KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Rabu, 17 September 2008

Kembali Ke Lokalitas; ( Menyambut pemerintahan Desa berbasis Lokal di halbar)

Himawan S. Pambudi
( Direktur LAPERA Jogyakarta dan Fasilitator Lokakarya Kampong Di Halmahera Barat )

Saat ini semangat untuk mengadopsi lokalitas berkembang di berbagai daerah. Pengalaman politik menunjukkan bahwa sentralisasi bukan hanya berbuah ketimpangan antara wilayah, tetapi juga gagal dalam menyelesaikan krisis sosial. Ketika otoritas negara runtuh, kekuasaan resmi sudah tidak dapat dipercaya, dan legitimasi politik desirable, maka satu-satunya pintu keluar dari krisis sosial adalah kembali kepada lokalitas. Hanya otoritas yang terbangun dari bawah dan tumbuh sejalan dengan sistem sosial yang dibangun secara kolektif lah yang dapat menyelamatkan rakyat dari krisis. Pengalaman di berbagai tempat, khususnya daerah-daerah yang dilanda krisis ketegangan horisontal, masyarakat berhasil menyelesaikan krisis justru ketika kelembagaan dan otoritas lokal tampil ke depan menggantikan peran negara. Sayangnya justru inilah yang diingkari oleh negara dengan mengembalikan bentuk dan sistem pemerintahan desa yang birokratis sebagaimana dalam UU No. 32/2004.
Keinginan untuk mengembalikan karakter lokalitas bukan hanya sikap eforia dan sentimen kedaerahan tanpa makna, tetapi muncul dari pengalaman bahwa berbagai persoalan di masyarakat desa dapat diselesaikan dengan cara-cara dari dalam (lokal). Kenyataan bahwa masyarakat desa memiliki sistem sosialnya sendiri yang tumbuh selama ratusan tahun, dan dibangun berdasarkan pengalaman sejarah mereka atas berbagai persoalan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat desa. Disaat genting, masyarakat desa membutuhkan kehadiran sistem nilai lokal yang menjadi jembatan antar berbagai kelompok. Nilai lokal tumbuh dalam kesejarahan sosial atas berbagai situasi yang dihadapi jauh sebelum institusi politik hadir menggantikannya.
Sayangnya jembatan sosial yang diterjemahkan sebagai Bhineka Tunggal Ika oleh para pendiri negara (founding fathers), diterjemahkan secara dangkal oleh pemerintah Orde Baru yang tercermin dalam sistem pemerintahan, termasuk didalamnya bentuk dan susunan pemerintahan desa. Keberagaman sebagai kenyataan sosial tidak diakui, persatuan yang menjadi amanat agung diterjemahkan sebagai “persatean”. Sikap dan pandangan yang menggugat cara pandang penguasa divonis dengan subversif.
Kenyataan inilah yang hendak diangkat dalam sebuah lokakarya di Halmahera Barat (Halbar) dengan tajuk Upaya Memperkuat Regulasi Pemerintahan Desa Berbasis Lokal. Momentum yang pakai dalam lokakarya tersebut paling tidak ada dua hal, pertama secara normatif saat ini pemerintahan kabupaten Halbar sedang menyusun rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang pemerintahan desa yang akan menjadi fondasi bagi bentuk dan susunan pemerintahan desa ke depan. Kedua, secara substantif sebagai kabupaten baru, pemerintah Halbar harus segera menemukan formula pemerintahan desa sebelum “tercemar”oleh bentuk dan susunan pemerintahan desa yang bukan berbasis lokal. Bentuk dan susunan pemerintahan desa yang bukan berbasis lokal adalah bentuk dan susunan pemerintahan desa yang mengembalikan sentralisme dan pengendalian.. Melalui lokakarya diharapkan pemerintah Halbar kembali menemukan spirit lokalitas yang telah tercerai berai akibat dari kebijakan pemerintah pusat yang menempatkan desa sebagai alat pengendalian untuk mobilisasi dan kontrol atas rakyat.

Pengalaman Halbar
Penelitian singkat saya di Halbar untuk mempersiapkan materi lokakarya, menemukan betapa pentingnya spirit lokalitas dalam situasi krisis di masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika situasi genting berlangsung, khususnya ketika krisis sosial terjadi beberapa waktu lalu, salah satu pegangan utama menuju rekonsiliasi adalah semangat lokalitas yang kembali dihidupkan di tingkat lokal. Kenyakinan bahwa masyarakat Halbar adalah saudara, dengan menumbuhkan kepemimpinan tradisional telah berhasil memulihkan kebersamaan untuk keluar dari ketegangan sosial yang tidak produktif. Namun sayangnya situasi dan pengalaman ini yang tidak menjadi pelajaran berharga oleh para penyusun kebijakan, khususnya berkaitan dengan paket rancangan Perda tentang pemerintahan desa.
Para penyusun kebijakan tentang pemerintahan desa agaknya tidak mau terlalu pusing (latah) dan tidak mengetahui sejarah sosial masyarakatnya mengenai bagaimana masyarakat Halbar mampu keluar dari krisis. Para penyusun Raperda hanya “mencontek” dan “memoles” aturan-aturan normatif yang ada di PP No. 72/2005 tentang pemerintahan desa dan memindahkannya menjadi kebijakan daerah tanpa mau menggali pengalaman objektif terhadap sistem pemerintahan kampong.
Diakui atau tidak, saat ini kehidupan sosial di Halbar dalam situasi yang mengkhawatirkan. Paling tidak ada dua ancaman persoalan yang harus segera diantisipasi berkaitan masyarakat desa, pertama adalah birokratisasi (dan sentralisasi) yang muncul dalam berbagai regulasi, khususnya regulasi pusat yang ingin mengembalikan semangat pengendalian politik dalam sistem pemerintahan desa. UU yang mengatur pemerintah desa sangat jelas menunjukkan maksud tersebut. Salah satu yang paling menonjol adalah birokratisasi pemerintahan desa melalui berbagai instrumen politik. Akan lebih runyam lagi kalau para regulator di Halbar tidak mau melahirkan berbagai inovasi berdasar prakarsa lokal yang sesuai dengan karakter sosial masyarakat. Sikap tidak mau repot dan pusing, terlebih kehilangan ingatan sosial terhadap sejarah masyarakatnya rupanya menjangkiti para pengambil kebijakan di Halbar. Hal ini ditunjukkan dengan paket Perda pemerintahan desa yang tumpang tindih dan tanpa kejelasan visi mengenai bentuk pemerintahan desa ke depan. Semestinya sejarah sosial lokal menjadi rujukan utama dalam penyusunan Raperda Pemerintahan Desa yang telah ditenggelamkan oleh sentralisme Orde Baru melalui UU No. 5 Tahun 1979.
Kedua, segregasi sosial dalam berbagai bentuk khususnya agama dan etnis. Segregasi ini semakin tajam setelah krisis sosial beberapa waktu yang lalu. Segregasi sosial sering dijadikan komoditi oleh berbagai orang dan kelompok yang kepentingan pragmatisnya tidak tertampung dalam kebijakan, dan dapat meletup kapan saja ketika menemukan mementumnya. Segregasi sosial dapat menjadi bom waktu yang mengubur cita-cita pemekaran untuk kesejahteraan masyarakat Halbar.
Bila spirit lokalitas hilang ditambah dengan segregasi yang tajam menemukan momentum, maka peristiwa kelabu dapat saja terulang. Pengalaman disituasi krisis beberapa waktu yang lalu menunjukkan peran kelembagaan dan kepemimpinan tradisional mampu membuka jalan bagi rekonsiliasi. Melalui ingatan sosial tentang sejarah masyarakat Halbar, masyarakat menemukan pintu untuk mengakhirisi krisis. Sayangnya hal ini tidak dijadikan pelajaran dalam menyusun kebijakan pemerintahan desa.
Halbar memiliki pengalaman yang berbeda dengan daerah lain mengenai spirit lokalitas. Di berbagai daerah spirit lokalitas berkaitan wilayah kelola agraria, proporsi anggaran bahkan etnorivalitas. Di Halbar spirit lokalitas diletakkan sebagai jembatan untuk mengeliminasi segregasi sosial dan menjebatani dinamika sosial menjadi energi produktif menatap masa depan. Kelembagaan sosial yang tumbuh jauh sebelum negara mengambil alih, telah menggantikan fungsi negara dalam meredakan dan membangun dialog pluralitas. Kalau hal ini tidak segera diperbarui dan direvitalisasi, maka kehidupan sosial politik di masyarakat halbar berada di kotak mesiu bersumbu pendek.

