KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Senin, 19 Januari 2009

Asal Mula Kampong , dan Potret Kelembagaan lokal Petani Kelapa di Desa Susupu.

Mulanya saya tidak percaya mendengar cerita tentang sejarah desa susupu ( kampung halaman saya sendiri) yang berasal dari komunitas Agama Kristen di daerah daratan pegunungan wilayah sahu. Berbekal rasa ingin tahu akan sejarah desa Susupu, saya pun kemudian bergegas kesana dan menemui ”orang tua-tua” yang tidak sekedar tua dari sisi umur karena di makan zaman, namun mereka mereka juga dianggap memiliki pengetahuannya dalam membaca sejarah masyarakatnya sendiri.Desa susupu terletak di pesisir Barat pantai Sahu, kurang lebih 1 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan dari jailolo (ibu kota Kabupaten Halmahera Barat). Untuk sampai kedesa Susupu, sepertinya kita harus melewati daratan sahu pedalaman yang mayoritasnya beragama kristen. Di daerah Sahu Pedalaman inilah menurut cerita merupakan cikal bakal hadirnya desa Susupu. Masyarakat Susupu, ketika itu, masih bermukim didaratan pedalaman sahu kampong balisoang, tacici, taraudu, idamgamlamo, gamomeng dan masih banyak kampong lagi yang berada di wilayah kecamatan sahu.Konon menurut cerita dari beberapa orang yang dikunjungi, mengatakan bahwa masyarakat dari kampong-kampong tersebut awalnya adalah masyarakat animisem yang masih percaya dengan roh-roh halus, percaya kepada pohon-pohon, batu-batuan yang memiliki kekeuatan supranatural

Namun selanjutnya para misionaris baik kristen maupun penyiar islam datang dibumi Halmahera khususnya di Kecamatan Sahu, hingga bentuk kepercayaan masyarakat pun kemudian ikut berubah dan bergeser dari animesme ke keyakinan akan eksistensi Sang Pencipta Tuhan yang maha Esa. Namun proses masuknya agama di Kecamatan Sahu inipun terjadi pro kontra ditengah masyarakat terhadap kehadiran missionaris yang membawa kedua ideologi agama (islam kristen) itu sendiri. Sebagian besar menerima atau memeluk agama kristen dikecamatan sahu sebagai suatu keyakinan akan kebenaran, namun ada sebagian kecil masyarakat ketika itu yang lebih memilih islam sebagai agamanya, dalam konteks ini, bagi masyarakat sahu tentu dikenal dengan ikrar ”galib se likudi”, dimana terjadi kesepakatan dan perjanjian bagi masyarakat sahu atas pilihan agama dimaksud. Situasi ini kemudian membuat orang-orang yang masuk islam ketika itu memilih keluar dari kampongnya (sahu) meninggalkan kerabatnya, saudaranya untuk pindah dan membuat sutau pemukiman tersendiri di daerah saroang Daerah saorang ini hanya dapat ditempuh 15 menit dengan jalan kaki dari desa Balisoang. Didaerah inilah (saroang) merupakan bukti sejarah masjid yang pertama kali dibangun sebagai tempat ibadah umat islam ketika itu. Kini masjid yang memiliki nilai historis bagi sebuah peradaban masyarakat susupu, saat ini tertinggal hanyalah fondasi bangunannya yang ditutupi hutan belukar. Tidak hanya masjid yang dibungkus hutan belukar, namun pantauan kami, kuburan-kuburan islam yang berada tak jauh dari masjidpun dibiarkan tidak terurus. Padahal mereka memeliki kontribusi yang besar terhadap eksistensi islam khususnya diwilayah pesisir sahu di desa susupu.

