereka hanyalah nelayan subsisten, yang melaut menagkap ikan untuk kebutuhan makan kesahariannya. Didesa susupu umumnya setiap Anggota keluarga mempunyai lahan pertanian kurang lebih setengah sampai satu hektar lahan. Para petani kelapa umumnya yang berada didesa susupu, mempunyai hubungan kekerabatan yang tercipta berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kepemilikan lahan kelapa. Di desa susupu, proses penanaman hingga panen kelapa kebanyakan dilakukan oleh keluarga maupun sesama petani lainnya yang juga memiliki lahan kelapa. Bagi masyarakat setempat, kegiatan dengan semnagat tolong monolong yang mengandung unsur resiprositas dan kerjasama ini disebut sebagai kegiatan mabari Tentang bagaimana Pembukaan Lahan, proses penanaman, pemeliharaan hingga panen kelapa bagi masyarakat didua desa (lako akelamo dan desa Susupu) ini. Pada proses pembukaan lahan, di temukan mempunyai kesamaan hingga penanaman dan proses panen. Bagi masyarkat setempat dalam pembukaan lahan, tahap awal/pertama yang dikenal adalah proses tola gumi,tahap kedua adalah manyigu , tahap ketiga adalah madoti, tahap keempat adalah majongo, tahap kelima “mabaca” dan tahap yang keenam adalah masagu. Keenam tahapan tersebut merupakan tahapan pembukaan lahan hingga penanaman.

Fenomena ini merupakan tradisi yang telah turun temurun di praktekan oleh nenek moyang masyarakat setempat. Apa yang dikenal denganTola Gumi (potong tali), adalah suatu pekerjaan awal pembukaan lahan dengan ditandai sejenis tiang/pohon yang dipatok/ditanami untuk mengetahui batasan area dusun yang hendak di tanami. Kegiatan ini dilakukan tidak melibatkan banyak orang, namun hanya dilakukan oleh pemilik dusun kelapanya sendiri. hal ini dilakukan agar dalam kegiatan-kegiatan pemersihan lahan berikutnya yang melibatkan banyak orang, mereka dengan sendirinya telah mengetahui mental map batasan lahan/dusun yang dimiliki oleh pemilik lahan, sehingga tidak melewati lahan orang lain yang berbatsan, tentu ini merupakan kerja awal, atau tahapan dari pembukaan lahan. Tahap kedua adalah, manyigu, manyigu merupakan suatu pekerjaan yang dikerjakan secara bersama-sama oleh kelompok petani kelapa. Pekerjaan manyigu memmpunyai sasaran untuk memotong rumput-rumput, tali-tali yang melingkari pohon yang berada diarea dusun. Pekerjaan ini dilakukan untuk mempermudah proses penanaman misalnya menggali lubang, serta lahan menjadi bersih. Tahap ketiga adalah madoti, suatu pekerjaan yang juga dilakukan secara bersama oleh kelompok petani agenda kerja adalah memotong pohon-pohon, dan yang sedang maupun tinggi yang dianggap menghalang atau menghambat jalannya proses penanaman nantinya. Tahap keempat, majongo, merupakan kegiatan mengumpul pohon-pohon yang telah ditebang, maupun rumput-rumput yang diparas, dan selanjutnya dibakar, namun ada beberapa pohon-pohon pilihar seperti halnya “ngaru” yang tidak ikut dibakar, karena menurut masyarakat setempat dijadikan sebagai “betangamor”. Penjelasan tentang beta ngomor akan dijelaskan berikutnya.Sementara mabaca adalah kegiatan pembersihan secara keseluruhan dari kegiatan-kegiatan sebelumnya tola gumi, manyigu, madoti, dan majongo. dan manyigu adalah suatu bentuk kegiatan galian lubang yang diperuntukan bagi penanaman bibit kelapa dan lain-lain. Fenomena ini, khususnya didesa lako akelamo, desa yang bersebalahan dengan desa Susupu, pada saat menjelang kegiatan manyigu, biasanya sering diwarnai dengan tradisi tori gura( pencuri bibit). Pada tradisi ini, dapat dilihat jelas ketika pada kegiatan menanam kelapa dan padi, atau tanaman bulanan lainnya. Sehari menjelang kegiatan menanam, seperti biasanya bibit yang akan ditanam akan dicuri/diambil pada waktu subuh pada lokasi pembibitan oleh para petani secara bersama-sama ditempat yang disembunyikan oleh pemilik bibit atau orang yang akan melaksanakan kegiatan menamam, tanpa