Penutup
Apa yang diharapkan dari lokakarya sistem pemerintahan desa berbasis lokal? Pemerintah dan masyarakat Halbar memiliki pekerjaan rumah yang besar. Sebagai kabupaten baru hasil pemekaran, para regulator daerah harus menemukan formula yang tepat sebagai pondasi pemerintahan desa . Kesembronoan dalam menyusun kebijakan sistem pemerintahan desa akan berakibat fatal bagi pembangunan dan sistem sosial masyarakat. Kelatahan dalam menyusun kebijakan pemerintahan desa bukan saja pemborosan politik, tetapi juga mendirikan istana pasir bernama desa.
Melalui lokakarya yang diselenggarakan oleh DPD KNPI Halbar diharapkan menghasilkan rekomendasi bagi para regulator daerah mengenai bagaimana bentuk dan susunan pemerintahan desa harus dibangun. Bagi masyarakat desa Halbar, lokakarya ini dapat menjadi batu pertama bagi upaya membangun jembatan sosial menuju masa depan yang bermakna.

Baca Selengkapnya......

Selasa, 16 September 2008

Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pembangunan : "Modernization dan Pembangunan"

Lafdy
Pendahuluan

Modernisasi merupakan sebuah isyu dalam rangka pencapaian proses pembangunan pasca berakhirnya perang dunia (PD II), yang melibatkan beberapa ilmuan sosial barat sebagai sebuah tantangan untuk memiliki model pembangunan dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi di negara barat. Berakhirnya era kolonialisasi dan monarkhi memunculkan beberapa negara baru dengan segala keterbatasannya. Oleh karenanya negara-negara baru tersebut membutuhkan program pembangunan ekonomi yang kuat. Dalam konteks itu, maka untuk mengatasi hal tersebut beberapa negara dunia pertama memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan negara dunia kedua. Hubungan kerjasama ini dilandasi oleh rasa kemanusiaan serta kepentingan kekuasaan dan keuntungan ekonomi jangka panjang.

Sepertinya Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Namun, konsep modernisasi ternyata mempunyai beberapa kelemahan apabila diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor pembeda yang utama antara negara dunia kedua dan ketiga. Modernisasi walaupun berhasil memajukan perekonomian negara dunia kedua namun gagal mewujudkan hal yang sama pada negara dunia ketiga. Bagi negara dunia ketiga modernisasi tak ubahnya dianggap sebagai “westernisasi”. Modernisasi dianggap telah menghilangkan nilai - nilai budaya yang ada. Pada sisi lain, modernisasi akan menghasilkan suatu pola perkembangan pembangunan dengan mendifusikan secara aktif segala sesuatu yang diperlukan dalam pembangunan, terutama nilai-nilai ‘modern’, teknologi, keahlian, dan modal. Di dunia ketiga, pelaku yang paling aktif dalam proses modernisasi dianggap golongan elit yang berpendidikan Barat, yang tugasnya adalah melepaskan masyarakat dari tradisi dan membawa mereka ke dalam abad ke-20. Dalam konteks ini maka modernisasi merupakan suatu pola pembangunan yang jika hal itu di terapkan oleh dunia ketiga, maka boleh jadi akan menciptakan kesejajaran antara Barat dan dunia ketiga. Pada tahapan industrilasiasi, dan ekspansi modal yang merupakan bagian dari modernisasi adalah sepertinta juga merupakan salah satu faktor penyebab yang akan mentarnsformasikan secara cepat ketertinggalan, atau kemunduran tradisi dalam suatu komunitas pedelaman pedesaan.

Paham marxis memandang bahwa Perkembangan dan keterbelakangan dilihat sebagai sisi berlawanan dari suatu proses yang sama : perkembangan pembangunan dalam satu kawasan atau wilayah itu terjadi secara cepat, dikarenakan implementasi pembangunannya dilakukan diatas biaya dan sumber daya diwilayah lain. Dalam konteks ini, masyarakat berkembang dan terbelakang turut serta dalam sistem dunia yang sama, yang dimulai dari ekspansi dan penjajahan kaum kapitalis. Berdasarkan pandangan ini, keterbelakangan harus dijelaskan dengan mengacu pada posisi struktural dari masyarakat dunia ketiga dalam ekonomi global dan tidak dengan kemunduran dari rakyat atau tradisinya

.Ajaran utama dari teori keterbelakangan (underdevelopment) nampak bertentangan secara langsung dengan teori modernisasi, dan menandai (paling sedikit) perubahan utama dari penekanan dalam pemikiran Marxis. Tentu saja, saya berpendapat bahwa diantara kritikus paling tajam dari teori underdevelopment adalah golongan Marx (Marxist) yang telah berselisih mengenai konsep kapitalisme dan eksploitasi, atau yang telah menganggap fokus teori underdevelopment pada hubungan eksternal berlebihan dan merugikan analisis struktur sosial dan politik dunia ketiga yang dibutuhkan. Untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini, beberapa penganut teori telah mencoba menguji bagaimana mode produksi pra-kapitalis dunia ketiga tertentu mengartikulasikan dengan mode kapitalis dominan, ketika yang lain mencoba untuk memperbaiki konsep mereka (misalkan, dari produksi komoditas skala kecil) bahwa kedua mode sama-sama dapat diterapkan pada dunia ketiga atau Barat. Selain itu, Marxis dan non Marxis sama-sama telah mengeluarkan nilai heuristik dari faham ketergantungan, bersamaan dengan kejadian empiris yang diduga memperlihatkan pemiskinan yang berkelanjutan di dunia ketiga yang di lakukan oleh dunia Barat.

.Penganut teori modernisasi cenderung merasakan dunia ketiga dari sebuah posisi evolusioner dari manfaat dan superioritas negara barat. Teori underdevelopment menganggap bahwa dunia ketiga perlu melangkah maju ke arah versi yang ideal dari apa yang mungkin telah dunia barat lakukan, tanpa intervensi kejam dari kapitalisme.

Pemikiran mengenai pembangunan berhubungan dengan beberapa ide tentang kemajuan, yang melibatkan suatu perubahan, mungkin sebuah evolusi, dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Teori modernisasi menekankan dan menyetujui kecenderungan ke arah dunia Barat, modernitas kapitalis, sebuah pandangan yang dikemukakan sampai pada taraf tertentu oleh Marxisme ortodoks, yang cenderung mengakui kapitalisme sebagai satu tahap yang diperlukan menuju sosialisme. Teori underdevelopment lebih ambivalen: teori tersebut menyangkal kapitalisme dapat membangun dunia ketiga, terutama karena kapitalisme tidak dapat mereproduksi industrialisasi otonomi yang diduga terjadi di dunia Barat. Sebagai gantinya, rantai ketergantungan harus diperpendek, hubungan eksploitatif dihancurkan dan sosialisme diperkenallkan, tidak hanya pada satu negara namun terhadap sistem dunia keseluruhan.

Ketidaksetujuan mengenai alam pembangunan direfleksikan dalam ‘bagaimana ia dapat diukur’. Fokus dari teori modernisasi dalam pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan beberapa indikasi seperti melek huruf, akses terhadap pelayanan kesehatan dan kepemilikan konsumen yang tahan lama, jelas tidak cukup untuk para penganut teori underdevelopment dan beberapa kritikus liberal. Mereka tidak mengeluarkan pertumbuhan sebagai sebuah ciri pembangunan, bahkan ciri yang dibutuhkan, namun menekankan keperluan tambahan dari arah sentral untuk meyakinkan bahwa kebutuhan dasar dipenuhi dan bahwa terdapat pemerataan hasil pembangunan.

Di sisi lain penganut teori modernisasi melihat industrialisasi kapitalis sebagai jalur paling efektif dari pembangunan, kurang tulus dan bermoral dalam hubungannya dengan kesejahteraan manusia daripada penganut teori underdevelopment (dan teori lainnya) yang menekankan kesamaan dalam distribusi dan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar.

