KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Kamis, 20 Desember 2007

Makian dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Pembangunan Di Maluku Utara

ABSTRAK

Sistem kekerabatan Orang Makian sepertihalnya masyarakat etnis lain di Indonesia, diikat oleh hubungan primordial, hubungan darah, perkawinan dan persahabatan. Kekerabatannya bersandar pada semangat filosofis yang disebut sebagai “Gasilim Nipoyopso” ( Lima sisi melahirkan satu kepala, dan satu kepala melahirkan lima sisi, dan seterusnya)..Filosofi tersebut dimanefestasikan dalam kehidupan keseharian sehingga dapat membentuk sebuah jaringan-sosial yang kuat dan mempunyai sifat interdependensi sesama orang makian. Semangat inilah yang kemudian membuat orang makian mempunyai sifat menolong, menopang dan membesarkan antar sesamanya. Sistem kekerabatan juga dibangun menembus batas teritorial wilayahnya dengan semangat “ Daio Nalou Tadopas-dopas, Maiulona Tadopas te” ( Walaupun kita dipisahkan oleh gunung dan laut, namun semangat dan hati kita tetap satu). Menunaikan Ibadah haji, dan memperoleh gelar kesarjanahan adalah merupakan tingkatan atau ukuran dari kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidup orang Makian. Oleh karenanya, dengan semangat filosofi dan etos kerja yang tinggi itu bukanlah sesuatu yang mustahil jika hingga kini peranan etnis makian diberbagai sektor kehidupan dimaluku utara, diantaranya, birokrasi, politik,pendidikan, sangatlah dominan.

Etnis Makian Sebagai salah satu Kelompok Dominan di Maluku Utara

Bruner, (1974), dalam Jurnal Sosilogi Indonesia mengungkapkan bahwa sekelompok dominan ( unggul ), ditentukan oleh tiga faktor : ( 1 ) Faktor Demografis, (besar kecilnya jumlah penduduk pendukung budaya etnis tersebut), (2) Kekuatan Ekonomi, dan (3) Kekuatan Budaya Lokal. Menurut Bruner, Apabila suatu kelompok etnis memiliki ketiga faktor diatas lebih dominan dari kelompok lain, maka dia dapat berperan sebagai kelompok budaya dominan.

Maluku Utara yang memiliki dua kota serta enam kabupaten dan mempunyai beberapa etnis dominan diantaranya, etnis ternate, Etnis Makian, Etnis Togalmoro, dan etnis Sanana. Beberapa etnis tersebut diatas, etnis makian peranannya lebih mendominasi dinamika ekonomi,sosial, politik (Ekosospol) di maluku Utara. Indikator ini dapat dilihat dari Insitusi-insitusi vital baik ditingkat eksekutif, legislatif, maupun Organisasi Politik (Parpol) dan OKP dan Ormas diprovinsi Maluku Utara kurang lebih 70 % dikuasai oleh kelompok etnis makian. Sedangkan 30 % lainnya dikuasai oleh etnis Ternate, Togalmoro, sanana, dan tidore. Lapangan Pekerjaan khusunya dibidang usaha perdagangan dan Industri besar didominasi oleh orang cina. Sedangkan perdagangan kecil dan menengah didominasi oleh etnis Jawa, Bugis,makassar dan gorontalo. Sementara lapangan pekerjaan sebagai buruh dll, etnis makian, ternate dan tidore mempunyai presentasi yang sama. Berikut ini beberapa etnis di indonesia yang mendiami provinsi Maluku utara, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.

NAMA SUKU DAN BAHASA DAERAH

PROVINSI MALUKU UTARA

KABUPATEN / KOTA

NAMA SUKU

NAMA

BAHASA DAERAH

KABUPATEN HALMAHERA BARAT

Sahu, Wayoli, Tobaru, Ibu, Gamkonora, Loloda.

Sahu, Wayoli, Tobaru, Gamkonora, Loloda, Gorap.

KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

Tobaru, Patani, Sawai, Togutil

Tobaru, Togutil, Sawai, Gorap

KABUPATEN HALMAHERA UTARA

Boeng, Pagu, Madoleng, Togutil, Sangir, Minahasa

Boeng, Pagu, Madoleng, Togutil, Sangir, Minahasa

KABUPATEN HALMAHERA SELATAN

Makian, Bacan, Mandioli, Bajo, Boeng, Buton, Kayoa

Makian Dalam, Makian Luar, Bajo, Boeng, Bacan, Tomia, Kaledupa

KABUPATEN HALMAHERA TIMUR

Maba,Sawai, Jawa, Tobaru, Togutil

Maba,Sawai, Jawa, Tobaru, Togutil

KABUPATEN KEPULAUAN SULA

Faceh,Fagudu,Falahu,MangonButon, Mange, Siboyo, Mbono, Samada, Kaday, Bajo, Gorontalo, Bugis, Minahasa

Sula, Mange, Mbono, Siboyo, Bajo, Wolio, Cia-cia, Tomio, Wanci, Kaledupa, Binongko, Kaday, Banggai, Minahasa, Gorontalo, Bugis.