Menurut cerita, menerangkan bahwa penyiar agama didaerah Sahu ketika itu adalah Orang Arab yang bernama Bafagehe. Bafagehe adalah orang yang mengajarkan islam didaratan sahu. Bafgehe meninggal dan dikuburkan diwilayah sahu, dan kini dijadikan sebagai jere (tempat keramat), yang pada malam-malam tertentu sering dijiarah oleh masyarakat susupu dan sekitarnya. Seiring dengan waktu,komunitas saroang inipun kemudian memilih untuk keluar dari wilayah daratan pegunungan sahu, dan membuat komunitasnya tersendiri di daerah Gura utu tepatnya didekat pesisir sahu. Mereka meninggalkan wilayah saroang, hanyalah karena perbedaan keyakinan, dan saling menghargai antar sesamanya. Yang sedikit (orang islam) memilih keluar dari wilayah komunitas sahu dan lebih banyak (orang kristen) pemeluk suatu agama ketika itu, memilih untuk menetap didaerah itu. Namun ada sebagian yang berpendapat, bahwa ada kecenderungan masyarakat ketika itu yang memilih alih profesi disamping sebgai masyarakat petani, mereka juga dapat hidup dari hasil tangkapannya dilaut. Keluar dari saroang dan menuju ketempat pemukinan baru di gura utu adalah cikal bakal penamaan kampong yang dibentuk oleh orang islam ini menjadi kampong susupu.

Susupu berasal dari bahasa daerah ternate adalah "sisupu” yang artinya ”dikeluarkan”. Oleh karenanya jika dilihat pada setiap perkampungan di wilayah Sahu tidak terlihat suatu model perkampungan masyarakat yang terdapat percampuran agama. Selalu saja dilihat pemisahan desa antara islam maupun kristen. Susupu menjadi perkampungan yang berpenghuni kurang lebih dari 3000 KK, dan kini telah dimekarkan menjadi beberapa desa diantaranya, desa lako akelamo, desa tacim, desa Ropu Tengah Balu, desa Jarakore. Dengan demikian, Susupu adalah desa Induk dari komunitas desa-desa muslim yang berada dipesisir Pantai Sahu. Orang-orang yang berasal dari sahu pedalaman yang kini sudah menjadi Orang susupu dan bermukim didaerah pesisir Pantai Barat Sahu, mereka umumnya tidak memanfaatkan potensi perikanan laut sebagai sumber kehidupan dan mata pencariannya. Akan tetapi umumnya, mereka bermata pencarian pada sektor pertanian dan perkebunan. Hal ini karena daya dukung lahan pertanian yang mereka miliki cukup besar dan dimiliki secara turun temurun. Karena berasal dari daerah pedalaman, maka orang-orang susupu dan Lako akelamo mempunyai area dan atau lahan pertanian/perkebunannya di daerah pedalaman sahu hingga saat ini. Laut yang menyimpan potensi perikanan sebagian besar dimanfaatkan oleh masyarakat pendatang dari suku Gamkonora, makian, tidore. Mereka, hanya memanfaatkan potensi perikanan laut sebagai mata pencarian kedua setelah sektor pertanian/perkebunan. Bagi mereka (masyarakat susupu dan Lako-akelamo), profesi sebagai nelayan bukanlah pekerjaan utama, melainkan posisinya hanya sebagai nelayan subsisten untuk kebutuhan makan kesehariannya saja. Masyarakat didesa susupu merupakan masyarakat yang umumnya bermata pencarian sebagai petani dan sebagaiannya berprofesi sebagai masyarakat nelayan.Masyarakat petani di desa susupu menurutnya, digolongkan menjadi masyarakat petani kelapa, petani padi, rica, bawang, kacang, kasbi atau (ubi).Sedangkan yang dimaksudkan dengan masyarakat nelayan bukanlah nelayan yang memasarkan atau mengkomersilkan hasil-hasil tangkapannya untuk di pasarkan (nelayan komersil). Akan tetapi mereka hanyalah nelayan subsisten, yang melaut menagkap ikan untuk kebutuhan makan kesahariannya. Didesa susupu umumnya setiap Anggota keluarga mempunyai lahan pertanian kurang lebih setengah sampai satu hektar lahan. Para petani kelapa umumnya yang berada didesa susupu, mempunyai hubungan kekerabatan yang tercipta berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kepemilikan lahan kelapa. Di desa susupu, proses penanaman hingga panen kelapa kebanyakan dilakukan oleh keluarga maupun sesama petani lainnya yang juga memiliki lahan kelapa. Bagi masyarakat setempat, kegiatan dengan semnagat tolong monolong yang mengandung unsur resiprositas dan kerjasama ini disebut sebagai kegiatan mabari Tentang bagaimana Pembukaan Lahan, proses penanaman, pemeliharaan hingga panen kelapa bagi masyarakat didua desa (lako akelamo dan desa Susupu) ini. Pada proses pembukaan lahan, di temukan mempunyai kesamaan hingga penanaman dan proses panen. Bagi masyarkat setempat dalam pembukaan lahan, tahap awal/pertama yang dikenal adalah proses tola gumi,tahap kedua adalah manyigu , tahap ketiga adalah madoti, tahap keempat adalah majongo, tahap kelima “mabaca” dan tahap yang keenam adalah masagu. Keenam tahapan tersebut merupakan tahapan pembukaan lahan hingga penanaman.

Fenomena ini merupakan tradisi yang telah turun temurun di praktekan oleh nenek moyang masyarakat setempat. Apa yang dikenal denganTola Gumi (potong tali), adalah suatu pekerjaan awal pembukaan lahan dengan ditandai sejenis tiang/pohon yang dipatok/ditanami untuk mengetahui batasan area dusun yang hendak di tanami. Kegiatan ini dilakukan tidak melibatkan banyak orang, namun hanya dilakukan oleh pemilik dusun kelapanya sendiri. hal ini dilakukan agar dalam kegiatan-kegiatan pemersihan lahan berikutnya yang melibatkan banyak orang, mereka dengan sendirinya telah mengetahui mental map batasan lahan/dusun yang dimiliki oleh pemilik lahan, sehingga tidak melewati lahan orang lain yang berbatsan, tentu ini merupakan kerja awal, atau tahapan dari pembukaan lahan. Tahap kedua adalah, manyigu, manyigu merupakan suatu pekerjaan yang dikerjakan secara bersama-sama oleh kelompok petani kelapa. Pekerjaan manyigu memmpunyai sasaran untuk memotong rumput-rumput, tali-tali yang melingkari pohon yang berada diarea dusun. Pekerjaan ini dilakukan untuk mempermudah proses penanaman misalnya menggali lubang, serta lahan menjadi bersih. Tahap ketiga adalah madoti, suatu pekerjaan yang juga dilakukan secara bersama oleh kelompok petani agenda kerja adalah memotong pohon-pohon, dan yang sedang maupun tinggi yang dianggap menghalang atau menghambat jalannya proses penanaman nantinya. Tahap keempat, majongo, merupakan kegiatan mengumpul pohon-pohon yang telah ditebang, maupun rumput-rumput yang diparas, dan selanjutnya dibakar, namun ada beberapa pohon-pohon pilihar seperti halnya “ngaru” yang tidak ikut dibakar, karena menurut masyarakat setempat dijadikan sebagai “betangamor”. Penjelasan tentang beta ngomor akan dijelaskan berikutnya.Sementara mabaca adalah kegiatan pembersihan secara keseluruhan dari kegiatan-kegiatan sebelumnya tola gumi, manyigu, madoti, dan majongo. dan manyigu adalah suatu bentuk kegiatan galian lubang yang diperuntukan bagi penanaman bibit kelapa dan lain-lain. Fenomena ini, khususnya didesa lako akelamo, desa yang bersebalahan dengan desa Susupu, pada saat menjelang kegiatan manyigu, biasanya sering diwarnai dengan tradisi tori gura( pencuri bibit). Pada tradisi ini, dapat dilihat jelas ketika pada kegiatan menanam kelapa dan padi, atau tanaman bulanan lainnya. Sehari menjelang kegiatan menanam, seperti biasanya bibit yang akan ditanam akan dicuri/diambil pada waktu subuh pada lokasi pembibitan oleh para petani secara bersama-sama ditempat yang disembunyikan oleh pemilik bibit atau orang yang akan melaksanakan kegiatan menamam, tanpa sepengetahuan pemeiliki lahan/bibit. Bibit yang diambil itu kemudian ditanam pada lahan yang telah dibersihkan oleh mereka dari beberapa tahapan tersebut