Sebagai pembanding, modernisasi nampak menjadi lebih mudah diartikan. Secara sederhananya, modernitas adalah apa yang ‘up to date’ di tempat tertentu pada waktu tertentu. Umumnya, ia akan menjadi aspek Westernisasi yang melibatkan perubahan yang kontras dengan keadaan tradisi sebelumnya. Mengutip sebuah contoh dari Barat: tidak mudah untuk mengkategorikan kerajaan Inggris. Inggris dapat dianggap sebagai sebuah negara modern, tradisional atau gabungan dari keduanya. Satu pendapat ekstrim, sesuatu yang modern mungkin menjadi gaya baru, bentuk pakaian baru atau gaya arsitektur yang berbeda. Meskipun demikian, sedikit perubahan yang ada tersebut mungkin diilhami oleh kenyataan kultural dan religi yang dalam dan tidak harus dihilangkan. Alternatifnya, modernisasi mungkin juga melibatkan perubahan struktural yang ekstensif. Ambil contoh dari Berger dan koleganya (Berger et al., 1974), perubahan yang lebih komprehensif dalam rutinitas keseharian dapat mengikuti pengenalan produksi massa: peningkatan pendapatan, perubahan struktur keluarga, terutama dalam peranan perempuan, peningkatan produksi kerajinan tangan tradisional atau pertanian, dan pengaruh meresap dari ‘time-keeping’ (pengaturan waktu), tidak hanya pada pekerjaan, tapi juga pada berbagai interaksi lainnya. Perubahan tersebut, berjalan pada apa yang disebut oleh Berger sebagai ‘kultur ekonomi’ (1987a, hal.7), yakni dapat digambarkan, diverifikasi dan dijelaskan, serta perubahan tersebut membuat area yang rumit dari studi sosiologi.

Kemudian, apakah perbedaan antara pembangunan dan modernisasi? Pembangunan adalah sebuah perubahan menuju status yang dihargai, yang mungkin atau tidak mungkin diperoleh pada beberapa konteks sosial lain dan yang tidak mungkin terjangkau. Modernisasi merupakan suatu proses yang sama. Ia merupakan sesuatu yang terjadi secara aktual, baik atau buruk: rangkaian dari pola dengan konsekwensi yang dapat digambarkan, diargumentasikan dan dievaluasi. Jika dinilai sebagai baik atau progresif, perubahan dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap pembangunan, namun tidak perlu dievaluasi dengan cara ini. Hampir sama dapat dikatakan bahwa kapitalisme merupakan satu contoh lagi yang lebih komprehensif dari modernitas. Meskipun perdebatan sengit atas definisi, secara umum disetujui bahwa kapitalisme melibatkan sejumlah proses sosial yang didokumentasikan dengan baik : pemisahan pekerja dari alat produksi mereka, menyesuaikan peningkatan upah buruh dan partisipasi dalam ekonomi langsung, ketidakpunyaan lahan dan meningkatnya ketidakmerataan, produksi untuk mendapatkan laba, pabrik skala besar dan intensif modal, penerapan teknologi produksi, dan pembagian buruh secara luas – semua melibatkan perubahan dalam pabrik sosial, ekonomi, budaya dan politik dari masyarakat.

perdebatan ‘the two sosiologies’ adalah hubungan antara teori tindakan dan teori sistem yang menyoroti perbedaan antara persepsi tindakan individu dan tindakan kelompok dalam sistem sosial dan kekuatan sosial. Pada semua sosiologi, termasuk studi modernisasi dan pembangunan, perlu untuk menguji tujuan dan proses sosial yang dapat diukur sebaik orientasi ‘subjektif’ dan ‘intersubjektif’ dari pelaku.

Sosiologi sedang mencoba untuk mengerti dunia masyarakat, hubungan antar dan dalam masyarakat, dan berbagai tindakan sosial dan interaksi dimana manusia turut serta didalamnya. Apakah fokus utama mereka pada elemen mikro atau makro dari interaksi ini, sosiolog selanjutnya mencari pola yang akan membantunya menggambarkan, menjelaskan dan membuat pertimbangan tentang elemen yang membedakan dari kehidupan sosial di mana mereka dihadapkan dan dimana mereka tinggal.

Seperti dikalangan paham modernisasi (atau tradisional), sosiolog diharapkan untuk mempelajari masyarakat dan mencari dasar pola sosial karena masyarakat berada dalam status perubahan terus-menerus dan sedang mencoba untuk memahami apa yang membuat masyarakat bergerak, mereka juga diminta untuk menggambarkan posisi mereka didalamnya.

Singkatnya bahwa sosiologi modernisasi dan pembangunan adalah cabang dari sosiologi yang menguji proses-proses modernisasi dan pembangunan, terutama tidak hanya di dunia ketiga, dimana mereka paling jelas dan dramatis sebagai bagian dari proyek ini, diperlukan studi struktur sosial domestik, politik dan ekonomi, sebaik hubungannya yang berkelanjutan dengan lembaga eksternal, masyarakat dan sistem. Dalam kesemuanya ini, perhatian paling khusus dari sosiologi adalah dengan hubungan sosial dan proses sosial serta konotasi ekonomi, politik dan budayanya.

Menurut Schoorl, modernisasi itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Modernisasi itu adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara-negara berkembang dan dapat dilakukan jika bersentuhan dengan negara-negara maju. Hal ini didasarkan pada bahwa modernisasi itu adalah sesuatu yang baik. Michael dove sepakat bahwa kemajuan itu harus mengacu pada dunia-dunia maju. Namun, tidak semua modernisasi itu merusak nilai-nilai tradisional, dalam beberapa hal terdapat adaptasi.Hal ini dasarkan pada kajian historis. Padahal, jangan-jangan proses modern itu tidak seperti di negara-negara maju. Namun, kenyataannya modernisasi memang telah menggerus tatanan tradisional masyarakat.

Schoorl membahas aspek sosiologi tentang modernisasi di dunia nonbarat sebagai spesialisasi baik dari antropologi budaya maupun dari sosiologi. Kedua bidang ilmu tersebut menaruh perhatian pada persoalan-persolan dunia ketiga. Salah satu yang menjadi pokok perhatian adalah gejala-gejala dan persoalan-persoalan ditingkat makro, seperti gejala urbanisasi dan masalah kependudukan. Adapun sosiologi memberi pengertian tentang masyarakat modern dan kebudayaannya sebagai perspektif, dan membuka kemungkinan untuk mengadakan perbandingan ke arah mana proses-proses modernisasi berjalan.

Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat beberapa konsep kunci sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses modernisasi seperti industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi, perubahan struktur masyarakat baik melalui kemajuan politik maupun mobilitas penduduk, perkembangan teknologi sebagai peningkatan pengetahuan. Schoorl (1980) dalam bukunya berjudul Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang membuka tulisannya dengan menyatakan bahwa modernisasi sebagai gejala umum. Semua bangsa terlibat dalam proses modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut revolusi industri. Penyebaran itu dianggap sebagai sesuatu yang begitu biasa, sehingga masyarakat dunia itu sering dibagi menjadi dua kategori : negara maju dan negara sedang berkembang, masing-masing terdiri atas negara-negara yang telah mengalami modernisasi dan negara-negara yang mengadakan modernisasi.

Lebih lanjut, Schoorl menyatakan bahwa negara sedang berkembang sebagai obyek penelitian.schoorl menyajikan perbedaan keadaan yang berpengaruh atas pola dan profil perkembangan di dunia ketiga dengan mengulas semua aspek dari sudut pandang negara maju atau negara barat. Hubungan antara negara sedang berkembang dengan negara maju merupakan pergaulan dunia yang membutuhkan semacam aturan mengnai relasi antar negara. Dalam pergaulan antarnegara orang bertolak dari ideal, bahwa semua negara itu sama kedudukannya dan sama haknya, tanpa mengingat besarnya dan kekayaannya. Namun terdapat ketidaksamaan yang memainkan peranan penting dalam relasi antar negara itu. Ketidaksamaan yang nyata dalam relasi tersebut dalam sosiologi dilihat sebagai perbedaan kekuatan, artinya perbedaan kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Adapun yang menjadi dasar kekuatan dalam hubungan internasional ialah perbedaan dalam hal pengetahuan, kehormatan, posisi yang dicapai, dan sarana kekuatan militer.

Menurut Schoorl asumsi-asumsi dasar modernisasi sesuatu masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Dibidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri dengan pertumbuhan ekonomi sebagai akses utama. Berhubung dengan perkembangan ekonomi, sebagian penduduk tempat tinggalnya tergeser ke lingkungan kota-kota. Masyarakat modern telah tumbuh tipe kepribadian tertentu yang dominan. Tipe kepribadian seperti itu menyebabkan orang dapat hidup di dalam dan memelihara masyarakat modern.