KOTA TERNATE

Ternate, Bugis, Gorontalo, Sumatera, Jawa, Madura, Buton, Sanger

Ternate, Koloncucu, Bugis, Padang, Jawa, Madura, Sanger

OTA TIDORE KEPULAUAN

Tidore, Buton

Tidore, Buton

Sumber : Pemda Provinsi Maluku Utara, 2002.

Namun dalam tabel diatas, belum dapat dijelaskan secara detail terhadap eksesistensi dan peran-eran suku tersebut didalam penulisan ini. Akan tetapi penulisan ini hanya memfokuskan pada makian dan pengaruhnya terhadap pembangunan di Maluku Utara.

Perlu diketahui bahwa masyarakat Makian, dalam konteks kesejarahan merupakan sebuah komintas dibawah pengaruh wilayah empat kerajaan. Dalam struktur kerajaan, khususya kerajaan kesultanan ternate sebagai kerejaan dominan dari tiga kerajaan lainnya, posisi Makian merupakan kelompok masyarakat yang termasuk memegang posisi penting atau sebagai elit kerajaan yang turut mewarnai dinamika kerajaan. Walaupun merupakan bagian dari elit kerajaan, Kelompok etnik Makian baik ditingkat elit kerajaan, maupun ditingkat masyarakat adat pada wilayah etnik makian, sepertinya tidak sejalan dengan model paradigma feodalistik yang diterapkan oleh kerajaan. Dalam konteks ini, terjadi stigmatisasi historis bahkan hingga kini, bahwa etnik makian, adalah etnik yang tetap memegang adat istiadat, namun tetap mengedepankan rasionalitas berpikir, yang tentu sangat kontradiktif dengan paham feodalistik yang dibangun kerajaan.

Fenomena ini, justru kemudian memposisikan etnis makian sebagai kelompok yang tersubordinasi oleh lingkaran kerajaan, bahkan dimata kelompok etnik (masyarakat Adat) lain di maluku utara.

Walaupun demikian, Sejarah telah menunjukan bagaimana kelompok ini memanfaatkan wilayahnya sebagai bandar Jalur sutra ketika itu, untuk membentuk bangunan sosial yang kokoh, seperti halnya insiatif individu dan kelompok yang solid dalam rangka melakukan ekspansi, serta memperluas jaringan hingga menembus batas-batas teritorialnya. Dengan semangat ekspansif yang dimiliki, dan upaya memperluas jaringan dengan membentuk komunitas-komintas terkecil di daerah lain dengan tetap mempertahankan identitas diri sebagai orang makian, membuat etnis ini lebih sensitif terhadap perkembangan zaman, dan menambah pengetahuan dan pengalaman yang ditemukan untuk dijadikan bahan komparatif bagi mereka dalam rangka “memajukan” dan mengangkat harkat martabat etnisnya.

Upaya ini ditempuh dengan tujuan untuk menunjukan kebesaran etnisnya dihadapan pihak kerajaan dan etnis lain, bahwa ketergantungan terhadap sistem kerajaan justru membuat hidup dan kehidupan kita kurang berkembang dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam konteks itu, kita dapat mengetahui adanya perbedaan yang mendasar terhadap simbolisasi makna dalam acara keagamaan dan perkawinan antara orang makian dan Masyarakat etnis lain di Maluku Utara yang notabene sangat terpatron oleh pihak kerajaan. Simbolisasi tersebut, secara inplisit memiliki makna filosofi seperti halnya “Bira Dada” (nasi Tumpeng”). Di luar etnis makian, nasi tumpeng atau “bira dada” adalah makanan yang disajiakan disaat acara keagamaan atau perkawinan yang berwarna kuning dan berbentuk seperti “gunung”. Diatas nasi Tumpeng atau “bira dada” ditempatkan telur rebus sebagai pemaknaan seorang pemimpin. Secara filosofi, warna kuning dari nasi tumpeng menjelasakan tentang warna kerakyatan, rakyat atau “bala”. Sementara telur putih yang diletakan diatas nasi tumpeng atau “bira dada” adalah simbol sebagai seorang pemimpin yang mengayomi rakyat yang disimbolkan dalam warna kuning nasi tumpeng. Telur dianggap sebagai pemimpin yang melindungi rakyatnya, karena didalam telur sendiri terdapat adanya warna kuning.

Berbeda dengan orang Makian, walaupun sebagai bagian dari masyarakat adat , dalam acara keagamaan maupun perkawinannya nasi tumpeng atau bira dada bukanlah berwarna kuning, akan tetapi nasi tumpeng yang dibuat adalah berwarna putih dan berbentuk yang sama seperti halnya etnis lain diMaluku Utara. Warna putih mempunyai pemaknaan bahwa ada kesederajatan dan kesamaan mereka selaku masyarakat dengan pemimpinnya. Oleh karenanya pada masyarakat makian tidak terdapat berlakunya sistem kasta. Perbedaan memaknai simbol-simbol inilah, yang boleh jadi menyebakan “benturan” budaya antara orang makian dan pihak kerajaan disisi lain, termasuk etnis-etnis dimaluku utara yang terpatron dengan pihak kerajaan ternate, tidore dll.