sepengetahuan pemeiliki lahan/bibit. Bibit yang diambil itu kemudian ditanam pada lahan yang telah dibersihkan oleh mereka dari beberapa tahapan tersebut diatas.. Pemberitahuan bahwa bibitnya telah diambil dan kemudian ditanam dikodekan dengan bunyi tifa (beduk) bernada tarian gala, dan lala, salah satu musik tradisonal maluku Utara. Tradisi ini dengan tujuan untuk menyenangkan dan memberikan surprise bagi pemilik lahan atau orang yang sedang melakukan kegiatan menanam.Dalam konteks pemeliharaan lahan dan tanaman yang telah ditanami, bentuk-bentuk kegiataan ritual yang dilakukan dengan maksud penjagaan tanaman dan pengolahan lahan juga dilakukan oleh masyarakat desa lako akelamo berdasarkan tradisinya, dan hingga kini masih tetap terpelihara dan dijaga eksistensinya.Tradisi itu disebut dengan beta ngamor. Beta-ngamor seperti yang dijelasakn diatas adalah sejenis pohon-pohon pilihan yang dikumpulkan dan disusun dengan rapih disudut-sudut batas lahan, maupun disamping batas lahan, dan terdapat nasi tumpeng dan telur (bira dada boro) yang disajikan dan didoakan sebagai persembahan kepada sang kuasa, dan stelah itu nasi tumpeng dan telurnya ditanam ditengah-tengah kebun, agar lahan dan tanamannya tetap subur. Ritual ini dipimpin oleh orang yang dituakan, dan orang itu ditugaskan menjaga lahan dari awal hingga akhir tanaman itu mendekati panen. Beta ngamor, dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai , salah satu cara untuk membasmi binatang-binatang kecil, maupun hama yang sengaja datang untuk merusak tanaman yang terdapat pada dusun mereka. Kata mereka, jika kayu-kayu pilihan dari hasil tebangan itu dikumpulkan dan disusun, maka dipercaya binatang-binatang kecil seperti halnya tikus dan lain-lain tidak akan masuk kedalam lahan yang telah ditanami, melainkan binatang-binatang itu akan masuk kedalam kayu-kayu yang disusun itu yakni, ”beta nagmor”. Tentu bagi mereka ini adalah cara-cara tradisonal yang hingga saat ini bagi masyarakat setempat masih mempraktekan untuk membasmi serangan hama yang sengaja merusak kebun dan tanamannya. Namun beta ngamor inipun akan segera dibakar atau dihanguskan setelah dilakukan pemanenan. Akan tetapi pada sisi lain, ada aturan lokal (otoritas lokal/pengetahuan lokal) tentang penjagaan tanaman yang dilakukan melalui kemampuan magic, untuk mengantisipasi hilangnya tanaman, rusaknya tanaman dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggungjawab, mereka sering menggunakan ”matakau”. Cara membuat ini semua tentu berbeda-beda dan sangat sederhana pembuatannya. Namun umumnya mereka sering menggunakan botol dan didalam terdapat air yang telah dibacakan mantra-mantarnya kemudian diujung botolnya diikat kain berwarna merah dan digantung pada pohon yang terletak di tengah-tengah dusun. Cara ini sangat dipercaya bagi masyarakat setempat. Jika terdapat ”matakau” di salah satu dusun, maka dipercaya dusun tanaman itu akan aman dari niat dan perilaku orang yang sengaja merusak maupun mengambil sesuatu pada dusun tersebut. Jika seseorang itu mempunyai niat mencuri sesuatu tanaman/buah-buahan didalam dusun itu, dan mewujudkan niatnya dalam bentuk tindakan mencuri maka ”matakau” pasti mengena dirinya. Jika ada seseorang yang sudah terkena matakau karena tindakannya, mereka meyakini orang yang seperti itu akan terkena sakit perut dan tidak bisa jalan, atau terdiam dibawah pohon diarea dusun selamanya, terkecuali pemilik kebun datang dan membebaskannya dengan mantra yang digunakannya. Bagi mereka hal ini penting dilakukan untuk memberikan pelajaran bagi mereka yang sering mencuri hasil-hasil dusun yang bukan miliknya. Korban ”matakau” sering kali diadili oleh sipemilik dusun dan kemudian selanjutnya dibawah langsung ke kepala desa dan pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti penyelesaian kasusnya sesuai hukum yang berlaku.