Modernisasi sama artinya dengan evolusi bila dibatasi pada perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan. Namun menurut Linton, modernisasi dan masyarakat modern itu dapat bermacam-macam arahnya. Tergantung pada nilai-nilai dan norma-norma yang digunakan apakah modernisasi tertentu itu juga dipandang sebagai kemajuan atau bukan.

Proses evolusi merupakan pertumbuhan yang mutlak dan manusia sesuai dengan posisi dan situasinya, sampai batas-batas tertentu bertanggung jawab atas perkembangan masyarakat dan kebudayaannya.

Adapun aspek lain dari perspektif modernisasi yaitu, Modernisasi lebih banyak terkait dengan determinasi materialistik. Pertumbuhan ekonomi menjadi eksen utama modernisasi. Padahal telah disinggung bahwa selain aspek sosiologi, kebudayaan juga ikut menjalankan proses modernisasi.

Negara maju atau dunia barat mengalami proses pertumbuhan ekonomi yang lebih awal dan lebih cepat dibandingkan dengan negara berkembang sehingga negara berkembang dipandang sebagai negara yang masih dalam proses modernisasi. Negara maju memiliki dasar-dasar kekuatan yang menempatkan mereka pada posisi penting di lembaga dunia (PBB). Sebagai lembaga penyalur aspirasi seluruh bangsa di dunia, PBB memiliki cita-cita untuk mewujudkan deklarasi hak-hak azasi manusia dan bantuan pembangunan internasional. Namun, cita-cita dan ideologi tersebut pada kenyataannya hanya menjadi sebuah implementasi dan perspektif pembangunan dalam tata tertib seperti yang dikehendaki oleh dunia barat. Pembangunan di negara-negara berkembang ditujukan pada satu arah yaitu kemajuan di negara barat.

Dube mengatakan Ciri manusia modern ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan nilai pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan menghasilkan inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan hubungan yang selaras antara kepribadian dan sistem sosial budaya. Sifat terpenting dari modernisasi adalah rasionalitas. Kemampuan berpikir secara rasional sangat dituntut dalam proses modernisasi. Kemampuan berpikir secara rasional menjadi sangat penting dalam menjelaskan berbagai gejala sosial yang ada. Masyarakat modern tidak mengenal lagi penjelasan penjelasan yang irasional seperti yang dikenal oleh masyarakat tradisional. Rasionalitas menjadi dasar dan karakter pada hubungan antar individu dan pandangan masyarakat terhadap masa depan yang mereka idam-idamkan.

Lerner (1958) menyatakan bahwa kepribadian modern dicirikan oleh :

  1. Empati : kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
  2. Mobilitas : kemampuan untuk melakukan “gerak sosia”l atau dengan kata lain kemampuan “beradaptasi”. Pada masyarakat modern sangat memungkinkan terdapat perubahan status dan peran atau peran ganda. Sistem stratifikasi yang terbuka sangat memungkinkan individu untuk berpindah status.
  3. Partisipasi : Masyarakat modern sangat berbeda dengan masyarakat tradisional yang kurang memperhatikan partisipasi individunya. Pada masyarakat tradisional individu cenderung pasif pada keseluruhan proses sosial, sebaliknya pada masyarakat modern keaktifan individu sangat diperlukan sehingga dapat memunculkan gagasan2 baru dalam pengambilan keputusan.

Sementara itu menurut David Harison(1988), mengatakan bahwa ada beberapa dimensi dalam mengukur seseorang dianggap modern yaitu: (1) siap untuk pengalaman baru dan terbuka terhadap inovasi, (2) tertarik pada pemikiran-pemikiran yang relevan, (3) berperilaku lebih demokratis terhadap pendapat orang lain, (4) berorientasi ke masa depan, (5) memiliki rencana masa depan hidupnya, (6) menyadari martabat orang lain, (7) berani menghadapi tantangan, dan (8) mempercayai distribusi keadilan.

Disi sisi lain moderinisasi yang masuk melalui change agents, akan cenderung pada homogenisasi ekonomi, sehingga akhirnya modernisasi, pembangunan, kapitalisme satu sama lain akan memiliki arti yang semakin konvergen. Menurut Harison Modernisasi juga akan berpengaruh terhadap perubahan susunan dan pola masyarakat, dengan terjadinya deferensiasi struktural demikian juga dengan kapitalisme yang telah dibuktikan sejarah, serta kritik oleh Marx akan menimbulkan struktur yang penuh konflik.

.Di lain pihak, Schoorl memandang modernisasi yang lahir di barat akan cenderung ke arah westernisasi, memiliki tekanan yang kuat meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun setidaknya akan muncul kebudayaan barat dalam kebudayaanya. Di bawah ini kami mencoba membuat rumusan suatu “matrix” setidaknya dapat memberikan perbandingan dari penjelasan spencer, schoorl, dan dube tentang modernisasi

Selanjutnya Terdapat beberapa “keambiguan”/kelemahan pandangan modernisasi tentang kemanusiaan :

  1. Keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial (negara maju-berkembang) tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
  2. Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan iptek pada organisasi modern tidak dapat diikuti oleh semua negara.
  3. Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
  4. Keberhasilan negara barat dalam melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan kolonial yang mereka miliki sehingga mampu mengeruk SDA dengan mdari negara berkembang dengan murah dan mudah. Modernisasi = neokolonialisme. Negara maju = “.serigala berbulu domba”.

Konsep modernisasi gagal dalam mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut, pendekatan yang selalu berorientasi pada iptek mengasumsikan bahwa masalah kemanusiaan dapat diatasi dengan menggunakan iptek tersebut. pendekatan ini sangat kontraproduktif dimana tekanan penggunaan iptek pada industri adalah “padat modal”. Industri yang berbasis iptek tersebut memerlukan TK yang sedikit namun dengan kualifikasi yang sangat tinggi. Kondisi yang tidak mungkin terdapat pada negara berkembang dengan jumlah naker melimpah namun kualifikasi yang ada sangat rendah. Negara berkembang lebih cocok dengan industri yang menggunakan konsep “padat karya”. Bukti kegagalan pendekatan iptek semata adalah vietnam yang mampu memenangi peperangan dengan USA menggunakan taktik gerilya.

Modernisasi yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan untuk membangun masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan mengaanggap kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan bahkan sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia semakin terbelakang bahkan semakin carut-marut akibat masuknya budaya-budaya asing yang menghancurkan indegenous knowledge masyarakat lokal. Pemerintah secara sepihak telah memutuskan bentuk pembangunan yang dilakukan di Indonesia tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan. Dalam hal ini, oleh pemerintah masyarakat dijadikan obyek pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan sehingga masyarakat tidak pernah dilbatkan secara langsung.

Masuknya beragam program pemerintah untuk mengubah kondisi masyarakat dari keadaan terbelakang menuju kepada sebuah kemajuan, menjadikan masyarakat terpaksa meninggalkan nilai-nilai kulturalnya. Pemerintah selalu menganggap kondisi masyarakat adalah sebuah kondisi yang harus mendapat pembenahan. Ternyata pembenahan yang dilakukan pemerintah terkadang menjadi negatif setelah dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki nilai kultural yang bertolak belakang dengan program pembangunan pemerintah. Dampak yang ada di masyarakat sebagai akibat dari pembangunan, yang tidak jarang berdampak negatif, di jelaskan oleh penulis sebagai sebuah biaya yang harus menjadi tanggungan masyarakat dari pelaksanaan pembangunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Pada akhirnya, perhatian khusus yang menjadi fokus tulisan ini adalah kultur masyarakat lokal yang sebenarnya tidak bertentangan dengan pembangunan bahkan lebih bijak dibandingkan program-program bentukan pemerintah, selalu terlupakan. Sebagai hasil penelitian, penulis mencoba membuktikan bagaimana kultural masyarakat dalam berbagai aspek, ternyata lebih bermanfaat dibandingkan nilai baru yang bahkan menyebabkan kehancuran masyarakat

Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.

Dove dalam penelitiannya di membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.

Sajogyo justru kemudian membahas proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.

DAFTAR RUJUKAN

Dove, Michael R (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed Books Ltd, London.

Sajogyo. 1982. Modernization Without Development. The Journal of Social Studies. Bacca, Bangladesh.

Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT. Gramedia, Jakarta.

Spencer, Herbert.1963. ‘The Evolution of Societies’. Pp 9-13 in Etzioni, A. & Halevy, Eva Etzioni- (eds). Social Changes: Sources, Patterns and Consequences. Basic Books, New York.