diatas.. Pemberitahuan bahwa bibitnya telah diambil dan kemudian ditanam dikodekan dengan bunyi tifa (beduk) bernada tarian gala, dan lala, salah satu musik tradisonal maluku Utara. Tradisi ini dengan tujuan untuk menyenangkan dan memberikan surprise bagi pemilik lahan atau orang yang sedang melakukan kegiatan menanam.Dalam konteks pemeliharaan lahan dan tanaman yang telah ditanami, bentuk-bentuk kegiataan ritual yang dilakukan dengan maksud penjagaan tanaman dan pengolahan lahan juga dilakukan oleh masyarakat desa lako akelamo berdasarkan tradisinya, dan hingga kini masih tetap terpelihara dan dijaga eksistensinya.Tradisi itu disebut dengan beta ngamor. Beta-ngamor seperti yang dijelasakn diatas adalah sejenis pohon-pohon pilihan yang dikumpulkan dan disusun dengan rapih disudut-sudut batas lahan, maupun disamping batas lahan, dan terdapat nasi tumpeng dan telur (bira dada boro) yang disajikan dan didoakan sebagai persembahan kepada sang kuasa, dan stelah itu nasi tumpeng dan telurnya ditanam ditengah-tengah kebun, agar lahan dan tanamannya tetap subur. Ritual ini dipimpin oleh orang yang dituakan, dan orang itu ditugaskan menjaga lahan dari awal hingga akhir tanaman itu mendekati panen. Beta ngamor, dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai , salah satu cara untuk membasmi binatang-binatang kecil, maupun hama yang sengaja datang untuk merusak tanaman yang terdapat pada dusun mereka. Kata mereka, jika kayu-kayu pilihan dari hasil tebangan itu dikumpulkan dan disusun, maka dipercaya binatang-binatang kecil seperti halnya tikus dan lain-lain tidak akan masuk kedalam lahan yang telah ditanami, melainkan binatang-binatang itu akan masuk kedalam kayu-kayu yang disusun itu yakni, ”beta nagmor”. Tentu bagi mereka ini adalah cara-cara tradisonal yang hingga saat ini bagi masyarakat setempat masih mempraktekan untuk membasmi serangan hama yang sengaja merusak kebun dan tanamannya. Namun beta ngamor inipun akan segera dibakar atau dihanguskan setelah dilakukan pemanenan. Akan tetapi pada sisi lain, ada aturan lokal (otoritas lokal/pengetahuan lokal) tentang penjagaan tanaman yang dilakukan melalui kemampuan magic, untuk mengantisipasi hilangnya tanaman, rusaknya tanaman dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggungjawab, mereka sering menggunakan ”matakau”. Cara membuat ini semua tentu berbeda-beda dan sangat sederhana pembuatannya. Namun umumnya mereka sering menggunakan botol dan didalam terdapat air yang telah dibacakan mantra-mantarnya kemudian diujung botolnya diikat kain berwarna merah dan digantung pada pohon yang terletak di tengah-tengah dusun. Cara ini sangat dipercaya bagi masyarakat setempat. Jika terdapat ”matakau” di salah satu dusun, maka dipercaya dusun tanaman itu akan aman dari niat dan perilaku orang yang sengaja merusak maupun mengambil sesuatu pada dusun tersebut. Jika seseorang itu mempunyai niat mencuri sesuatu tanaman/buah-buahan didalam dusun itu, dan mewujudkan niatnya dalam bentuk tindakan mencuri maka ”matakau” pasti mengena dirinya. Jika ada seseorang yang sudah terkena matakau karena tindakannya, mereka meyakini orang yang seperti itu akan terkena sakit perut dan tidak bisa jalan, atau terdiam dibawah pohon diarea dusun selamanya, terkecuali pemilik kebun datang dan membebaskannya dengan mantra yang digunakannya. Bagi mereka hal ini penting dilakukan untuk memberikan pelajaran bagi mereka yang sering mencuri hasil-hasil dusun yang bukan miliknya. Korban ”matakau” sering kali diadili oleh sipemilik dusun dan kemudian selanjutnya dibawah langsung ke kepala desa dan pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti penyelesaian kasusnya sesuai hukum yang berlaku.