Ada juga terdapat tradisi resiprositas yang terdapat dalam proses produksi petani kelapa yang disebut dengan kegiatan oro wange, artinya ambil hari. Kegiatan Oro wange ini dicontohkan sebagai berikut, misalnya, Ada seorang petani kelapa sebut saja si A melaksanakan pembersihan kelapa, atau panjat kelapa, maka Si B, si C, maupun si D, mereka akan datang membantu, karena awalnya Si A telah membantu mereka dalam pekerjaan yang sama, yakni pembersihan kelapa atau panjat kelapa. Dengan demikian Oro wange ini, merupakan model pertukaran kerja yang hanya diberlakukan pada pekerjaan yang sama. Dan kegiatan oro wange inipun dihitung tenaganya yang dikeluarkan berdasarkan berapa banyak pohon kelapa yang dibersihkan atau dipanjat, sehingga jika mereka harus datang untuk melaksanakan kegiatan oro wange Pada Si A, maka merekapun harus mengganti tenaga Si A, dengan menghitung berapa banyak pohon kelapa yang dibersihkan atau dipanjat oleh si A. Bagi mereka Kegiatan oro wange adalah mencirikan nilai-nilai “bari”, namun perbedaannya bari melibatkan semua pekerja, dan tanpa mengenal batasan kerja yang harus dikerjakan, tidak hanya pada lingkup kegiatan “oro wange”.Itu artinya bahwa bari sudah termasuk oro wange, namun belum tentu oro wange diartikan sebagai bari katanya she….akan tetapi, akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran semangat oro wange sendiri maupun kegiatan-kegitanan panen kelapa dengan menggunakan semangat bari. Beberapa diantara para petani lainnya, akhir-akhir ini walaupun ditengah anjloknya harga kopra yang hanya senilai 2500 per kilogram, namun dalam proses panen kelapa mereka lebih cenderung menggunakan cara kerja yang dianggap ekspres, namun tidak ekonomis.. Cara kerja yang ekspres dan tidak ekonomis tersebut diatas, tentu dapat dilihat dari praktek kerja kelapa sewa yang dipakai oleh beberapa petani. Umumnya mereka yang mengerjakan proses panen kelapa dengan cara menyewa atau membayar tenaga masyarakat petani kelapa yang lain adalah, mereka para pedagang kelapa, maupun para guru/polisi yang mempunyai lahan kelapa namun tidak punya waktu untuk mengurusinya. Keterbatasan waktu dan pekerjaan inilah mereka sering menggunakan uang untuk membayar kepada beberapa orang petani kelapa untuk mengerjakan dusun kelapanya hingga panen. Mereka mendapatkan sewa dari para pemilik lahan kelapa untuk melakasanakn kegiatan panennya dengan bayaran per pohon kelapa sebesar 1000 rupiah. Sewa-menyewa ini hanya terdapat pada proses mafere ( memanjat kelapa), namun ada juga yang berlangsung hingga pada proses mapopo, masiu, dan proses pengasapan dan pada akhirnya menjadi kopra. Budaya sasi ternyata tidak hanya berlaku pada tardisi masyarakat maluku di Ambon dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alamnya. sebagai bagian dari otoritas lokal, juga terdapat pada masyarakat sahu, khususnya didesa susupu dan lako akelamo. Sasi yang selama ini di claim sebagai tata pengaturan masyarakat Ambon khususnya dalam pengelolaan dan pemanfatan sumber daya alam, ternyata boleh dibilang keliru. Dari sisi bahasa, ternyata budaya sudah ratusan tahun tumbuh di daerah maluku utara. Menurut Salah satu tokoh budaya sebut saja bapak corolus djawa beliau mengatakan bahwa istilah sasi dipakai oleh orang ambon karena saat itu itu eksapnsi kerajaan ternate sampai pada wilayah ambon dan mempengaruhi struktur strukur budaya masyarakatnya. Mereka menceritakan bahwa, Dilihat dari asal kata sasi sendiri berasal dari bahasa ternate yang artinya, sumpah. Sumpah atau sasi bagi masyarakat maluku utara, khususnya didesa susupu dan lako akelamo diberlakukan atau diterapkan karena atas dasar ketidakpuasan atas suatu masalah, atau perselisihan antara dua belah pihak yang tidak ada titik temu atas masalah hak pemilikan atau pewarisan mengenai sumber daya alam seperti halnya tanah, tanaman, dan lain sebagainya. Bagi masyarakat setempat melihat masalah tersebut sebagai“harbata” atau perselisihan yang tidak ada akhir penyelesaiannya secara damai. Jika tidak terdapat penyelesaian terhadap suatu masalah yang mempunyai kaitannya misalnya dengan tanah, dusun, pohon kelapa dan lain sebagainya, biasanya kedua belah pihak yang sedang bermasalah dibawah kepada pihak pemerintah desa setempat untuk diselesaikan. Namun jika pihak pemerintah desa tidak mampu melerai dan menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak yang berseteru itu, maka kedua belah pihak tersebut akan digiring oleh peihak pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama menemui para imam sigi lamoatau masjid besar, dan jomoding/petugas harian Masjid, beserta para khatib untuk diselnggarakannya proses sasi di dalam masjid tersebut. Sasi toma kalammullah atau proses sumpah dihadapn mihrab masjid merupakan solusi penyelesaian atas masalah kedua bela pihak. Saksi-saksi yang mengahdiri proses itu menurut mereka terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, imam masjid besar, dan para jomoding. Prosesi sasinya berlangsung dengan diletakannya kitab suci alquran diatas masing-masing kepala kedua bela pihak, dan para saksi memerintahkan kepada kedua belah pihak secara bergantian untuk si bobeto. Si bobeto artinya memerintahkan kepada kedua belah pihak yang bermasalah untuk mengeluarkan perkataan sumpah yang ditujukan kepada pihak pertama, begitupun sebaliknya. Sumpah yang mereka keluarkan pada saat proses sasi tentu sangat bervariasi, sesuai kehendak mereka. Dan bagi masyarakat setempat mereka umumnya percaya akan akibat dari sasi ini. Ada lahan, dan pohon kelapa maupun sejenis tanaman lainnya yang sedang disasi, maka pasca gelar sasi, kedua belah pihak bersama kelurganya masing-masing tidak akan bisa menikmati atau memiliki apa yang diperebutkannya. Jika satu diantara mereka melanggar “aturan sasi” yang digelar didalam masjid, maka dia akan terkena sanksi/bahala. Terkecuali jika dia menganggap bahwa dia benar-benar berada pada posisi yang benar dalam kasus dimaksud. Terkadang kedua belah pihak takut mengelola apalagi menikmati apa yang menjadi sumber perebutan mereka, misalnya lahan atau pohon kelap dan sejenis tanaman lainnya. Sehingga kebanyakan lahan yang sasi di kelola oleh orang lain diluar dari keluraga kedua belah pihak yang berseteru, dan hasil dari lahan tersebut diberikan kepada masjid.