Baca Selengkapnya......

Rabu, 03 September 2008

"Politik meki" di Maluku Utara

Sering di jumpai dalam sebuah hajatan demokrasi (misalnya, pilpres, atau pilkada) beragam terminologi politik sebagai wujud analogi terhadap perilaku dan strategi politik seperti halnya, " spilover politik, "politik dagang sapi", "politik selancar" "byclean politik" "political dumping, dan masih banyak istilah politik lainnya yang digunakan oleh kaum elite politik termasuk para pengamat, ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk mengamati dan menganalisa perilkau elit politik, baik pada tingkatan nasional maupun lokal.
Pada aras politik lokal, kecenderungan memproduksi terminologi politik mempunyai varian-varian tersendiri berdasarkan lokalitas yang dimilikinya. Dalam ranah politik praktis, tentu tidak adanya kawan dan lawan yang abadi, namun yang ada hanyalah kepentingan. Pada tataran ini, maka siapa memusuhi siapa, siapa berkawan dengan siapa, siapa mengingkari siapa, atau siapa mengkhianati siapa, adalah fenomena yang seringkali nampak dan nyata dipertontonkan oleh elite politik kita. Politik, adalah Akal mengakali akal, kata Benny Andika (Ketua DPRD Kabupaten Halbar). kalau demikian Halnya, maka politik = inkonsisten, tidak komitmen, bahkan dapat diinterpretasikan sebagai putar bale, dan foya foriki, (bohong/munafik). Sepertinya kita lupa, dan seakan-akan menegasikan aspek ideal dari politik itu sendiri, bahwa politik sesungguhnya merupakan suatu usaha untuk memanifestasikan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam masyarakat, termasuk nilai-nilai pendidikan, kesehatan,penghormatan, penghargaan, afeksi dan kebajikan. Jika demikan, maka fatsoen, etika dan moralitas politik yang merupakan nilai intrinsik dari politik itu sendiri harus menjadi sandaran nilai bagi elit politik kita dalam memainkan perannya "dipanggung" politik praktis. Dengan menegasikan fatsoen, etika dan moralitas politik, maka dekadensi moral, dan etika, khususnya para elite politik menjadi fenomena yang tak terhindarkan. Dekadensi moral itu sangat nampak ketika "manusia elite" kita memposisikan dirinya sebagai serigala bagi manusia yang lainnya ( Hobbes ). Situasi dimana manusia menjadi serigala bagi manusia lain, jika diperhadapkan dengan kondisi lokal maluku utara maka dikenal dengan "political meki". Jika terminologi ini kita dudukan secara Hakekat Politik, maka politik sangat dekat dengan Kekuasaan. Karena Hakekat Politik Sesungguhnya adalah berbicara tentang bagaimana cara mendapatkan kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, dan bagaimana cara menjalankan kekuasaan. Sedangkan "Meki" adalah suatu penamaan atau sebutan dari sejenis mahkluk halus (Iblis dan atau sejinis "wonge") yang biasanya dipelihara dan diberi makan dalam bentuk sesajian oleh sebagaian Manusia-Manusia yang mengkultuskan mahkluk halus di Maluku Utara.. "Meki" ini di beri makan oleh orang yang memeliharanya, dan saat-saat tertentu, "Meki"sangat dibutuhkan "skil peletnya" untuk mengganggu orang,menyakiti orang, sesuai perintah Tuannya (orang yang memeliharanya) pada siapa dan dimana orang yang harus disakiti atau diganggu.. Namun demikian ada sifat yang Khas dimiliki oleh "Meki" itu sendiri. "Meki" dapat menjadi sebuah ancaman bagi orang yang memeliharanya jika, tidak diberi sesajian, atau makanannya. Situasi ini, boleh jadi sikap patuh, dan loyal "Meki" oleh Tuannya menjadi hilang. Hingga pada kondisi tertentu nyawa orang yang memeliharanya menjadi sebuah ancaman. Apa sebenarnya yang menjadi pemicu pemberontakan "meki" hingga dapat mengancam nyawa tuannya. Lagi-lagi hanya karena soal "makanan". Berbicara tentang soal makanan, tentu tidak terlepas dari soal perut dan keinginan untuk survive dalam hidup. Banyak kasus pembunuhan, perampokan, penculikan, penipuan dilatarbelakangi oleh faktor ketidakcukupan akan makan. Dalam bernegara, ada yang mengatakan jangan dulu berbicara soal demokrasi jika perut kita sedang kosong. Kekosongan perut bisa saja membuat orang menjadi tuli, dan buta atas kenyataan sosial yang berada disekitarnya.

Kembali ke "Politik Meki" di Maluku Utara.

Sepetinya di maluku utara, Aktor-aktor politik dengan mentah-mentah telah mengadopsi perilaku "meki" dalam memainkan peran politiknya. Disaat menjelang hajatan demokrasi (Pilkada ), secara kejauhan dapat kita saksikan banyak sekali aktor-aktor politik muda belia, hingga aktor politik yang tua rentah berbondong-bondong datang meyakinkan sang Tokoh tertentu untuk maju sebagai kompetitor diantara kandidat-kandidat buapti/gubernur lainnya. Upaya meyakinkan sang tokoh tersebut, tentu dengan berbagai cara yang dilakukan. Dimulai dari pemetaan basis politik, kecenderungan pemilih, bahkan dengan SWOT mereka presentasikan untuk mengetahui nilai jual sang tokoh di tengah masyarakat. Sang Tokoh tentu merasa yakin dengan apa yang telah dipetakan oleh kelompok-kelompok tersebut. Kepercayaan diri akan maju bertarung dan harapan akan menang dalam pilkada mulai mengusik pikiran sang Tokoh. Waktu Pemilihan semakin dekat, pertemuan-pertemuan gencar dilakukan untuk membahas berbagai isyu politik ( termasuk isyu yang menjatuhkan popularitas kandidat lain) dan startegi politik yang digunakan, begitupun dengan konsolidasi ditingkat masyarakat pemilih terus dimantapkan, hingga tiba saatnya kampanye dan pencoblosan.. Dalam konteks ini, faktor dana (financial), dan Organisasi tim (tim Sukses) yang solid, juga menjadi penentu kemenangan seorang Tokoh/Calon kandidat/Bupati/Gubernur. Sehingga Tim Sukses dimata Calon Gubernur/Bupati adalah juru selamatnya disampaing modal yang cukup. Sebab, Ketidakefektifan tim dalam bekerja, tentu sangat berpengaruh terhadap perolehan suara seorang kandidat. Oleh Karenanya "politik ambe hati" dengan cara memeberikan uang, memberi makanan, memberikan jaminan atau konpensasi politik jika terpilih merupakan jurus ampuh yang sering digunakan para calon kandidat untuk meyakinkan kepada tim suksesnya untuk bekerja-dan terus bekerja agar dapat mengantarkan dirinya untuk duduk di kursi kekuasaan..Hubungan yang cukup intim, nampak terlihat begitu "seksi" antara Kandidat Calon Gubernur/Bupati dengan Tim Suksesnya. Karena kedua-duanya mempunya kepentingan. Tim Sukses mempunyai berkepentingan untuk bisa survive dalam hidupnya jika kandidatnya terpilih, sementara para Kandidat Gubernur/Bupati berkepntingan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar untuk kesejahteraan abadinya..Itu artinya bahwa, Tim sukses diperintahkan untuk bekerja keras meloloskan kepentingan sang Kandidat Gubernur/Bupati, sedangkan kandidat gubernur menyediakan makanan, uang, dan fasilitas lain yang dibutuhkan oleh Tim suksesnya, dengan harapan dengan sesajian palayanan dan fasilitas itu, tim sukses dapat bekerja dengan keras, penuh semangat untuk memenangkan dirinya sebagai Gubernur/Bupati.
Dalam situasi seperti ini, maka cerita tentang "meki" tersebut diatas tentu wajib hukumnya untuk dilekatkan pada diri Tim Sukses. Sementara Tokoh/Kandidat gubernur/Bupati memposisikan diri sebagai Tuan, dan atau orang yang memelihara "meki. Pada kondisi tertentu, jika Kandidatnya berhasil memperoleh kekuasaan sebagai Bupati/Gubernur, dan tidak memberikan sesajian pelayanan dan fasilitas kepada tim suksesnya, tanpa perdulikan hubungan keakraban yang intim terjalin dimasa lalu, Tim sukses akan "berganti wajah" dan kembali menjadi ancaman "kematian" bagi Gubernur/Bupati yang pernah diusungnya. Akibat dari Ketidaktepatan dan ketidaktersediaanya "sesajian" dari Gubernur/Buapti akan dirinya (tim sukses), maka pengingkaran, pembusukan lewat pengungkapan kasus-kasus berkaitan dengan pakaian dinasnya (kinerja) dibuka satu persatu hingga pada akhirnya "telanjang" dihadapan publik.. Fenomena ini dapat kita amati, dimulai dari Gubernur Thaib Armayin hingga Namto Roba, mereka tidak menyadari bahwa saat ini mereka tengah memelihara "meki" di Lingkungannya. Tapi Saya yakin Bapak bupati Namto H. Roba, dengan "kemampuan"nya akan sanggup dan menjinakan "meki-meki" disekitarnya, di bandingkan Bapak Thaib Armaiyn yang sebentar lagi akan dihilangkan nyawanya oleh "meki-meki" peliharaannya sendiri..
Semoga..!!!