Di lain sisi, Sistem kekrabatan dan solidaritas yang tinggi dan mengedepankan inkulisfitas, serta basis sosial budaya dan amalan nilai-nilai agama yang kuat, kecenderungan berfikir rasional, membuat etnis ini selalu fleksibel dalam setiap gerak arus perubahan dan tetap melakukan filterisasi dampak perubahan yang berpotensi merusak tatanan sosial, nilai-nilai agama dan adat yang telah dibangun.

Setidaknya semangat etnis ini untuk tetap maju dan dapat eksis dalam setiap segmen kehidupan telah ada semenjak pada masa kejayaan kerajaan..Untuk mengembalikan pengakuan etnik lain terhadap etis makian sebagai etnis yang unggul, etnik ini berlomba-lomba menyekolahkan anaknya diberbagai dispilin ilmu, mendidik anaknya dari sisi moral dan agama, membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri yang tinggi. Pada Tahun 1980-an hingga 2000-an dapat di buktikan bahwa hampir 80 % kepala sekolah SMP/SMU di Provinsi Maluku Utara di dominasi oleh etnis ini. Namun kini, sepertinya terjadi sebuah proses transformasi dalam diri orang makian. Pasca tahun 2000 hingga saat ini, orang makian yang dulu kebanyakan berprofesi sebagai guru, kini beralih mendominasi kurang lebih dari 90 % menguasai Posisi –posisi startegis sebagai dosen dan pejabat dilingkunagan Universitas Khairun Ternate. Begitupun pada jabatan startegis di birokrasi dan politik etnis ini sangatlah dominan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah pada tahun keberapakah akan terjadi pengalihan profesi orang makain beralih dari birokrasi menjadi teknokrat ?..ataukah kedepan, hegomoni makian itu akan berakhir?

Tidak seperti halnya pada etnik lain yang mendiami Maluku Utara, etnik makian adalah salah satu etnik yang memiliki struktur etnik yang sangat terbuka. Itu artinya bahwa dalam rekrutmen keanggotaan masyarakat, mereka dapat menerima siapapun, yang penting seiman dan seakidah, serta menjadi penting adalah ikatan perkawinan dan memenuhi kewajiban berdasarkan adat se atorang (aturan Adat).. Berbeda dengan etnis lain di indonesia, jaringan kekerabatan etnis makian yang diikat atas dasar perkawinan tidak didasarkan atas marga, akan tetapi didasarkan pada semangat kekeluargaan kedaerahan selaku orang makian..

Fenomena seperti ini, kelompok etnis makian menganggap sebagai sebuah kekuatan untuk memperkuat tingkat solidaritas antar sesamanya diluar wilayah pulau makian. Oleh karenanya mereka membentuk beberapa model asosiasi kelompok etnisnya diperantauan. Bentuk Asosiasi kelompok atau seringkali disebut sebagai organisasi kedaerahan berjalan solid. Peranan organisasi lebih menonjolkan wadah silaturahmi ini, namun seringkali berubah menjadi wadah bargaining dalam berbagai momentum.

Semangat primordialisme yang kental, tidak kemudian menutup ruang bagi etnis ini untuk berafiliasi dan berkoalisi dengan kekuatan-kekuatan sosial lain dalam bidang perdagangan, birokrasi, pendidikan, sosial, politik dan kegiatan lainnya..Itu artinya bahwa, kelompok etnis makian, sangat menyadari bahwa tidak memungkinkan satu kelompok dapat berhasil melakukan mencapai tujuan/maksud tanpa dukungan pihak atau kelompok yang lain..

Oleh sebabnya, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika kurang lebih 70% Kelompok etnik makian sangatlah berperan dalam berbagai segmen kehidupan dan pembangunan di Provinsi Maluku Utara.

Peran Etnis Makian Di Maluku Utara.

Etnis makian merupakan salah satu etnik dominan dalam memainkan peran-perannya diberbagai segmen kehidupan dan pembangunan di wilayah propinsi maluku utara yang cenderung mengedepankan semangat kekerabatan yang disatukan dalam semangat primordialisme, hubungan kekeluargaan dan persahabatan sebagai modal sosial untuk membentuk struktur sosial etnis yang mereka bangun.


Etnik makian dimaluku Utara adalah salah satu etinik, yang sangat menarik perhatian untuk dikaji tentang struktur soisal yang dibangun sehingga mempunyai kekuatan dominan diberbagai segmen kehidupan diprovinsi Maluku Utara. Struktur Sosial yang dimaksudkan adalah jalinan antara unsur-unsusr sosial yang pokok, sepertihalnya kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial,kelompok-kelompok sosial, serta lapisan-lapisan sosial, Taneko, (1990).