Baca Selengkapnya......

Jumat, 16 Januari 2009

Mencari Sistem Pemerintahan Desa di Halbar Menyambut Penyusunan Regulasi Tentang Desa di Halmahera Barat

Topik tentu diharapkan dapat menjawab bentuk dan susunan pemerintahan desa di Kabupaten Halbar ke depan. Sebagai kabupaten yang baru dimekarkan, salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah bentuk dan susunan pemerintahan desa dimana hal tersebut sangat terkait dengan kehidupan rakyat Halbar secara keseluruhan. Sistem pemerintahan desa di Halbar ke depan yang akan dituangkan dalam regulasi daerah sangat penting posisinya, bukan hanya bagi program pembangunan pemerintah daerah tetapi juga bagi bangunan sosial yang hendak didirikan dalam kehidupan masyarakat desa. tulisan ini hendak membahas berbagai pendekatan sistem pemerintahan desa, baik semasa UU No. 5 Tahun 1979 diberlakukan ataupun sesudah dicabutnya UU yang kontroversial tersebut. Pembahasan juga akan diletakkan pada pengalaman masyarakat desa di Halbar, khususnya ketika negara belum mengambil alih sistem kelembagaan lokal yang tumbuh sejak jaman dinasti Kerajaan di Jazirah Moloku Kie Raha.

Kehancuran Lokalitas

Ada dua hal yang penting yang semestinya dipelajari dalam pengalaman pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979, pertama adalah penghancuran lokalitas. Pengalaman di Halbar sendiri menunjukkan kenyataan tersebut, dengan pudarnya sistem pemerintahan lokal yang telah tumbuh dan berkembang. Pengancuran lokalitas ini merambah ke berbagai level dari istilah sampai substansinya, seperti, Kampong diganti dengan nama desa, Fanyira (Nyira) diganti dengan kepala desa, Kabo diganti dengan Kepala Dusun, Marinyo diganti dengan sekretaris desa, Rumah Adat dipindahkan ke Balai Desa, dolo-dolo (kentongan) diganti dengan surat menyurat, Bari diganti dengan upah/perintah, dan lain sebagainya. Pendek kata apa yang sudah tumbuh selama ratusan tahun di Halmahera Barat secara tiba-tiba dengan adanya UU No. 5 Tahun 1979 diganti dengan sebuah sistem pemerintahan yang asing sama sekali.

Kedua, paralel dengan yang pertama adalah hancurnya sistem sosial, terlebih ketika segregasi sosial semakin tajam di masyarakat. Kepemimpinan yang lahir dari bawah, tumbuh sejalan dengan aspirasi dan kepercayaan masyarakat digantikan dengan sistem kepemimpinan modern yang tumbuh berdasarkan rasionalistas. Demokrasi dan birokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dihasilkan dari sistem politik modern yang menisbikan adat istiadat masyarakat. Penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa yang diterapkan dalam UU No. 5 Tahun 1979 telah mengubah sistem rekruitmen kepemimpinan lokal yang berdasar pada patromonial tradisional menjadi rasional modern. Sayangnya sistem kepemimpinan yang tumbuh dari pola rekruitmen rasional madern gagal dalam mengantisipasi krisis di Halbar tahun 2000 (kerusuhan sosial) dan justru kepemimpinan lokal tradisionalah yang berhasil menjembatani dan meredakan. Hal ini membuktikan bahwa UU No. 5 Tahun 1979 telah gagal dalam mengembangkan kepercayaan rakyat di desa atas kepemimpinan yang dilahirkan.

Pintu Kembali ke Lokalitas

UU No. 22 Tahun 1999 (yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) telah menunjukkan sikap koreksinya atas pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1979. Dengan sikap koreksinya tersebut semestinya menjadi energi untuk menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang ditengarai sebagai penyeragaman bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa tidak dapat lagi ditolerir.

Di Kabupaten Halbar, momentum tersebut dapat digunakan sebagai pintu membuka arsip lama mengenai bangunan pemerintahan desa ke depan. Pengalaman sejarah sosial di pedesaan sejak jaman dinasti kerajaan Moloku kie raha menunjukkan kehidupan sosial masyarakat pedesaan berlangsung sangat dinamis dan penuh dengan semangat kerelawanan (volunterisme). Adat istiadat tumbuh menemukan ruang dalam tradisi masyarakat lokal berhimpitan dengan keyakinan masyarakat yang membentuk jembatan antar komonitas. Apa yang kemudian dikenal dengan adat matoto agama, agama matoto kitabullah adalah bukti bahwa antara adat dengan keyakinan religius adalah dua nilai yang melekat erat dalam masyarakat kita.

Sistem pemerintahan Kampong terbentuk atas dasar nilai-nilai universal dan keyakinan kepemimpinan yang dijaga secara turun temurun. Kemimpinan yang terpilih adalah figur terbaik di tingkat lokal yang mendapat mandat menjadi pelindung sekalian warga yang tinggal di dalamnya. Fanyira (Nyira) adalah sosok yang dituakan di desa atas dasar kepribadian dan kepemimpinannya diikuti oleh semua orang. Berbeda dengan kepala desa pada masa sekarang yang cenderung mengakar ke atas, Fanyira (Nyira) figur yang mengakar ke bawah untuk menjaga adat istiadat dan memerintah dengan bijaksana. Fanyira (Nyira) tidak mencari kebenaran tekstual (legalitas) , tetapi kontekstual (legitimasi). Apa yang menjadi kehendak masyarakat, itulah yang dijalankan.