Baca Selengkapnya......

Selasa, 26 Agustus 2008

"Sasadu" dan "Legu" Sahu.

Di Maluku Utara, tepatnya dikecamatan sahu Kabupaten Halmahera barat terdapat rumah adat yang dikenal dengan "sasadu". "sasadu" merupakan "artefak"kebudayaan yang hingga kini masih kokoh dengan keaslian dan kekhasaan konstruksi "sasadu"nya. di Tempat sasadu ini umunya dikenal masyarakat sebagai tempat melaksanakan ritual-ritual adat istiadat masyarakat sahu, dan juga digunakan sebagai tempat peretemuan masyarakat atau desa setempat. Dari sekian banyakdesa dikecamatan sahu, hanya terdapat beberapa desa saja yang hingga kini masih tetap menjaga kelestarian rumah adat "sasadu", dianataranya desa poroniti, bukumatiti, toboso, gamtala,idamdehe, akediri, awer, aketola, gamsungi, ngaon, balisoang, golo, worat-worat, tacici, taraudu, tosoa, gamomeng, loce,idam gamlamo. Menurut tradisi masyarakat setempat, "rumah sasadu" ini sering digunakan masyarakat dimasing-masing desa tersebut ketika selesai kegiatan panen raya masyarakat setempat sebagai ungkapan rasa syukur terhadap yang maha kuasa. Berbagai macam makanan adat, seperti halnya, jaha kam ( nasi yang dikukus didalam bambu dengan bungkusan daun pisang), bira dada, (nasi kuning/tumpeng), dan makanan adat lainnya, tak ketinggalan juga dalam acara panen raya yang dilaksanakn ritualnya di rumah adat sasadu, para undangan disuguhkan minuman Cap tikus , lahang, atau tuak/arak( minuman lokal yang beralkohol yang hasilkan dari tetesan air pohon enau). Kegiatan dimaksud dilaksanakan selama seminggu, dengan iringan beduk, bunyian gong, nyanyian moro-moro dan ungkapan dolabololo yang sepertinya mempunyai tafsiran filosofis untuk mengungkapkan rasa syukur kepada sang kuasa atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Uniknya dalam kegiatan ini, bunyian beduk, bunyian gong serta nyanyian moro-moro dan dolabolo tak pernah henti selama seminggu. selama seminggu dalam acara itupula tidak pernah berhenti disuguhkan minuman beralkohol sepertihalnya captikus dan lahang oleh masyarakat yang mengikuti kegiatan dimaksud. Tapi anehnya selama seminggu, mereka tidak pernah mabuk, bahkan tidak membuat kacau suasana ritual adat tersebut. Disamping sebagai tempat melaksanakan upacara adat istiadat pada masyarakat sahu, "sasadu" sering juga digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat setempat.
Tarian Khas Legu Sahu
Ada yang terlupakan dari penjelasan tersebut diatas. sebenarnya sebelum memulai acara syukuran pasca panen oleh masyarakat setempat di rumah "sasadu", diawali dengan sebuah tarian lokal yang dikenal dengan tarian legu-legu. Tarian lokal khas masyarakat sahu ini pernah di undang oleh pemerintah belanda untuk ikut merayakan kegiatan festifal tong-tong yang dilaksanakan pemerintah belanda satu tahun yang lalu. Bukan tarian perang seperti halnya tarian soya-soya, cakalela dll, namun tarian legu-legu adalah khas "tarian damai" yang hanya terdapat di maluku utara. Namun perlu diketahui bahwa ada juga tarian legu lainnya yang khas dan hanya dipentaskan di keraton kesultanan ternate, sehingga biasanya disebut sebagai "legu kadato".

Baca Selengkapnya......

Senin, 25 Agustus 2008

Mencari Sistem Pemerintahan Desa di Halbar, Menyambut Penyusunan Regulasi Tentang Desa di Halmahera Barat

Tulisan ini tentu diharapkan dapat menjawab bentuk dan susunan pemerintahan desa di Kabupaten Halbar ke depan. Sebagai kabupaten yang baru dimekarkan, salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah bentuk dan susunan pemerintahan desa dimana hal tersebut sangat terkait dengan kehidupan rakyat Halbar secara keseluruhan. Sistem pemerintahan desa di Halbar ke depan yang akan dituangkan dalam regulasi daerah sangat penting posisinya, bukan hanya bagi program pembangunan pemerintah daerah tetapi juga bagi bangunan sosial yang hendak didirikan dalam kehidupan masyarakat desa. tulisan ini hendak membahas berbagai pendekatan sistem pemerintahan desa, baik semasa UU No. 5 Tahun 1979 diberlakukan ataupun sesudah dicabutnya UU yang kontroversial tersebut. Pembahasan juga akan diletakkan pada pengalaman masyarakat desa di Halbar, khususnya ketika negara belum mengambil alih sistem kelembagaan lokal yang tumbuh sejak jaman dinasti Kerajaan di Jazirah Moloku Kie Raha.

Kehancuran Lokalitas

Ada dua hal yang penting yang semestinya dipelajari dalam pengalaman pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979, pertama adalah penghancuran lokalitas. Pengalaman di Halbar sendiri menunjukkan kenyataan tersebut, dengan pudarnya sistem pemerintahan lokal yang telah tumbuh dan berkembang. Pengancuran lokalitas ini merambah ke berbagai level dari istilah sampai substansinya, seperti, Kampong diganti dengan nama desa, Fanyira (Nyira) diganti dengan kepala desa, Kabo diganti dengan Kepala Dusun, Marinyo diganti dengan sekretaris desa, Rumah Adat dipindahkan ke Balai Desa, dolo-dolo (kentongan) diganti dengan surat menyurat, Bari diganti dengan upah/perintah, dan lain sebagainya.

"Sasadu" atau rumah adat sahu di Kabupaten Halmahera Barat, tidak lagi digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat adat, melainakn kantor desa sejak diberlakukannya UU no.5 Tahun 1979.

Tifa dan dolo-dolo (pentongan) yang biasanya dipakai untuk mengumpulkan masyarakat melakukan pertemuan dalam rumah adat "sasadu" kemudian menjadi hilang, dan diganti dengan surat menyurat dan alat pengeras suara.

Pendek kata apa yang sudah tumbuh selama ratusan tahun di Halmahera Barat secara tiba-tiba dengan adanya UU No. 5 Tahun 1979 diganti dengan sebuah sistem pemerintahan yang asing sama sekali.

Kedua, paralel dengan yang pertama adalah hancurnya sistem sosial, terlebih ketika segregasi sosial semakin tajam di masyarakat. Kepemimpinan yang lahir dari bawah, tumbuh sejalan dengan aspirasi dan kepercayaan masyarakat digantikan dengan sistem kepemimpinan modern yang tumbuh berdasarkan rasionalistas. Demokrasi dan birokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dihasilkan dari sistem politik modern yang menisbikan adat istiadat masyarakat. Penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa yang diterapkan dalam UU No. 5 Tahun 1979 telah mengubah sistem rekruitmen kepemimpinan lokal yang berdasar pada patromonial tradisional menjadi rasional modern. Sayangnya sistem kepemimpinan yang tumbuh dari pola rekruitmen rasional madern gagal dalam mengantisipasi krisis di Halbar tahun 2000 (kerusuhan sosial) dan justru kepemimpinan lokal tradisionalah yang berhasil menjembatani dan meredakan. Hal ini membuktikan bahwa UU No. 5 Tahun 1979 telah gagal dalam mengembangkan kepercayaan rakyat di desa atas kepemimpinan yang dilahirkan.