Tentu dalam Masyarakat etnis makian keluarga dalam masyarakat mempunyai perbedaan sistem untuk menarik garis penghubung. Itu artinya bahwa, ada sistem yang menurut mana para anggotanya menarik garis penghubung melalui leluhur atau atas pertalian kemasyarakatan atau pengangkatan. Perkawinan orang makian dengan etnis yang lain, secara umum dalam pola hubungan kekerabatannya seringkali didominasi oleh sistem nilai-budaya orang makian.

Disamping nilai-nilai kekerabatan yang terus dipupuk, etnis makian sangat taat dan patuh terhadap ajaran-ajaran agama, khususnya agama islam. Masyarakat makian diketahui sebagai sebuah koumunitas yang sangat fanatik terhadap agama.Hal ini disebabkan karena Kebanyakan Etis makian melakukan proses perkawinan dengan orang arab, yang sejak dahulu kala memyebarkan islam dan akhirnya kawin dengan perempuan-perempuan etnis makian.

Oleh karenanya, boleh jadi pola pikir dan semangat hidup orang makian sedikitnya terkontaminasi oleh orang-orang arab yang nota bene adalah bagian dari kominitas mereka hingga kini. Dalam pada itu, tidak bermaksud menjustifikasi bahwa kewibawaan harkat dan harga diri yang tinggi mendorong orang makian dapat meraih sukses, kejayaan dan kekuasaan. Semangat-semangat hidup seperti inilah yang kemudian membuat orang makian pergi merantau dan berlalangbuana dinegeri orang, tanpa melunturkan semangat primordialisme ketika kembali kewilayahnya.

Pada dasarnya dalam diri orang makian mempunyai pandangan filosofi yang diambil melalui “buah kenari” dan dijadikan simbol jati diri orang makian. Konon kenari merupakan suatu “komuditi” unggulan dipulau makian. Kenari dapat diartikan sebagai sesuatu yang keras (kulitnya), namun didalamnya terdapat isi yang putih, menandakan kelompok masuayakarat makian yang keras (bersemangat)dalam berjuang, dan selalu bersandarkan pada nilai kebaikan bersama. Setidaknya, ada kesamaan filosofi dengan masyarakat maluku pada umumnya yang menggunakan “Pohon sagu” sebagai filosofi hidupnya. Sagu bagi orang maluku adalah pohon dan daunnya yang berduri, namun isi dari pohon sagu tersebut adalah putih. Itu artinya bahwa orang maluku terkadang di dalam pergaulan sosial dianggap sebagai orang yang kasar, keras. Namun sesungguhnya tidak demikian, orang maluku mempunyai integritas diri yang kuat, dengan adat dan buadayanya membentuk perilaku yang lembut, ramah, dibalik sifat luar yang dinampakan dalam kesahariannya.

Pandangan yang lain, justru mengatakan bahwa orang makian awalnya menuju kesuksesan didasari atas kerja keras menebang hutan dengan satu niat yang suci atau pengharapan ketika menebang pohon adalah sebagai sumber mengais kebutuhan hidup dan kelak dapat Menunaikan Ibadah Haji. Tak heran, pulau kecil ( Makian) ini kebanyakan ditemui banyak orang-orang yang mempunyai penutup “kepala putih”. Ironisnya, etos kerja keras orang makian hanya berhenti pada titik prestasi tersebut, sehingga menjadi tidak produktif dalam menjalani kehidupan selanjutnya.

sehingga pada era 1960-70-an semangat itu sedikitnya bergeser, memasuki wilayah pendidikan bagi anak cucu mereka. Fenomena ini menjadi ukuran bagi orang makian sendiri bahwa tingkat kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya dapat dikatakan sukses bila niat untuk menunaikan ibadah haji dan menyekolahkan anaknya dapat diwujudkan.

Dalam masyarakat makian dapat dilihat ada kelompok kategori masyarakat yang memiliki status, tentu ini mengarahkan pada perbedaan dari martabat (prestise) dan pembedaan di antara perorangan dan kelompok didalam masyarakat makian itu sendiri, diantaranya golongan pejabat dan kelompok profesional, golongan alim ulama, golongan buruh tani. Dalam konteks ini tentu mempunyai bias pada sisi ekonomi masyarakat makian, sehingga dalam masyarakat makian dari segi ekonomi secara umum dapat dibedakan pada lapisan ekonomi atas, lapisan ekonomi menengah, dan lapisan ekonomi bawah. Di lain sisi, status orang makian dapat dipandangj, karena peralihan status dapat diukur dari tingkat pendidikan, kesejahteraan, ataupun dari pertalian masyarakat atau pengangkatan. Dengan demikian pembenaran dari setiap hierarki maksyarakat makian dan status dimaksud, tentu berimplikasi pada perbedaan peranan dan kewajiban. Dalam pengertian ini maka perbedaaan dalam status dan kekayaan selalu tergantung pada keadaan dan tidak pernah mutlak sifatnya.