Di bawah Fanyira (Nyira) ada Marinyo dan Kabo yang membantu Fanyira (Nyira) dalam urusan administrasi dan pemerintahan. Mereka dipilih atas dasar keahlian tertentu yang diyakini mampu memperlancar urusan pemerintahan Fanyira. Dalam panyira juga dibentuk Mahimo yang merupakan badan yang bertugas mengawasi Fanyira. Secara keseluruhan sistem pemerintahan di Halmahera Barat berjalan dalam ruang yang diciptakan dan disepakati oleh warga yang tinggal di dalamnya. Tidak mengherankan kalau sistem pemerintahan ini terbukti mampu menggerakkan masyarakat untuk bekerja tanpa pamrih bagi pembangunan desanya. Sistem sosial Bari telah membuktikan bahwa di Jailolo pernah hidup semangat kesalehan sosial untuk saling membantu dan bergotong royong sebagai sebuah relasi sosial turun temurun.

Tantangan Ke Depan

Mengembalikan sistem pemerintahan desa kedalam lokalitas bukan utopia. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Jailolo pernah menjalankan sistem pemerintahan desa yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, pun dengan daerah lain memiliki karakteristiknya sendiri. Bahkan sistem pemerintahan tersebut telah menjadi tameng sosial yang efektif ketika masyarakat desa menghadapi krisis. Semangat Bari dan kepemimpinan Fanyira (Nyira) yang legitimate merupakan senjata yang ampuh untuk melindungi masyarakat dari bahaya sosial berupa perpecahan.

Dalam peluang otonomi, hendalah menjadi pintu masuk untuk menyusun pemerintahan desa sebagai pondasi penting dalam pembangunan di Halbar. Untuk mempersiapkan hal tersebut, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah Halbar kalau ingin menjadikan pemerintahan desa yang kokoh dan mengakar ke bawah, pertama, menumbuhkan keberanian bahwa apa yang disebut dengan spirit lokalitas adalah pilihan terbaik dalam kehidupan sosial politik masyarakat Halmahera Barat. Bahwa masyarakat Halbar memiliki tradisi pemerintahan desa yang berbeda dengan daerah lain dan terbukti mampu menopang kehidupan warga yang tinggal di dalamnya. Keberanian ini didsarkan pada argumen mengenai kenyataan sejarah sosial masyarakat Halbar sendiri. Kedua, menyusun sebuah dokumen mengenai berbagai pengalaman kelembagaan lokal, sekaligus juga konfigurasi yang memungkinkan di lakukan dengan perkembangan sosial politik yang berlangsung baik pada tingkat lokal maupun nasional. Tidak dapat diingkari bahwa Kabupaten Halbar tetap merupkana bagian dari NKRI yang harus tunduk pada aturan-aturan normatif yang disusun pusat. Namun bukan berarti apa yang telah disusun pusat implementasikan secara mentah begitu saja tanpa ada upaya untuk melakukan penyesuaian dengan memperhatikan situasi sosial politik masyarakat Halbar. Semestinya kebijakan pusat mewadahi berbagai keragaman yang berlangsung, sebagai panorama ditaman sarinya Nusantara. Ketiga, harus ada sikap untuk terbuka dan belajar dari berbagai pihak, baik DPRD, eksekutif maupun masyarakat desa sendiri mengenai pentingnya satu pondasi pemerintahan desa yang kuat, dengan partisipasi rakyat sebagai tiang utamanya. Sebagai kabupaten baru, visi, kualitas dan hasil pembangunan sangat ditentukan sekarang. Masa dimana segenap kompenen dalam Kabupaten Halbar sedang mencari bentuk pendekatan yang paling tepat, termasuk didalamnya adalah bentuk dan sistem pemerintahan desa. Jangan sampai kebijakan yang dihasilkan menjadi residu (racun) bagi masyarakat yang akibatnya akan terasa puluhan atau ratusan tahun ke depan oleh generasi berikutnya di Halbar.

Baca Selengkapnya......

Sekilas Tentang Pengembangan Modernization theory,Underdevelopment Tehory, dan Munculnya world systems Tehory

Dalam penulisan paper sebelumnya dapat dikatakan bahwa sebuah pemikiran mengenai pembangunan sangatlah berkaitan dengan beberapa ide tentang kemajuan, yang menciptakan suatu perubahan, mungkin sebuah evolusi, dari satu tingkat ke tingkat yang lainnya. Dalam kontes ini, maka berbicara tentang pembangunanisme tentu tidak dapat di lepaskan dari discursus tentang modernisasi. Teori modernisasi menekankan kemajuan pembangunan dinegara-negara dunia ketiga, jika adanya sebuah proses “duplikasi” model –model pembangunan yang dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga terhadap negara-negara barat. Asumsinya adalah bahwa jika negara ketiga mengingkan adanya kemajuan, maka harus menempatkan negara barat sebagai “kiblat” dari proses pembangunan.

Lain lagi dengan teori modernisasi, teori underdevelopment yang menyangkal kapitalisme dapat membangun dunia ketiga, terutama karena kapitalisme tidak dapat mereproduksi industrialisasi otonomi yang diduga terjadi di dunia Barat. Sebagai gantinya, rantai ketergantungan harus diperpendek, hubungan eksploitatif dihancurkan dan sosialisme diperkenallkan, tidak hanya pada satu negara namun terhadap sistem dunia keseluruhan. Dalam konteks ini baik teori modernisasi maupun teori underdevelopment dengan caranya masing-masing telah berfokus pada hubungan dari bagian utama sistem dunia. Meskipun konsentrasinya pada status bangsa, teori modernisasi menyoroti aspek-aspek positif dari hubungan tersebut, contohnya, difusi nilai-nilai, kebudayaan, teknologi, modal dan keahlian, sedangkan teori underdevelopment menekankan elemen-elemen yang tidak diinginkan dan ketidakseimbanagn perpindahan atau petukaran.

Setelah Amerika serikat menjadi salah satu kekuatan dominan dunia, hal ini tentu membuat ketertarikan tersendiri khususnya para ilmuan sosial untuk mempelajari persoalan pembangunan di negara dunia ketiga. Dalam konteks inilah yang kemudian melahirkan ajaran modernisasi yang lebih mendominasi bidang kajian permasalahan pembangunan sejak 1950-an. Namun demikian modernisasi kemudian dianggap gagal dalam implementasi program-program modernisasinya di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, yang kemudian membidani lahirnya teori neo marxis dependensi.

Tentu ajaran dependesi lebih memfokuskan diri pada kritikan yang tajam pada ajaran modernisasi, bahkan tidak kurang ajaran ini kemudian mengatakan bahwa teori modernisasi sebagai rasionalisasi imperialisme. Dari Amerika Latin inilah yang membuat ajaran dependensi menyebar dan mengalami perkembangan yang begitu pesat di Amerika Serikat. Namun demikan sekalipun teori dependensi tidak mampu menghancurkan teori modernisasi, keadaan yang serupa jugan dialami teori modernisasi tidak dapat mengatakan , bahwa dependensi sebagai ajaran yang tidak “sah”. “Benturan” antara kedua perspektif pembangunan ini kemudian ternyata membawa akibat positif berupa lahirnya pemikiran kritis dan wawasan alternatif yang muncul paroh tahun 1970-an.

Pada pertengahan pertama tahun 1970-an,terjadi perdebatan kedua perspektif pembangunan yakni teori modernisasi dan teori dependensi dalam mengkaji dan memperdebatkan masalah –masalah seputar peristiwa sejarah tentang tata ekonomi-kapitalis dunia. Dalam konteks ini, kedua perspektif pembangunan dimaksud dianggap kurang mampu menjawab fenomena itu secara memuaskan. Dengan merujuka pada pada peristiwa dimana negara-negara asia timur ( Jepang, Taiwan, Korea selatan, hongkong dan singapura) terus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kenyataan ini kemudian menjadi sulit untuk menggambarkan “kejaiban ekonomi” sebagai sekedar hasil dari kebekerjaannya “imperialisme”. Di lain sisi persitiwa krisis di negara sosialis dengan perpecahan RRC dan Uni Soviet, kegagalan revolusi kebudayaan, stagnasi ekonomi, dan munculnya krisis di Amerika Serikat denganperang Vietnam, krisis watergate, embargo minyak tahun 1975, inflasi dan stagnasi ekonomi Amerika tahun 1970-an, kesemuanya itu tentu merupakan sebuah fenomena yang memberikan indikasi akan mulai robohnya hegomoni politik ekonomi Amerika Serikat.

Dalam rangka untuk memikirkan ulang dan menganalisa persoalan-persoalan krisis yang muncul dalam tata ekonomi dunia pada dekade terakhir tersebut, maka kemudian muncullah sebuah pespektif pembangunan baru, yang di perkenalkan oleh Wallerstein dan pengikutnya yang di sebut sebagai perspektif sistem dunia ( The World System Perspective), atau dapat saja di sebut sebagai ajaran sistem ekonomi-kapitalis dunia ( The World Capitalist – Economy School).

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka dapat di katakan bahwa Unit-unit analisa yang dipakai dari perspektif dependensi dan sistem dunia mempunyai perbedaan yang sangat signifikan. Teori sistem dunia, lebih menempatkan analisanya pada sistem dunia, bukan negara, bangsa, atau masyarakat. Itu artinya bahwa teori sistem dunia mem “fardhukan” untuk melakukan analisa sejarah sosial secara holistik dengan mencakup periode yang panjang dan wilayah geografis yang luas. Dalam konteks ini maka teori sistem dunia memindahkan perhatian dari persoalan pencirian karakteristik negara menuju pada usaha pencaririan karakteristik hubungan relasional antar negara. Itu artinya bahwa teori sistem dunia tidak lagi melihat kelas dan status sebagai bentuk pengelompokan dalam satu negara, akan tetapi memandangnya sebagai bentuk pelapisan dalam sistem ekonomi dunia. Berbeda halnya dengan teori dependensi yang memfokuskan pada masa jaya dan bangkrutnya suatu negara.

Konsep “Dinamika Sejarah Sistem Dunia” Dan “Semi Pinggiran”

Wallerstein, selalu berusaha melihat, bahwa kenyataan sosial selalu berada terus-menerus dalam proses perubahan. Dalam hal ini ia berupaya untuk memahami realitas yang selau berubah dengan rumusan kita. Oleh karena itu ada kecenderungan untuk lupa, bahwa ketika kita mampu menangkapnya, relaitas tersebut telah berubah. Untuk mengatasi persoalan ini, Wallerstein menyarankan agar kajian-kajian ilmu sosial didasarkan pada analisa jangka panjang, dan dalam ruang yang luas. Rentang waktu dan ruang itu diharapkan dapat memberikan kalim integritas dan otonomi relatif atas ruang dan waktu. Ruang dan waktu inilah yang kemudian menurut Wallerstein sering disebut sebagai sistem yang menyejarah ( sistem sejarah). Dalam konteks ini maka sistem yang mempunyai sejarah, tentu memiliki awal, tahapan perkembangan, dan penutup ( pengahncuran, disintegrasi, atau sekedar transformasi, Aufhebung). Di lain sisi Wallerstein juga mengartikan sistem yang menyejarah atau historical system sebagai sistem yang dengan segala isinya lahir, berkembang, dan mati serta timbul kembali sebagai akibat dari adanya semacam proses pembangian kerja yang terus menerus dan lebih cangih. Lanjut Wallerstein, dalam sejarah umat manusia, dia berpendapat bahwa ada tiga sistem yang menyejarah yang pernah diketahui, yakni sistem mini, ( the mini system), sistem kekaisaran ( the world-emperies), dan sistem ekonomi dunia ( the world-economies).

Teori Sistem Dunia dalam menjelaskan Kecenderungan Siklus dan Analisa

Global dari Sistem Ekonomi Kapitalis Dunia.

Dalam pada itu, perspektif sistem dunia mempelajarai dinamika sejarah sistem ekonomi dunia. Dalam konteks ini, Wallerstein berpendapat bahwa sistem ekonomi kapitalis dunia ini berkembang melalui kecenderungan sekulernya (secular trends) yang meliputi proses pencaplokan, ( incorporation), komersialisasi agraria, industrialisasi, dan proletarianisasi. Dalam hal ini, sistem ekonomi dunia juga memiliki apa yang disebut sebagai irama perputaran, yakni irama ekspansi dan stagnasi yang terjadi sebgai akibat ketidakseimbangan permintaan dan penawaran barang dunia. Jika demikian halnya (penawaran melebihi permintaa), maka boleh jadi sistem ekonomi dunia mengalami stagnasi. Pada fase ini biasanya disebut sebagai fase penurunan (Fase B) pengaruh negara sentral terhadap negara pinggiran melemah yang mengakibatkan tersedianya kesempatan bagi negara pinggiran tersebut untuk melakukan usaha percepatan pembangunan dan mengejar ketertinggalan, dengan kata lain fase ini mempunyai tahapan dan fungsi pembagian kue ekonomi dunia dari negara sentral ke negara pinggiran.

Namun dalam masa yang cukup panjang negara sentral akan mengalami kebangkitan akibat tumbuhnya permintaan di negara pinggiran dan juga sebagai akibat penemuan baru teknologi. Inilah yang kemudia dapat dikenal sebagai fase ekspansi ekonomi. Pada fase ini negara sentral berusaha untuk meraih kembali pengaruhnya yang pada masa sebelumnya telah berkurang atau bahkan hilang, dan berusaha menanamkan kembali cengkraman kukunya, terhadap negara pinggiran, dalam rangka menggengam kembali dominasi pasar dunia. Ini berarti bahwa telah terjadi peralihan dalam dua masa. Dalam konteks ini maka bagi negara semi-pinggiran dan negara sentral, dimasa peralihan tersebut terletak waktu kritis untuk kemungkinan terjadi perebuhan politik ekonominya, baik karena kemunduran ekonomi dalam negerinya maupun karena mnculnya negara semi-pinggiran atau negara central baru. Oleh karenanya kemungkinan untuk selalu mengalami perubahan posisi pada dua fase atau masa peralihan tersebut, maka fenomena itu seringkali di sebut sebagai model dinamika sistem ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan setiap terjadinya masa perputaran, setiap negara akan mengalami dan pernah berada pada masa pancaroba, dan selalu terlibat pada proses transformasi untuk bergerak menuju posisi semi-pinggiran, sentral atau jatuh terpelanting pada posisi pinggiran. Wallerstein juga mengungkapkan bahwa pada masa kini umat manusia kemudian hidup dalam masa transisi yang panjang. Sebuah masa yang tidak lagi menyediakan kesempatan bagi kontradiksi-kontradiksi tata ekonomi kapitalis dunia untuk melakukan penyesuaian. Dalam konteks ini maka analisa sistem dunia untuk membangun satu ilmu sejarah sosial yang memahami dan menyadari unsur ketidakpastian dari masa transisi ini, untuk mampu menjawab proses transformasi dunia.

Di pihak lain Wallerstein juga berpendapat bahwa adanya sistem pemilikan negara dalam sistem ekonomi dunia tidak berarti adanya ekonomi sosialis. Baginya sistem kapitalis diartikan sebagai sistem yang terdiri dari para pemilik modal yang akan selalu menjual barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan. Negara baginya tidak lebih dari sekedar bentuk pemilikan kolektif dari alat-alat produksi, dan karenanya negara tidak lain keculai satu bentuk badan usaha bersama, sepanjang negara tersebut turut serta dalam pasar tata ekonomi kapitalis dunia ini. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pemilikan negara bukalah sosialisme, dan hanya sekedar variasi dari bentuk “merkantilisme klasik” yang merupakan salah satu cara yang digunakan oleh negara semi pinggiran untuk mencapai posisi sebagai negara central dalam sistem kapitalis dunia ini.

Di lain sisi, jika di lihat lebih jauh lagi maka di dalam perspektif sistem ekonomi dunia ( The Wold System) memiliki satu struktur teori yang unik. Perspektif ini tidak menggambarkan dunia secara teramat sederhana dengan model dwi-kutub, melainkan menjelaskan dengan model tri-kutub yang meliputi, sentral, semi-pinggiran, dan pinggiran. Tentu ketiga kutub ini akan membantu kita untuk memahami kompleksitas dunia. Setidaknya model tiga pelapisan ini akan membantu kita dalam menjelasakan secara sistematis kemungkinan terjadinya perubahan posisi menaik ( mobilitas dari pelapisan) dan sekaligus perubahan posisi menurun pada model lapisan dimaksud. Dalam konteks ini tentu sangat berbeda jauh dengan lingkup kajian dari perspektif dependensi yang hanya memfokuskan kajian pada negara-negara pinggiran, dan dengan asumsi bahwa negara pinggiran akan selalu berada pada posisi terbelakang atau paling tinggi berada pada suatu situasi pembangunan yang bergantung.

Dengan konsep negara semi – pinggiran ,perspektif sistem dunia tidak lagi membutuhkan satu penjelasan yang rumit dan berbelit, atau meninggalkan tanpa penjelasan apa yang disebut dengan pembangunan yang independen dan otonom dari negara pinggiran. Bahkan perspektif ini seringkalai menanyakan persoalan-persoalan yang terjadi di negara-negara Asia Timur yang mampu meninggalkan status pinggirannya di akhir abad ke 20 ini. Selain itu dalam perspektif sistem dunia tidak hanya mempelajari negara-negara terbelakang, seperti halnya teori dependensi. Namun perspektif sistem dunia mempunyai arena kajian yang cukup luas. Itu artinya bahwa negara-negara maju, termasuk negara sosialis menjadi fokus kajian perspektif ini, serta memberikan perhatian pada perkembangan dan kemungkinan disintegrasi dan kehancuran sistem ekonomi kapitalis dunia.

Pengaruh Gagasan Perspektif Sistem Dunia Terhadap Pola

Pembangunan Modern.

Seperti yang dikemukakan diatas bahwa dalam perspektif sistem ekonomi dunia ( The Wold System) memiliki satu struktur teori yang unik.yang menggambarkan dunia dengan model tri-kutub yang meliputi, sentral, semi-pinggiran, dan pinggiran. Dan disi lain perspektif sistem dunia dalam sistem ekonomi dunia juga memiliki apa yang disebut sebagai irama perputaran, yakni irama ekspansi dan stagnasi yang terjadi sebgai akibat ketidakseimbangan permintaan dan penawaran barang dunia. Jika demikian halnya, maka boleh jadi sistem ekonomi dunia mengalami stagnasi. Pada fase ini biasanya disebut sebagai fase penurunan. Dalam konteks ini maka pengaruh negara sentral terhadap negara pinggiran melemah yang mengakibatkan tersedianya kesempatan bagi negara pinggiran tersebut untuk melakukan usaha percepatan pembangunan dan mengejar ketertinggalan, dengan kata lain fase ini mempunyai tahapan dan fungsi pembagian kue ekonomi dunia dari negara sentral ke negara pinggiran. Disamping fase penurunan, seperti yang sebutkan pada pembahasan selanjutnya kita juga diperkenalkan dengan fase ekspansi, dimana negara central akan mengalami kebangkitan akibat tumbuhnya permintaan dinegara pingiran sebagai akibat penemuan baru teknologi, ( upaya negara central untuk meraih kembali pengaruhnya).

Dalam konteks ini, dapat juga dilihat ketika negara pinggiran yang relatif kuat, dan memiliki berbagai industrim kecil yang mapan turut juga akan melakukan ekspansi ekonomi.

Oleh karenanya, jika fenomena itu terjadi bukanlah sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi ketika kebijaksanaan pembangunan yang demikian itu justru kemudian membawa akibat sampingan bagi negara yang hendak mencapai perubahan posisi tersebut berupa pergantian bentuk ketergantungan, dari ketergantungan barang menjadi ketergantungan dalam bentuk lain seperti halnya, teknologi. Di lain sisi menjamurnya investasi langsung di berbagai negara pinggiran, serta kesadaran akan keberadaan perusahaan multinasional dengan birokrasi di negara-negara pinggiran dalam batas-batas tertentu memberikan keuntungan.

Untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan posisi suatu negara, maka Wallerstein mencoba menawarkan salah satu, atau kombinasi dari tiga alternatif startegi pembangunan, yang berupa startegi menagkap dan memanfaatkan kesempatan, strategi promosi dengan undangan, dan atau strategi berdiri diatas kaki sendiri.

Bahan Rujukan.

Alvin Y. SO Suwarsono,1991, Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, LP3ES Jakarta.

Immanuel Wallerstein. 1982, The Rise and Future Demise of World Capitalist System; Concepts for Comparative Analysis. in Hamza Alavi and Theodor Shanin. Introduction to the sociology of Developing Societies.

Robert. A. Denemark et al. 2000. World System History: The social science of long term change. London. Routledge.



[1] .Paper ini merupakan tugas Mingguan ( Topik ke 4), MK Sosiologi Pembangunan (KPM 515) Prog. Studi Sosiologi Pembangunan.

Baca Selengkapnya......