Pintu Kembali ke Lokalitas

UU No. 22 Tahun 1999 (yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) telah menunjukkan sikap koreksinya atas pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1979. Dengan sikap koreksinya tersebut semestinya menjadi energi untuk menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang ditengarai sebagai penyeragaman bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa tidak dapat lagi ditolerir.

Di Kabupaten Halbar, momentum tersebut dapat digunakan sebagai pintu membuka arsip lama mengenai bangunan pemerintahan desa ke depan. Pengalaman sejarah sosial di pedesaan sejak jaman dinasti kerajaan Moloku kie raha menunjukkan kehidupan sosial masyarakat pedesaan berlangsung sangat dinamis dan penuh dengan semangat kerelawanan (volunterisme). Adat istiadat tumbuh menemukan ruang dalam tradisi masyarakat lokal berhimpitan dengan keyakinan masyarakat yang membentuk jembatan antar komonitas. Apa yang kemudian dikenal dengan adat matoto agama, agama matoto kitabullah adalah bukti bahwa antara adat dengan keyakinan religius adalah dua nilai yang melekat erat dalam masyarakat kita.

Sistem pemerintahan Kampong terbentuk atas dasar nilai-nilai universal dan keyakinan kepemimpinan yang dijaga secara turun temurun. Kemimpinan yang terpilih adalah figur terbaik di tingkat lokal yang mendapat mandat menjadi pelindung sekalian warga yang tinggal di dalamnya. Fanyira (Nyira) adalah sosok yang dituakan di desa atas dasar kepribadian dan kepemimpinannya diikuti oleh semua orang. Berbeda dengan kepala desa pada masa sekarang yang cenderung mengakar ke atas, Fanyira (Nyira) figur yang mengakar ke bawah untuk menjaga adat istiadat dan memerintah dengan bijaksana. Fanyira (Nyira) tidak mencari kebenaran tekstual (legalitas) , tetapi kontekstual (legitimasi). Apa yang menjadi kehendak masyarakat, itulah yang dijalankan.

Di bawah Fanyira (Nyira) ada Marinyo dan Kabo yang membantu Fanyira (Nyira) dalam urusan administrasi dan pemerintahan. Mereka dipilih atas dasar keahlian tertentu yang diyakini mampu memperlancar urusan pemerintahan Fanyira. Dalam panyira juga dibentuk Mahimo yang merupakan badan yang bertugas mengawasi Fanyira. Secara keseluruhan sistem pemerintahan di Halmahera Barat berjalan dalam ruang yang diciptakan dan disepakati oleh warga yang tinggal di dalamnya. Tidak mengherankan kalau sistem pemerintahan ini terbukti mampu menggerakkan masyarakat untuk bekerja tanpa pamrih bagi pembangunan desanya. Sistem sosial Bari telah membuktikan bahwa di Jailolo pernah hidup semangat kesalehan sosial untuk saling membantu dan bergotong royong sebagai sebuah relasi sosial turun temurun.

Tantangan Ke Depan

Mengembalikan sistem pemerintahan desa kedalam lokalitas bukan utopia. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Jailolo pernah menjalankan sistem pemerintahan desa yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, pun dengan daerah lain memiliki karakteristiknya sendiri. Bahkan sistem pemerintahan tersebut telah menjadi tameng sosial yang efektif ketika masyarakat desa menghadapi krisis. Semangat Bari dan kepemimpinan Fanyira (Nyira) yang legitimate merupakan senjata yang ampuh untuk melindungi masyarakat dari bahaya sosial berupa perpecahan.

Pembukaan Kegiatan Lokakarya Kampong (upaya memperkuat regulasi pemerintah desa berbasis lokal), yang dihibur oleh musik bambu ( yangers ) di Jailolo Halmahera Barat.

Dalam peluang otonomi, hendalah menjadi pintu masuk untuk menyusun pemerintahan desa sebagai pondasi penting dalam pembangunan di Halbar. Untuk mempersiapkan hal tersebut, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah Halbar kalau ingin menjadikan pemerintahan desa yang kokoh dan mengakar ke bawah, pertama, menumbuhkan keberanian bahwa apa yang disebut dengan spirit lokalitas adalah pilihan terbaik dalam kehidupan sosial politik masyarakat Halmahera Barat. Bahwa masyarakat Halbar memiliki tradisi pemerintahan desa yang berbeda dengan daerah lain dan terbukti mampu menopang kehidupan warga yang tinggal di dalamnya. Keberanian ini didsarkan pada argumen mengenai kenyataan sejarah sosial masyarakat Halbar sendiri. Kedua, menyusun sebuah dokumen mengenai berbagai pengalaman kelembagaan lokal, sekaligus juga konfigurasi yang memungkinkan di lakukan dengan perkembangan sosial politik yang berlangsung baik pada tingkat lokal maupun nasional. Tidak dapat diingkari bahwa Kabupaten Halbar tetap merupkana bagian dari NKRI yang harus tunduk pada aturan-aturan normatif yang disusun pusat. Namun bukan berarti apa yang telah disusun pusat implementasikan secara mentah begitu saja tanpa ada upaya untuk melakukan penyesuaian dengan memperhatikan situasi sosial politik masyarakat Halbar. Semestinya kebijakan pusat mewadahi berbagai keragaman yang berlangsung, sebagai panorama ditaman sarinya Nusantara. Ketiga, harus ada sikap untuk terbuka dan belajar dari berbagai pihak, baik DPRD, eksekutif maupun masyarakat desa sendiri mengenai pentingnya satu pondasi pemerintahan desa yang kuat, dengan partisipasi rakyat sebagai tiang utamanya. Sebagai kabupaten baru, visi, kualitas dan hasil pembangunan sangat ditentukan sekarang. Masa dimana segenap kompenen dalam Kabupaten Halbar sedang mencari bentuk pendekatan yang paling tepat, termasuk didalamnya adalah bentuk dan sistem pemerintahan desa. Jangan sampai kebijakan yang dihasilkan menjadi residu (racun) bagi masyarakat yang akibatnya akan terasa puluhan atau ratusan tahun ke depan oleh generasi berikutnya di Halbar.

Baca Selengkapnya......

KOLANO ALMULUK - MOLOKU KIE RAHA.

Emapat Sultan jazirah Almulukiya-Moloku Kie Raha.( Ternate, Tedore, Bacan dan Jailolo)

Lambang Kesultanan Moloku


Kie Raha Bendera Al'muluk( Bendera Kerajaa






Kadaton (keraton) Ternate




Baca Selengkapnya......

MENGUAK JEJAK KEHIDUPAN SEORANG BUTILA DAN KESALEHAN SOSIALNYA YANG TERLUPAKAN DI DESA SUSUPU HALMAHERA BARAT

Memahami sosok seorang Butila, seakan-akan memaksa memori kita untuk mengingatkan kembali suatu cerita peristiwa sosial di zaman nabi musa AS dan Nabi Khaidir. Nabi Musa AS adalah seorang yang sangat patuh dan taat dalam menjalankan perintah Allah SWT. Kehidupan kesehariannya tidak pernah absen dari sholat. Begitupun dengan nabi khaidir. Namun, pada saat itu kenapa tugas untuk menyelesaikan masalah keumatan , Allah SWT lebih memilih khaidir ketimbang Musa AS. Sebenarnya apa yang menjadi ukuran dan pertimbangan sehingga tugas itu harus diberikan kepada nabi khaidir. Jawabanya tentu hanya satu yakni; nabi khaidir memiliki kesalehan sosial yang lebih tinggi disamping kesalehan ritul normatif, sementara Musa AS hanya memiliki kesalehan ritual normatif semata.

Cerita dizaman nabi musa dan Khaidir, justru menegasakan indentitas kemanusiaan kita dalam hubungannya dengan Tuhan bukanlah dinilai dari kesalehan ritual normatif seperti sholat yang seakan-akan menjadi ukuran semata, akan tetapi kesalehan sosial dari seseorang juga memiliki ukuran dan ruang kehormatan tersendiri di hadapan Allah swt.

Kesalehan Sosial yang dimiliki khadir, juga dimiliki oleh sosok seorang butila. Perbedaannya, sosok butila sampai menghembuskan nafas terakhirnya hanya berpredikat sebagai butila biasa, Sementara Musa dan khaidir mendapat berpridikat sebagai seorang nabi. Akan tetapi dalam konteks memaknai hidup dan kehidupan, sepertinya mempunyai prinsip-prinsip sosial keagamaan yang sama, yakni disamping kesalehan ritual normatif, kesalehan sosial juga cenderung menjadi sikap dan perilaku hidup keduanya.

Butila hanyalah sosok seorang nelayan jelata, yang menghabiskan waktu kesehariannya dilaut untuk mencari ikan. Ketika kita menyebutkan nama butila, pasti mengingatkan pada sejenis ikan yang namanya butila. Sebenarnya butila bukanlah nama yang sesungguhnya, setelah ditelusuri, ternyata butila memiliki nama aslinya adalah Ka’bang. Penamaan Butila hanyalah sebuah predikat sosial yang diberikan oleh orang-orang dizaman itu karena profesinya sebagai nelayan, seringkali hasil tangkapan ikan yang diperolehnya adalah ikan butila. Dari sinilah awal mula seorang Ka’bang di panggil dengan sebutan butila.


Dipantai inilah (susupu) seorang Ka'bang sering menangkap ikan butila

Konon ceritanya, butila hidup dan menetap ditengah hutan susupu. Dia memiliki areal pertanian yang sangat luas. Namun aktifitas kesehariannya kebanyakan dihabiskan dilaut untuk mencari ikan. Waktu menjelang sore saatnya butila menyiapkan perlengkapan penangkapan ikannya menuju pantai susupu untuk mencari ikan. Ketika selesai menangkap ikan dilaut, Butila selalu memilih pulang ke rumahnya yang berada dihutan pada waktu subuh ketika orang-orang dipesisir pantai masih menikmati tidur lelapnya. Keinginan untuk pulang pada waktu subuh, agar mendapat “ruang kesempatan” yang bebas untuk membagikan atau memberikan sebagian hasil tangkapan ikannya di rumah-rumah penduduk, dengan cara menggantungkan hasil tangkapannya (ikan butila) di belakang dapur tanpa sepengetahuan orang disekitarnya. Jiwa sosial yang tinggi terselip rasa malu untuk memberikan hasil tangkapannya kepada penduduk merupakan keseharian gaya hidup seorang butila. Sepertinya butila tidak menghendaki orang disekitar pesisir laut tahu akan pemberian dan pembagian hasil tangkapan ikannya kepada mereka. Kata orang; memberikan bantuan kepada orang lain dengan tangan kanan, maka tangan kiri tidak perlu tahu. Perilaku hidup seorang butila seperti ini, jika dibandingkan dengan prilaku manusia modern saat ini, terjadi pergeseran perilaku sosial yang cukup tajam. Manusia kekinian, hanya memberikan “sehelai benang” saja duniapun tahu. ketidakbersamaan, saling tidak membantu dan tidak berbagi kelebihan apa yang dimiliki menjadi “gaya hidup” yang dipertontonkan khalayak masa kini. Sepertinya konsep islam yang menegaskan manusia sebagai Wakil Tuhan di muka Bumi untuk memelihara dan mengembangkan kehidupan antar sesama dalam rangka ibadah hanyalah lips service belaka.

Selanjutnya, Ketika selesai membagikan hasil tangkapan ikannya, butila bergegas pulang menuju rumahnya. Namun perlu diketahui, Tidak semua ikan hasil tangkapan butila diberikan kepada penduduk di pesisir pantai susupu, akan tetapi dia masih sempat menyisihkan sebagian hasil tangkapannya untuk dibagikan kepada pohon-pohon yang dedaunannya tidak sengaja menyentuh tubuhnya ketika dia harus berjalan pulang kerumahnya yang terletak di hutan. Pohon-pohon yang sering kita tebang dan musnahkan dalam pandangan butila, merupakan mahkluk bernyawa yang mempunyai bahasa isyarat untuk meminta pembagian hasil tangkapannya. Bukanlah tidak mungkin, jika saat ini ada seribu butila di Halmahera Barat, boleh jadi hutan kita akan tetap terjaga, tidak gundul dan jauh dari penebangan liar. Manusia-manusia modern saat ini, telah kehilangan kontak secara manusiawi dalam tata hubungan antar manusia, karena manusia dizaman ini telah menjadi egoistik. Manusia sekarang kehilangan kontak dengan alam, dan oleh karenannya kerusakan lingkungan menjadi masalah utama dalam hidup kita saat ini. Disisi lain, manusia masa kini sepertinya kehilangan kontak juga dengan dimensi transendentalnya.

Prof KH. Tumenggung Sis, Guru Besar pada Universitas Sam Ratulangi juga pernah menceritakan sosok seorang butila. Kata Pak Profesor, Butila adalah seorang pemuda di Maluku Utara tepatnya didesa susupu, yang memiliki kemampuan spiritual yang sangat tinggi. Entah dari mana Profesor itu mendapatkan cerita tentang butila. Cerita sang Profesor itu kalau kita mendengarkannya seakan menggugah pemikiran dan pandangan kita, bahwa sesungguhnya butila bukanlah seorang yang kesehariannya lebih menonjolkan kesalehan sosialnya saja, seperti yang diketahui orang-orang pada saat itu. Karena kesalehan ritual normatif seperti shalat yang dilakukan butila, tidak pernah dilihat oleh orang-orang disekelilingnya, bahkan butilapun tidak mau menunjukan aktifita ritualnya. Bagaimana sang profesor menceritakan sosok seorang butila ? berikut ini cerita sang profesor : “ suatu ketika para sahabat rasullah melaksanakan shalat di mekkah, pada saat bersamaan ada seorang pemuda yang datang pada waktu yang berbeda tanpa diketahui, turut melaksanakan shalat secara berjamaah dengan mereka. Ketika selesai tahyat akhir dan salam pemuda itu kemudian menghilang, entah kekuatan ghaib apa yang dimiliki seorang pemuda itu. Diantara sahabat, mereka saling bertanya tentang pemuda yang tiba-tiba menghilang itu, namun tak satupun tahu asal usulnya. Kejadian seperti ini terus berulang selama tiga kali mereka melaksanakan shalat secara bersamaan. Lagi-lagi pemuda itupun kemudian “menghilang” ketika mengakhiri shalat (tahyatul akhir dan salam). Pada satu saat, para sahabat inipun kemudian bersepakat untuk “menangkap” seorang pemuda itu,walaupun mereka tidak melanjutkan jikir dan wirid shalat setelah takhaytul akhir dan salam. Akhrinya para sahabat ini berhasil menangkap sosok seorang pemuda itu. Mereka pun bertanya tentang asalnya, pemuda itu mengatakan ia berasal dari kerajaan matahari terbit. Sosok itu menurut Profesor adalah Butila. Oleh karenanya sang profesor dalam sela-sela materinya berpesan kepada kepada mahasiswannya, agar menyempatkan diri ke Maluku Utara disana, ada sebuah makam butila yang patut dijiarah. Kini kuburan butila menjadi “jere” butila yang sering dijiarah oleh masyarakat disekitar susupu pada saat-saat tertentu, seperti malam jumat, pada sehari menjelang puasa, sehari menjelang idulfitri, bahkan seringkali “jere” butila ini dijadikan tempat untuk berdoa untuk “mememinta” sesuatu yang diinginkan oleh masyarakat susupu dan sekitarnya.

Butila adalah cerita nyata yang seharusnya menjadi catatan sejarah tersendiri sebagai anak bangsa yang berbudaya dan beragama di halmahera Barat yang patut diteladani. Sayang, hanya seorang Banau dengan jiwa keberanian dan kekerasannya tak habis-habis diceritakan dalam catatan sejarah dan menjadi legenda di Halmahera Barat, bahkan Dunia. Sementara Orang-Orang yang hidup dengan semangat sosial yang tinggi, kesalehan sosial yang tinggi, dan patut diteladani seperti halnya Butila, begitu saja dilupakan, atau sengaja melupakannya. Tak heran, jika kekerasan selalu saja menjadi lebih dekat dengan cara hidup dan kehidupan kita. Karena sejarah yang kita pelajari juga sepertinya memberikan andil dalam menuntun sikap dan perilaku kita, seperti sejarah banau dan lainnya. Orang kemudian berbondong-bondong mencari “popularitas diri” hanya dengan semangat keberanian dan modal kekerasannya.

Baca Selengkapnya......