Keadaan alam yang ganas, hanya sedikit menyimpan potensi sumber daya alam yang memadai selain buah kenari, adalah sebuah tantangan bagi etnis makian untuk migrasi demi mencari sumber penghidupan yang lebih layak, selain alasan kepadatan penduduk sejak itu, yang berimplikasi terhadap berkurannya pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam. Kurang lebih Tahun 1960, migrasi orang makian ke ternate banyak yang pekerjakan sebagai “anak piara” (pembantu rumah tangga).

Walaupun menjadi pembantu rumah tangga mereka berupaya bagi yang sekolah tetap melanjutkan studinya, sementara kelompok masyarakat lainnya mencari lahan produktif untuk dijadikan investasi bagi keberlangsungan kehidupan mereka kedepan.

Kini disebelah Kota Ternate Selatan, kurang lebih 50 persen didiami oleh orang makian. Migrasi Orang makian ke Ternate dan wilayah lain di Maluku Utara, tidak saja datang dan pergi, namun mereka memilih menetap, ataupun membeli lahan untuk membangun rumah, dengan asumsi, kelak anak cucu mereka tidak lagi mengalami nasib yang sama menjadi “anak piara” seperti yang mereka alami.

Setidaknya ada beberapa nilai budaya dalam kehidupan orang makian. Orang makian memaknai kekerabatan sepertihalnya masyarakat lain di Indonesia dengan diikat oleh hubungan primordial, hubungan darah, perkawinan dan persahabatan. Akan tetapi pola yang kekerabatan yang dianut sepertinya berada pada semangat filosofis kekerabatan orang makian yang disebut sebagai “Gasilim Nipoyopso” ( Lima sisi melahirkan satu kepala, dan satu kepala melahirkan lima sisi, dan seterusnya)..Filosofi tersebut dimanefestasikan dalam kehidupan keseharian sehingga dapat membentuk sebuah jaringan-sosial yang kuat dan mempunyai sifat interdependensi sesama orang makian. Semangat inilah yang kemudian membuat orang makian mempunyai sifat menolong, menopang dan membesarkan antar sesamanya. Sistem kekerabatan juga dibangun menembus batas teritorial wilayahnya dengan semangat “ Daio Nalou Tadopas-dopas, Maiulona Tadopas te” ( Walaupun kita dipisahkan oleh gunung dan laut, namun semangat dan hati kita tetap satu). Nilai-nilai agama selalu dijadikan sandaran. Kewibawaan dan harga diri orang makian karena sebagai penerima syariat islam pertama dari mazhab syafi dibumi maluku Utara, dizaman itu mereka menggangkap mereka adalah masyarakat yang berpengetahuan (pengatahuan Islam), bukan pada tingkatan syariat, akan tetapi pada tingkatan tarekat dan marifat.

Dimaluku Utara, “Blok M” merupakan sebuah istilah yang sangat populer dan cuhkup akrab didengar oleh para birokrat, politisi, Akademisi, Kaum Muda Intelektual diluar etnis makian, diantaranya ternate, tidore, Tobelo, Galela, Morotai dan Sanana. Di istilakan “Blok M” atau Blokan Makian, dikarenakan sikap kecemburuan politik-sosial oleh beberapa etnis di Maluku Utara terhadap Dominasi kelompok/individu dari Etnis Makian dalam pengambilan keputusan Stategis diberbagai Lembaga/Instansi Di Provinsi Maluku Utara. Kecemburuan diakibatkan oleh perimbangan dan pembagian kekuasaan yang sepihak tidaklah kemudian mengarahkan pada suatu kondisi Konflik etnis yang terbuka di Maluku Utara. Walaupun demikian, etnis makian bukan lah etnis yang dominan, dilain sisi etnis makian juga bukanlah sebuah etnis yang mempunyai kekuatan budaya lokal yang dominan. Sehingga boleh jadi, kecemburuan yang memuncak dari beberapa gabungan etnis dimaluku Utara terhadap etnis makian akan dapat menimbulkan konflik dimasa datang. Sesuatu yang tak dapat dielakan, bahwa kontestasi etnis di Maluku Utara adalah fenomena yang mempunyai akar sejarah yang panjang. Sejak masa kerajaan di abad 13 sudah menampakan dominasi politk sebut saja zaman momole, ternate masih dalam bentuk kesatuan budaya-belum negara – pertentangan antara empat clan- tubo, tobenga,tabanga, dan foramadiahi saling berperang memperebutkan resource kekuasaan maupun ekonomi, ini adalah gambaran awal.. Hingga kini cara pandang etnocentrisme mendominasi berbagai kelompok dan aliran diprovinsi maluku Utara.

Dibidang birokrasi pemerintahan, baik tingkat provinsi yang lebih didominasi oleh kelompok makian dikarenakan rekruitmen aparat berdasarkan cara pandang etnocentrisme, maka setelah pemekaran wilayah justru masing masing daerah diluar etnis makian membuat kapling-kapling etnis, sebagai sikap balas dendam, dan mengharamkan bagi etnis makian menorobos masuk diwilayah administratifnya.

Kedepan, Konflik bisa saja terjadi diakibatkan oleh etnis-etnis yang mendiami di Provinsi Maluku Utara adalah merupakan bagian dari masyarakat yang turut berada dalam suatu sistem persaingan kelompok, dan menggambarkan perjuangan untuk dapat memperoleh sumber-sumber bagi kebutuhan material yang mendasar, disamping kehormatan, dan reperesentasi etnis dalam struktur kekuasaan di Maluku Utara. Itu artinya bahwa, konflik juga dapat menumbuhkan dinamikan kehidupan yang dapat memacu pada tingkat kehidupan yang lebih baik.

Kesimpulan.

Pembahasan Peran Etnis Makian sebagai kelompok dominan dimaluku Utara, lewat tulisan ini hanyalah bersifat deskriptif atas fenomena struktur dan nilai-budaya masyarakat etnis makian. Dalam kerangka ini, tentu diharapakan melihat secara lebih proporsional dalam kaitannya dengan eksistensi makian sebagai kelompok dominan.

Jika direviu, maka dapat dikatakan bahwa Dominannya etnis makian di berbagai segmen kehidupan di Maluku Utara disebabkan oleh Faktor historis yang keras menuntun mereka untuk maju dan meninggalkan paham-paham feodailseme yang dibangun pihak kesultanan sejak itu.. Disamping sebagai sebuah komunitas yang akomodatif, dan mempunyai nilai-nilai tradisinal yang berkembang dan dinamik, etnis makian memiliki kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai agama (islam) yang sangat tinggi.

Dari berbagai uraian dimaksud, tentu dapat dilihat bahwa, keberadaan dan daya dukung suatu masyarakat sangat tergantung pada Moralitas sosial, penguatan jaringan sosial seperti yang terkandung dalam semangat filosofi “Gasilim nipoyopso dan Daio Nalou Tadopas-dopas maiulona tadopas te”.

Di lain sisi, Dominannya etnis makian diberbagai segmen kehidupan di Maluku Utara ditengah kecemberuan etnis yang lain, tentu sangat diharapkan untuk menghilangkan kecenderungan yang menjurus pada pemahaman yang sempit akan makna “Sukuisme”.. Dalam berbagai pengalaman, fenomena ini tidak dapat dijadikan sandaran untuk mengembangkan dan membangun daerah, akan tetapi justru sebaliknya menciptakan dan menumbuhkan konflik yang berkepanjangan..Itu artinya bahwa semangat kedaeahan atau primordilaisme harus berada pada batas-batas kepantasan, sejauh semangat itu tidak dimaknai secara sempit sehingga akan membawa pada akibat negatif..

Oleh sebab itu, secara esensial diperlukan niat bersama untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama/umum dari pada kepentingan kelompok dan golongan.

Baca Selengkapnya......

Penambangan Nusa Halmahera Mineral’s di Maluku Utara (Sebuah Tinjauan Ekologi)

Nusa Halamehra Minerals adalah anak perusahan dari Australia Newcrest Mining Ltd. (NML)- berbasis di Melbbourne –gordon golt dengan tingkat produksi emas per tahun kurang lebih 700 ribu ouncer. Perusahan Asing ini telah melakukan eksploitasi emas di Maluku Utara sejak tahun 190-an. Di Maluku Utara Ekspolitasi tersebut tepatnya dilakukan dibukit toguraci, gosowong dan sekitarnya yang berbatasan dengan dua keabupaten diantaranya, Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara. Awal beroperasinya Perusahan NHM tidak mendapat tantangan dan hambatan yang cukup berat, disebabkan oleh karena pertemuan dua kepentingan besar sejak itu yakni, antara Pemerintah Daerah yang merupakan perpanjang tangan dari pemerintah pusat di era orde baru dan pemodal- (Australia Newcesting mining). Masyrakat diarea penambangan yang secara turun-temurun memahmai pembagian wilayah/hutan/tanah berdasarkan aturan adat isitadat. Potensi sumber daya lokal yang dimiliki itu telah digerogoti oleh dua kepentingan besar tersebut atas nama pembangunan. Kemerdekaan atas hak-hak sebagai warga negara sepertinya dikebiri, namun tak satupun masyarakat diarea penambangan tersebut melakukan perlawanan. Hal ini disebabkan oleh Pemerintah Orde Baru dengan kekuatan negaranya seperti Tentara, Brimob, dikerahkan untuk melakukan proteksi terhadap perusahan asing, disisi lain rasionalisasi LSM “Plat Merah” juga turut serta meyakinkan masyarakat setempat atas keuntungan ekonomis, kesejahteraan yang akan mereka peroleh ketika beroperasinya perusahan tambang emas tersebut. Masyarakat Dukungan negara yang begitu kuat terhadap pemodal, atas kejahatan kemanusian dan lingkungan yang telah dilakukan oleh NHM, justru merubah total Visi negara yang pro rakyat beralih menjadi pro pemodal. Kenapa tidak ? Negara tidak lagi melindungi hak-hak rakyatnya, kemiskinan masyarakat diarea penambangn justru diobati dengan penjarahan dan pengrusakan sistemasis atas sumber daya (potensi ) lokal masyarakat setempat.. Penambagan Pihak Perusahan yang tidak diladaskan pada semangat filosofis ekologi Manusia tersebut, ikut berdampak pada kerusakan dan pencemaran lingkungan disekitar wilayah tambang.
Dideasa Dum-Dum, Teluk Kao, Gosowong dan Tuguraci, telah terjadi perubahan lingkungan lokal yang timbul sebagai resultante dari buangan zat Cianida oleh pihak perusahan disekitar Kali Kobok, teluk kao yang mengakibatkan degradasi lingkungan yang cukup fatal dan berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat diwilayah tersebut. Advokasi yang pernah dilakukan 2 Tahun terakhir salah satu OKP Halmahera Barat justru mendapatkan berbagai problem akibat sistem penyaringan dan pembuangan limbah yang tidak profesional dan bertanggung jawab. Seperti halnya, menurunya Tingkat pendapatan Masyarakat nelayan teluk Kao, dan terjangkitnya penyakit bengkak-bengkak, gatal-tatal oleh salah seorang warga dum-dum, diduga mengkonsumsi ikan hasil tangkapan di perairan teluk kao yang terkena zat akibat pembungan limbah penambangan.

Kasus tersebut, diharapkan dapat menggugah kesadaran LSM, Akademisi, Pengusaha, dan Pemerintah bahwa bahaya ketidakseimbangan hubungan manusia dengan lingkungannya sudah berada diambang pintu. Itu bararti bahwa Dengan memandang persoalan lingkungan hidup sebagai krisis ekologi di Maluku Utara, maka terbentang jalan yang luas untuk memperbaiki ketidakseimbnagan hubungan tersebut. Untuk memperbaiki ketidakseimbangan dimaksud, tidak hanya dengan jalan melakukan modernisasi ekologi, namun harus sertai dengan reorientasi nilai, etika dan norma-norma kehidupan yang kemudian tersimpul dalam tindakan kolektif, serta retruktrisasi hubungan sosial antara Individu dengan kelompok ,( Pengusaha Tambang) hingga ke organiasi yang lebih besar, ( seperti: Birokrasi).

Ironisnya, keberadaan Perusahan Australia di Gosowong dalam melakukan “jarahan” emas, tidak berdampak luas terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat disekitar area penambangan, bahkan kontribusi hasil jarahannya kepada daerah. Dimulai dari pengrusakan hutan, pencemaran air, tanah, yang dilakukan pihak perusahan tidak sama sekali membuka mata hati pemerintah Maluku Utara untuk melihat kezaliman NHM. Ini justru mengindikasikan bahwa hubungan antara negara melalui Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pihak Pengusaha NHM semakin intim. Boleh jadi, jika keadaan ini tetap dikondisikan, maka akan terlahir kemiskinan dan kemelaratan struktural pada diri masyarakat sekitar wilayah penambangan dan Masyarakat Maluku Utara pada umumnya, sekalipun negara dan pemerintah Provinsi Maluku Utara mengeluarkan kebijakan untuk mendongkrak perekonomian masyarakat / melalui berbagai program pengentasan kemiskinan. Seolah ada dua wajah dalam diri negara dan pemerintah Provinsi Maluku Utara khususnya, satu sisi mencoba membangun keberdayaan masyarakat, pada saat yang sama justru bergandengan tangan dengan perusahaan besar untuk menggali sebanyak mungkin apa yang bisa dicerabut dari aset masyarakat.

Ketika posisi yang timpang tersebut masih bertahan atau dipertahankan, maka mustahil akan terjadi dialog setara antar pihak. Pengaturan tatanan sosial antara negara, masyarakat sipil dan masyarakat bisnis sebagai cara yang manis untuk berdamai, tidak akan berguna bagi masyarakat, jika dalam kenyataannya posisi masyarakat sipil cenderung dilemahkan.

Terbentuknya masyarakat sipil yang kuat di Maluku Utara. merupakan impian banyak orang – termasuk para aktifis organisasi non-pemerintah (Ornop), LSM dan lain sebagainya. Masyarakat Maluku Utara yang berkesadaran kritis, terorganisir, serta memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya merupakan syarat penting bagi terbangunnya Pemerintahan Maluku Utara yang kredibel dan demokratis. Tanpa itu, Masyarakat kita akan terus menjadi obyek berbagai kepentingan penguasa dan pengusaha, bahkan Ornop yang menyatakan dirinya sebagai pembela kepentingan rakyat..


Reposisi Gerakan Or-Nop ( Jawaban Atas Hegomoni Politik-Ekonomi Pemerintah, Pemodal Vs Masyarakat Sipil Di Maluku Utara.

Oleh karenanya sebagai Ornop apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi problem ini? Hemat kami, kita kemudian mengembangkan cara yang lebih tepat, dengan memfasilitasi terbentuknya kesadaran kritis masyarakat hingga terbangunnya organisasi rakyat, untuk melakukan advokasi dan merubah,serta mengontrol setiap kebijakan negara dan Pemerintah. Berbagai lembaga studi, forum, atau jejaring di Maluku Utara haruslah kemudian dikembangkan dalam rangka membangun organisasi rakyat.
Dalam Konteks Maluku Utara, ada kegelisahan yang mendasar hingga kini apakah organisasi-organisasi rakyat telah tumbuh dan menjadi kuat? Diskusi reflektif yang dilakukan beberapa Komunitas Pemuda Pinggiran Halmahera Barat beberapa bulan lalu, mengindikasikan bahwa gerakan transformasi sosial selama ini masih elitis dan didominasi oleh para aktifis Ornop sendiri. “Bendera gerakan masih dipegang oleh para aktifis Ornop, sementara rakyat masih tertinggal di belakang”, kata seorang kawan. Apa yang dia maksud adalah bahwa berbagai aktifitas yang dikembangkan para ornop advokasi belum secara langsung tersambung dengan aktivitas rakyat. Banyak aktivitas Ornop kurang atau bahkan tidak melibatkan rakyat secara langsung..
Sebagai akibatnya, peningkatan kesadaran kritis baru terjadi pada aktifis ornop serta penguatan organisasi baru terjadi pada organisasi non pemerintah. Akibat lebih lanjut adalah kecilnya peran rakyat dalam aktivitas merubah dan mengontrol kebijakan. Dengan demikian masih terjadi penumpukan atau pemusatan alokasi sumberdaya pada aktifis ornop atau ornop sebagai organisasi atau jejaring. Ketidakseimbangan alokasi sumberdaya ini di satu sisi melahirkan Ornop atau aktifis selebritis yang tidak punya hubungan langsung dengan rakyat. Sementara itu organisasi rakyat yang merupakan inti dari gerakan transformasi sosial masih terabaikan dan berjalan tertatih-tatih bahkan berjalan di tempat.
Jika proses ini terus berjalan, kapan organisasi rakyat dimaluku Utara akan terbentuk berkembang dan menjadiinti gerakan masyarakat sipil di Maluku Utara untuk mengatasi berbagai problem? Seorang kawan lain mencontohkan pengalaman organisasi petani internasional. Meskipun ada berbagai Ornop yang mendukung organisasi petani itu, tetapi perannya bukan di depan, tetapi betul-betul berada di belakang organisasi tani tersebut. Hasilnya tentu berbeda, organisasi petani itu menjadi semakin kuat sementara ornop terus memperbaiki kemampuan dan menyesuaikan peran mereka sesuai kebutuhan dan perkembangan organisasi rakyat yang didukungnya. Satu kawan lain mencontohkan salah organisasi petani tingkat propinsi dimana beberapa aktifis ornop dan akademisi ikut terlibat bersama para aktifis petani dalam kepengurusan organisasi itu. Upaya itu dilakukan untuk menutup kekurangan kapasitas para aktifis rakyat serta mempercepat proses perkembangan organisasi rakyat. Stagnasi dalam membangun gerakan masyarakat sipil perlu diatasi dengan terobosan antara lain seperti dicontohkan dua kawan di atas. Perubahan strategi dan reposisi peran Ornop memang mutlak diperlukan jika kita tidak ingin terjebak bias kepentingan Ornop. Strategi tricle down effect, di mana pemberdayaan aktifis dan ornop sebagai lembaga dilakukan terlebih dulu baru aktifis dan organisasi rakyat belakangan, harus ditinggalkan. Alokasi sumberdaya harus difokuskan pada pengembangan dan penguatan organisasi rakyat. Aktivitas advokasi perlu diletakkan sebagai agenda organisasi rakyat dimana Ornop berperan sebagai institusi pendorongnya. Bukan sebaliknya, dimana advokasi merupakan agenda Ornop atau jejaring Ornop yang dalam pelaksanaannya melibatkan rakyat atau organisasi rakyat. Tumbuh dan menguatnya organisasi dengan demikian menjadi sasaran langsung gerakan penyerahan kekuasan Ornop kepada rakyat. Barangkali dengan perubahan strategi dan reposisi peran Ornop semacam itu (atau cara lainnya) akan betul-betul menumbuhkan dan memperkuat berbagai organisasi rakyat (petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, rakyat miskin kota dan sebagainya) pada tingkat lokal hingga nasional. Karena tanpa itu upaya yang kita lakukan untuk mewujudkan mimpi tentang masyarakat sipil yang kuat dan sebagai bangsa yang demokratis nampaknya bakal sia-sia.

Baca Selengkapnya......