Ada juga terdapat tradisi resiprositas yang terdapat dalam proses produksi petani kelapa yang disebut dengan kegiatan oro wange, artinya ambil hari. Kegiatan Oro wange ini dicontohkan sebagai berikut, misalnya, Ada seorang petani kelapa sebut saja si A melaksanakan pembersihan kelapa, atau panjat kelapa, maka Si B, si C, maupun si D, mereka akan datang membantu, karena awalnya Si A telah membantu mereka dalam pekerjaan yang sama, yakni pembersihan kelapa atau panjat kelapa. Dengan demikian Oro wange ini, merupakan model pertukaran kerja yang hanya diberlakukan pada pekerjaan yang sama. Dan kegiatan oro wange inipun dihitung tenaganya yang dikeluarkan berdasarkan berapa banyak pohon kelapa yang dibersihkan atau dipanjat, sehingga jika mereka harus datang untuk melaksanakan kegiatan oro wange Pada Si A, maka merekapun harus mengganti tenaga Si A, dengan menghitung berapa banyak pohon kelapa yang dibersihkan atau dipanjat oleh si A. Bagi mereka Kegiatan oro wange adalah mencirikan nilai-nilai “bari”, namun perbedaannya bari melibatkan semua pekerja, dan tanpa mengenal batasan kerja yang harus dikerjakan, tidak hanya pada lingkup kegiatan “oro wange”.Itu artinya bahwa bari sudah termasuk oro wange, namun belum tentu oro wange diartikan sebagai bari katanya she….akan tetapi, akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran semangat oro wange sendiri maupun kegiatan-kegitanan panen kelapa dengan menggunakan semangat bari. Beberapa diantara para petani lainnya, akhir-akhir ini walaupun ditengah anjloknya harga kopra yang hanya senilai 2500 per kilogram, namun dalam proses panen kelapa mereka lebih cenderung menggunakan cara kerja yang dianggap ekspres, namun tidak ekonomis.. Cara kerja yang ekspres dan tidak ekonomis tersebut diatas, tentu dapat dilihat dari praktek kerja kelapa sewa yang dipakai oleh beberapa petani. Umumnya mereka yang mengerjakan proses panen kelapa dengan cara menyewa atau membayar tenaga masyarakat petani kelapa yang lain adalah, mereka para pedagang kelapa, maupun para guru/polisi yang mempunyai lahan kelapa namun tidak punya waktu untuk mengurusinya. Keterbatasan waktu dan pekerjaan inilah mereka sering menggunakan uang untuk membayar kepada beberapa orang petani kelapa untuk mengerjakan dusun kelapanya hingga panen. Mereka mendapatkan sewa dari para pemilik lahan kelapa untuk melakasanakn kegiatan panennya dengan bayaran per pohon kelapa sebesar 1000 rupiah. Sewa-menyewa ini hanya terdapat pada proses mafere ( memanjat kelapa), namun ada juga yang berlangsung hingga pada proses mapopo, masiu, dan proses pengasapan dan pada akhirnya menjadi kopra. Budaya sasi ternyata tidak hanya berlaku pada tardisi masyarakat maluku di Ambon dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alamnya. sebagai bagian dari otoritas lokal, juga terdapat pada masyarakat sahu, khususnya didesa susupu dan lako akelamo. Sasi yang selama ini di claim sebagai tata pengaturan masyarakat Ambon khususnya dalam pengelolaan dan pemanfatan sumber daya alam, ternyata boleh dibilang keliru. Dari sisi bahasa, ternyata budaya sudah ratusan tahun tumbuh di daerah maluku utara. Menurut Salah satu tokoh budaya sebut saja bapak corolus djawa beliau mengatakan bahwa istilah sasi dipakai oleh orang ambon karena saat itu itu eksapnsi kerajaan ternate sampai pada wilayah ambon dan mempengaruhi struktur strukur budaya masyarakatnya. Mereka menceritakan bahwa, Dilihat dari asal kata sasi sendiri berasal dari bahasa ternate yang artinya, sumpah. Sumpah atau sasi bagi masyarakat maluku utara, khususnya didesa susupu dan lako akelamo diberlakukan atau diterapkan karena atas dasar ketidakpuasan atas suatu masalah, atau perselisihan antara dua belah pihak yang tidak ada titik temu atas masalah hak pemilikan atau pewarisan mengenai sumber daya alam seperti halnya tanah, tanaman, dan lain sebagainya. Bagi masyarakat setempat melihat masalah tersebut sebagai“harbata” atau perselisihan yang tidak ada akhir penyelesaiannya secara damai. Jika tidak terdapat penyelesaian terhadap suatu masalah yang mempunyai kaitannya misalnya dengan tanah, dusun, pohon kelapa dan lain sebagainya, biasanya kedua belah pihak yang sedang bermasalah dibawah kepada pihak pemerintah desa setempat untuk diselesaikan. Namun jika pihak pemerintah desa tidak mampu melerai dan menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak yang berseteru itu, maka kedua belah pihak tersebut akan digiring oleh peihak pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama menemui para imam sigi lamoatau masjid besar, dan jomoding/petugas harian Masjid, beserta para khatib untuk diselnggarakannya proses sasi di dalam masjid tersebut. Sasi toma kalammullah atau proses sumpah dihadapn mihrab masjid merupakan solusi penyelesaian atas masalah kedua bela pihak. Saksi-saksi yang mengahdiri proses itu menurut mereka terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, imam masjid besar, dan para jomoding. Prosesi sasinya berlangsung dengan diletakannya kitab suci alquran diatas masing-masing kepala kedua bela pihak, dan para saksi memerintahkan kepada kedua belah pihak secara bergantian untuk si bobeto. Si bobeto artinya memerintahkan kepada kedua belah pihak yang bermasalah untuk mengeluarkan perkataan sumpah yang ditujukan kepada pihak pertama, begitupun sebaliknya. Sumpah yang mereka keluarkan pada saat proses sasi tentu sangat bervariasi, sesuai kehendak mereka. Dan bagi masyarakat setempat mereka umumnya percaya akan akibat dari sasi ini. Ada lahan, dan pohon kelapa maupun sejenis tanaman lainnya yang sedang disasi, maka pasca gelar sasi, kedua belah pihak bersama kelurganya masing-masing tidak akan bisa menikmati atau memiliki apa yang diperebutkannya. Jika satu diantara mereka melanggar “aturan sasi” yang digelar didalam masjid, maka dia akan terkena sanksi/bahala. Terkecuali jika dia menganggap bahwa dia benar-benar berada pada posisi yang benar dalam kasus dimaksud. Terkadang kedua belah pihak takut mengelola apalagi menikmati apa yang menjadi sumber perebutan mereka, misalnya lahan atau pohon kelap dan sejenis tanaman lainnya. Sehingga kebanyakan lahan yang sasi di kelola oleh orang lain diluar dari keluraga kedua belah pihak yang berseteru, dan hasil dari lahan tersebut diberikan kepada masjid.

Tidak ada komentar: