KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Minggu, 20 Januari 2008

“ menyoal Rencana Pembangunan Bandara Di Halbar”

Pada tanggal 17 Februari 2008 pukul 04.00 Wib, aku dibangunkan dengan paksa dari tempat tidur karena mendengar merdunya suara azan. Padahal aku baru saja tidur sejam yang lalu. Karena azan adalah panggilan Shalat, maka aku harus bangun. Konon pesan nenek moyangku, kalau sementara tidur dan mendengar suara azan harus segera bangun dari tempat tidur, kenapa? Katanya kalau melanjutkan tidurnya dan menghiraukan suara azan maka umur kita pendek..koq bisa??..ha..ha…takyut deh..Subuh itu suara azannya sangat merdu, selama dibogor sepertinya baru pertama kali aku mendengar lantutan kalimat Allah dan Seruan untuk shalat dengan irama “dangdutan” yang cukup baik. Setelah beberapa menit terdengar kembali suara azan yang sama, koq bisa sih..emang kalau subuh mengumandangkan azannya sebanyak dua kali ya, wah.. ternyata aku baru sadar didalam alam kesadaranku bahwa itu adalah bunyi nada dering Hand phoneku..Aku cepat-cepat menerima telponnya, dan ternyata yang telpon adalah seorang sahabat, profesinya sebagai “kuli tinta” Harian Malut-post di Maluku Utara. Dia hanya memberikan informasi kalau ada gelar sidang di Mahkamah Agung tentang kasus PILKADA di Maluku utara, serta agenda Pertemuan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat ( Bupati, Sekda, Kepala Bappeda, dan Kepala Dinas Perhubungan) bersama Dirjen Departemen Perhubungan RI di Jakarta pada tanggal 17 Februari 2008 pukul 10.00.Wita..Selesai terima telponnya, aku tidak bisa tidur lagi. Aku ditemani secangkir teh manis sambil menunggu mentari pagi menyinari jendela kamarku, sebagai isyarat aku harus mandi, dandan biar cakep, dan selanjutnya pergi “meluncur” bersama kereta idamanku pakuan ekspers langsung menuju kota para penindas kelas kakap,.Jakarta. Sesampainya di jakarta, aku memilih mengikuti Pertemuan PEMDA Halmahera Barat bersama Dirjen Departemen Perhubungan, dan tidak menyempatkan diri untuk hadir mengikuti jalannya persidangan tentang PILKADA Malut di Mahkamah Agung..ukhhwww..udah capek ngurusin PILKADA…lebih baik aku ikut agenda PEMDA HALBAR dengan Dirjen Perhubungan karena membahas tentang tawaran draft rencana pembangunan Bandar Udara di Kabupaten Halmahera Barat, tentu sangat bermanfaat bagi kepentingan daerah dan ketidakmanfaatannya bagi kepentingan masyarakat Halmahera Barat. Bermanfaat untuk kepentingani daerah, karena rencana pembangunan ini jika berhasil, akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan PAD Hal-bar. Pada sisi lain, ketidakbermanfaat untuk kepentingan masyarakat karena rencana pembangunan bandara itu, akan merampas tanah masyarakat, merubah budaya masyarakat atau penghancuran sektor agraris masyarakat setempat. Selama ini model pembangunan yang menetikberatkan pada pola hayek dan keynesian yang mengutamakan investasi baik dari pihak swasta maupun pemerintah sebagai rangsangan akselarasi pertumbuhan ekonomi serta model pembangunan ekonomi ala rostow sepeetinya tak merubah basis ekonomi masyarakat kita. Masyarakat tetap saja miskin, dan kemiskinannya tidak diakibatkan oleh kemiskinan alamiah, akan tetapi kemiskinan struktural yang merupakan konsekwensi logis oleh kebijakan ekonomi – politik pemerintah.

Terkadang saya termenung merefelksikan sebuah pernyataan bapak Sekda Halmahera Barat setelah usai pemaparannya draftnya di depan Dirjen Departemen Perhubungan. Beliau mengatakan bahwa, halmahera barat saat ini penting dan mendesak untuk dibangun bandar udara untuk mengantisipasi 10 dan 20 tahun Halmahera Barat harus dijadikan sentra ekonomi khususnya dalam pelayanan jasa di sektor transportasi udara..lanjut beliau, mengingat kondisi pelayanan bandar udara Babullah Ternate yang tidak nyaman secara ekonomins akibat sering datangnya bencana gempa gunung berapi gamalama yang tentu akan menggagu jadwal penerbangan dan kondisi itu tentu merugikan kepentingan para penumpang, seperti halnya pebisnis dan lain-lain. Dan pada sisi lain, area untuk perluasan bandara di ternate tidak memungkinkan, alasan kapasitas lahan yang tidak mendukung. Di promosikannya Halmahera Barat tepatnya di wilayah bobaneigo menurut Sekda, karena daerah tersebut sangat strategis secara geografis dan strategis secara ekonomi. Sttargesi secara geografis karena bobaneigo merupakan interconnection dari sebagian besar kabupaten bahkan ibu kota provinsi Maluku Utara di Sofifi yang ditempuh dengan perjalan darat menuju bobaneigo (tempat rencana pembangunan bandar udara), tidak seperti ke ternate yang harus melewati ganasnya laut ketika musim ombak.

Sepertinya kita semua bisa bermimpi untuk membagun daerah dan masyarakat kita yang lebih maju, tidak semata-mata an-sich Pemerintah daerah. Jika mimpi itu benar-benar mimpi yang harus diwujudkan, maka tidak ada kata lain selain bangkit, berdiri dan berlari mewujudkan mimpi indah itu untuk kemajuan Halmahera Barat kedepan. Semua orang pasti merasakan dan mengetahui yang namanya mimpi semua pasti gratis, tidak pernah dipungut pajak sepeserpun, namun mimpi orang-orang di Pemda Halmahera Barat tidak ada yang gratis. Baru memulai bermimpi saja, sudah menguras APBD hingga ratusan juta rupiah. Sebuah nominal yang sangat fantastis. Seandainya uang itu digunakan untuk membeli “bagea sagu” atau “bagea kelapa”, mungkin sangat bermanfaat bagi peningkatan kesejhateraan masyarakat petani di Halmahera Barat. Masyarakat Halmahera Barat perlu menundukan kepala seraya mengucapkan turut berbelasungkawa atas “matinya” mata hati dan hati nurani orang-orang di Pemerintah Halmahera Barat yang cenderung mendesain rencana strategi pembangunan (Renstra)yang tidak pro masyarakat miskin. Padahal dalam setahun tetap saja ada wadah Musrembangda yang dilaksanakan secara partisipatoris sampai pada tingkatan desa, akan tetapi hasilnya tidak sama sekali berpihak pada kepentingan masyarakat banyak, namun cenderung berpihak kepada pemodal dan penguasa perencana. Rencana pembangunan Bandar udara jika ditelusuri bukanlah merupakan keinginan dan kehendak masyarakat, akan tetapi insiatif kebijakan yang muncul dari pemerintah. Boleh jadi keinginan serakah berkedok mulia atas nama pembangunan dan mengejar ketertinggalan di Halmahera Barat, rencana proyek itu kemudian hanyalah menambah “celengan” para pejabat di daerah. Kenapa? Boleh jadi dalam benak pikiran para perencana yang penting anggarannya ada, studi kelayakan tetap dibuat, pertanggung jawaban harus ada walaupun “mimpi indah” itu tidak tercapai, dan anggarannya masih tersisa bisa dipakai buat nambahin “celengan”, yang penting ada pertangungjawaban.ceh ileeeeeeee. Gampang, dan kaya mendadak lagi booo..Bukankah rencana pembangunan rel kereta api yang pernah menjadi program utopia (mimpi buruk) yang menguras APBD Maluku Utara mendekati miliaran rupiah, sepertinya harus dijadikan sebuah refelksi atas sebuah perencanaan pembangunan yang terkesan main-main.

Kondisi sosiologis masyarakat di Halmahera Barat sepertinya belum membutuhkan kehadiran bandar udara, saat ini mereka memikirkan bagiamana lahan-lahannya bisa dikelola secara produktif untuk peningkatan kesejahteraannya, mereka juga tidur dengan tangan diletakan diatas kepala memikirkan apakah mereka sanggup menyekolahkan anaknya ditengah praktek kapitalisasi pendidikan yang begitu mahal ? mereka juga saat ini memikirkan bagaimana caranya membasmi hama sexsava yang menyerang pohon kelapanya,? Dan disaat yang sama, mereka memikirkan kesehatan diri mereka ditengah kondisi lingkungan yang buruk...Bandara memerlukan luasan lahan yang cukup besar, tentu sumber-sumber agraria masyarakat setempat akan dijarah atas nama pembangunan.. Apakah layak, ditengah kegelisahan dan kemiskinan masyarakat seperti itu pantaskah pemerintah daerah tetap mewujudkan niatnya untuk membangun bandar udara?.adooh lalah eh...

Baca Selengkapnya......

Eksistensi PT. Nusa Halmahera Minerals dan Pengaruhnya Terhadap Nilai Lokalitas (Perspektif Perubahan Sosial Pada Masyarakat Desa Dum-Dum Hal-Bar)

Latar Belakang

Kehidupan masyarakat pedesaan khsususnya di desa Dum-dum dan sekitarnya, tentu sangat berkaitan erat dengan dampak-dampak eksternal yang turut mempengaruhi dan menetukan arah dan tahapan perkembangan sebuah komunitas itu. Mewacanakan tentang kehidupan masyarakat dipedesaan, mau tidak mau akan bersentuhan dengan petani, yakni segolongan orang yang hidup dari hasil bercocok tanam melalui pengelolahan sumber-sumber agraria. Walaupun mata pencarian orang-orang desa di dum-dum dan sekitarnya beragam, namun sebagian besar adalah petani ( petani kelapa ) dan kegiatan pertanian/perkebunan menjadi sumber penghasilan utama masyarakat di desa ini. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan,termasuk tanah yang merupakan bagian dari sumber agraria, tentu tidak dapat dilepas pisahkan dengan tradisi atau nilai-nilai yang selama ini dipegang dan pahami. Seiring dengan perkembangan kapitalisme dan kecenderungan globalisasi yang diperkenalkan melalui ideology developmentalisme orde baru justru kemudian memposisikan desa ini (dum-dum dan akelamo kao) sebagai arena pertarungan dalam memperebutkan sumber daya alam.

Hadirnya industri di wilayah ini ( PT Nusa Halmahera Minerals) mempunyai konsekwensi logis atas tercerabutnya sumber-sumber agraria, khususnya pada lahan pertanian dan perkebunan, masyarakat kemudian menjadi kehilangan lahan akibat keberadaan perusahan pertambangan tersebut, bahkan nilai-nilai lokalitas dan pandangan ekologis yang didasarkan oleh nilai-nilai setempatpun kemudian ikut berubah. Dalam kontek ini, desa – desa pada wilayah ini telah menjadi obyek penetrasi pengetahuan ala barat, serta sistem ala kelembagaan kapitalistik yang sudah tentu sangat mempengaruhi keberdayaan lokal masyarakat setempat. Dalam hal ini, masyarakat di desa dum-dum dan sekitarnya justru kemudian ”bertekuk lutut” menjadi tidak berdaulat lagi atas sumber daya alam yang dimilikinya sehingga, sistem hidup masyarakat pedesaan berubah menjadi sangat mengganaskan.

Eksistensi PT Nusa Halmahera Minerals Sebagai Ekspansi Ideologi Developmentalisme Orde Baru dan Perubahan Nilai Lokalitas.

Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama Orde Baru bahkan hingga kini, tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial kita. Penelitian tentang pengaruh modernisasi di Indonesia telah banyak dilakukan, termasuk oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas bagaimana dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi. Sementara Sajogyo kemudian membahas proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.

Dari kedua penelitian tersebut, sepertinya dapat dijadikan sebuah ilustrasi untuk kemudian menggambarkan fenomena pada masyarakt Dum-dum dan sekitarnya di Kabupaten Halmahera Barat dengan hadirnya PT. Nusa Halmahera Minerals pada masa orde baru. Orde baru dalam startegi pembangunannya, menempatkan modernisasi sebagai rujukan utama, bahkan satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Dalam kerangka inilah, kebijakan politik – ekonomi orde baru cenderung di dominasi paham modernism atau developmentalisme dengan memberikan ruang yang begitu besar di dalam produk undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya yang menguntungkan bagi pihak invaestasi asing. Hadirnya PT Nusa Halmahera Minerals di desa Dum-dum tepatnya di pegunungan gosowong dan tuguraci merupakan keinginanan pemerintah dalam kerangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Keberadaan perusahaan ini di ikuti dengan hadirnya berbagai jenis peralatan teknologi yang menunjang jalannya proses eksploitasi tambang. Kehadiran teknologi ini, tentu mempunyai dampak ekologis yang cukup berat sehingga menyebabkan degradasi lingkungan pada wilayah masyarakat dum-dum. Dalam kerangka ini, dapat dikatakan bahwa teknologi tidak hanya mengubah kehidupan sosial, akan tetapi teknologi juga membawa perubahan destruktif dalam konteks ekologi.Tercemarnya teluk kao, kali kobok, akibat dari pembuangan limbah bercaun (zat cianida) oleh PT.NHM adalah sebuah fenomena degradasi lingkungan yang turut mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat setempat khususnya para nelayan, serta pada sisi menurunya kualitas kesehatan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, maka terjadi perubahan pada budaya masyarakat atau pola produksi masyarakat dum-dum baik, sebagai nelayan maupun petani. Fenomena ini seperti yang dikemukan Richard Sclove adalah sebuah parabel modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah tatanan sistem sosial mengalami perubahan dengan adanya intervensi teknologi. Sepertinya keberadaan PT Nusa Halmahera Minerals, tentu merubah pandangan masyarakat dum-dum dan sekitarnya terhadap hutan dan sumberdaya alamnya.. Hutan yang berisikan sumberdaya lain secara konseptual tidak lagi dipandang sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat mendapatkan .bahan makanan dan lebih jauh lagi dianggap sebagai sumber dan sekaligus muara bagi eksistensi dan perkembangan kehidupan mereka, namun pada sisi lain sumberdaya alam ( emas ) yang ada justru dipandang sebagai objek yang perlu diekspolitasi, dalam artian dan sumberdaya alamnya adalah kapital ekonomi dengan tujuan untuk peningkatan kesejahteraan hidupnya. Dalam konteks ini, kelembagaan sasi sebagai nilai-nilai masyarakat setempat yang mengandung unsure-unsur larangan dalam konteks pelestarian hutan kemudian menjadi hilang. Tergiur dengan pekerjaan baru sebagai penambang emas dan “hancur”nya sektor rill masyarakat akibat degradasi lingkungan, membuat sector pertanian dan sektor perikanan yang menjadi usaha turun-temurunnya menjadi terbengkalai. Itu artinya bahwa secara umum telah terjadi pengalihan mata pencarian masyarakat setempat. Di sisi lain, modernisasi pembangunan yang terjadi di desa dum-dum sejalan dengan keberadaan PT Nusa Halmahera Minerals, merubah wajah atau jati diri masyarakat dum-dum dan sekitarnya yang hidup dengan kekhasan sebagai masyarakat desa, kini menjadi masyarakat semi perkotaan. Bagaimana tidak, jauh sebelumnya masyarakat ditempat ini disuguhkan dengan teknologi jaringan komunikasi seluler indosat, telkomsel di bandingkan dengan daerah –daerah lain di maluku utara lainnya seperti halnya di pusat kabupaten desa dum-dum itu sendiri yakni, Jailolo. Tak kalah penting untuk mengamati dalam kaitannya dengan perubahan sosial adalah kehadiran para pendatang sebagai tenaga kerja di PT. NHM, maupun para pendatang yang membuka usaha lain diwilayah ini, seperti berdagang dan lain sebaginya.

Dalam kerangka ini, tentu masyarakat dum-dum dan sekitarnya yang dulu sebagai sebuah komunitas yang homogen pada tingkatan cultural, kini menjadi masyarakat yang sangat heterogen atau multikultural. Artinya bahwa telah terjadi akulturasi budaya pada komunitas ini. pendatang inilah yang kemudian memperkenalkan nilai uang pada masyarakat dum-dum, sehingga nilai-nilai budaya transaksi tradisonal seperti halnya “baranta” atau barter kemudian menjadi “pudar” dengan sendirinya. dahulunya masyarakat dum-dum untuk mempereoleh sesuatu seperti halnya rokok sebungkus dapat dipertukarkan dengan kelapa sebanyak 10 buah.

Dalam konteks perubahan sosial, menurut saya bukanlah pendatang yang menjadi variable tunggal sebagai sumber perubahan dan hilangnya nilai-nilai lokalitas, dan menggeser pola hidup tradisonal masyarakat kearah yang modernis, akan tetapi “permainan capital” atau uang lah yang kemudian bereperan sebagai bagaian dari sumber perubahan itu sendiri.. Asumsi ini tentu sangat berbeda dengan apa yang kemukakan oleh Cristianita L.Day dalam mengamati perubahan sosial di Lon Alango menempatkan pendatang sebagai sumber perubahan. Padahal jika di lihat perubahan di Long Alango juga, uang justru mempunyai andli besar mengubah pola hidup masyarakat di long alango. Dalam kerangka ini, maka materialistic, sepertinya sangat tepat untuk meneropong fenomena perubahan sosial di Desa dum-dum Kabupaten Halmahera Barat. Kubu perspektif materialis ini memandang bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya faktor material yang menyebabkannya. Faktor material tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi dan teknologi yang berhubungan dengan ekonomi produksi. Faktor ekonomi yang dimaksudkan dalam perspektif ini tentu termasuk uang dan atau kapital sebagai sumber perubahan. Dengan demikian faktor ekonomi dan teknologi pada dasarnya akan menghasilkan perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya, kepercayaan dan norma. Jika dilihat ada beberapa faktor yang membawa perubahan itu. Faktor-faktor pembawa perubahan yang dimaksudkan adalah keberadaan PT Nusa Halmahera Mineralas, teknologi, pendatang, uangatau kapital. Dari ke empat faktor sebagai pembawa perubahan pada masyarakat dum-dum, yang merupakan sumber dari perubahan itu adalah kehadiran PT. Nusa Halmahera Minerals.

Untuk mengakhiri tulisan ini, sepertinya mentalitas Frontier yang merupakan konsep dasar ajaran Chiras telah menjadi sebuah paradigm berpikir dalam memandang lingkungan oleh Pihak PT Nusa Halmahera Minerals dan masyarakat dum-dum pada masa kini. mentalitas frontier memandang bahwa manusia itu terpisah dari alam dan bukan merupakan bagian dari alam itu sendiri, dan bahwa alam dilihat sebagai sesuatu yang harus ditundukkan. Teknologi adalah alat ampuh bagi manusia untuk menundukkan alam, dan juga merupakan jawaban bagi banyak permasalahan konflik antara masyarakat manusia dengan alam. Semoga aja tidak ya…

Baca Selengkapnya......

Jumat, 04 Januari 2008

“Bari" Sebagai Modal Sosial di Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara

Kesenjangan pembangunan yang selama ini terjadi, sepertinya merupakan perbedaan bawaan sumber daya fisik maupun sumber daya sosial (endowmen). Selama ini, pengertian sumber daya hanya dipahami dalam konteks sumber daya fisik belaka, sementara sumber daya sosial relatif terabaikan. Terabaikanya pembangunan sumber daya sosial akan menyebabkan lemahnya modal sosial, sepertinya lemah rasa percaya, jaringan kerja yang tidak efisien, lemahnya norma maupun hilangnya nilai-nilai bersama. Ketiadaan intensitas komunikasi dan rasa paling percaya akan mengarah pada situasi prisoner’s dilemma (dilema tahanan) yang akhirnya merugikan semua pihak yang berinteraksi.

Menurut putnam (1993), fukuyama (1995) dan Rao (2001), perbedaan rasa saling percaya menjadi faktor penyebab adanya perbedaan pembangunan pada suatu wilayah. Selain itu rasa percaya juga merupakan komponen modal sosial yang dapat meningkatkan akses masyarakat kepada sumber-sumber kesejahteraan (Grotaert,2001).

Penelitian-penelitian modal sosial diberbagai negara menunjukan bahwa modal sosial dapat dibangun pada aras mikro, meso dan makro. Modal sosial merupakan salah satu syarat bagi tercapainya kesejahteraan rumah tangga, maupun kemakmuran masyarakat pada umumnya. Penelitian di Indonesia juga menunjukan hal yang sama. Hasil penelitian Grotaert ( 2001), dijambi jawa tengah dan Nusa Tenggara timur menunjukan bahwa kontribusi modal sosial dapat untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga dan peningkatan pendapatan rumah tangga.

Dalam konteks itu, maka Modal sosial dapat dipandang sebagai sebuah jalinan kerja sama antar warga untuk menghasilkan tindakan kolektif untuk tujuan bersama. Tentu dalam melaksanakan tindakan, sepertinya mempunyai nilai-nilai dan akar tradisi yang kuat dalam suatu komunitas dan kemudian dapat dilembagakan-menjadi sebuah kebiasaan.

Pentingnya kehadiran modal sosial tersebut sebagai upaya mensejahterakan kehidupan masyarakat, juga telah dibuktikan oleh korea selatan. Dengan semangat semaul undong, korea selatan yang pada tahun 1960-an tidak lebih sejahtera dari indonesia telah menjadi sebuah negara maju dalam kurun waktu 30 tahun. Negara itu tidak mempunyai sumber daya yang melimpah tetapi mempunyai sumber daya yang siap mewujudkan modal sosial dalam kehidupannya dalam masyarakat. Dengan semangat semaul undong yang berisikan tiga elemen pokok, yaitu kerja keras, kemandirian dan kesediaan untuk kerja sama negara ini telah menjadi salah satu negara maju di dunia ( lihat sihombing dan park 2002).

Dalam konteks indonesia sebenarnya memiliki modal sosial yang cukup lengkap untuk menjadi sebagai sebuah negara maju. Selain sumber daya alam yang sangat kaya bangsa indonesia juga memiliki sumberdaya manusia yang cukup memadai. Akan tetapi jika dilihat, modal sosial yang menjadi unsur penting bagi upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa kurang dimiliki oleh bangsa ini. Pada hal nilai-nilai budaya yang menjadi dasar bagi terbentuknya modal sosial ini adalah dimiliki oleh bangsa ini. Nilai gotong royong, tolong menolong, yang pernah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat telah semakin tipis, begitu juga dengan nilai kemandirian, kerja keras, yang pernah menyatu dalam ruh kehidupan masyarakat. Kilas balik kehidupan masyarakat kita dalam memenuhi kebutuhan seperti halnya pembangunan sarana ibadah, irigasi, sekolah, balai umum, pasar, dan berbagai sarana kehidupan lainnya merupakan bukti dari kemandirian dan kerja keras masyarakat itu sendiri Akan tetapi, nilai-nilai sosial seperti itu, sekarang tidak terlihat lagi sebagai bagian dari denyut jantung masyarakat kita saat ini.

Dalam kerangka itu, mungkin saja berkaitan dengan sejarah sosial bangsa pada masa pemerintahan orde baru. Pundi-pundi pemerintah yang cukup melimpah pada waktu telah menjadikan dirinya menjelma sebagai sinterklas. Dana pemerintah yang di miliki pemerintah sebagian di bagi-bagikan kepada rakyat dalam bentuk dana inpres, seperti inpres pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Memang apa yang di lakukan pemerintah adalah baik. Namun disatu sisi, jalan yang ditempuh sepertinya keliru.Akhirnya tingkat kemandirian masyarakat menjadi menurun.

Dari penjelasan yang bersifat teoritik dan upaya menggambarkan modal-modal sosial yang di gunakan oleh beberapa daerah bahkan negara seperti halnya korea Selatan sepertinya membuka mata hati masyarakat Halmahera Barat, khususnya para pelaku pembangunan untuk berpikir dan “berkaca” tentang betapa pentingnya revitalisasi modal-modal sosial atau kelembagaan sosial seperti halnya bari dikabupaten Halmahera Barat.

Diketahui bahwa Bari adalah nilai-nilai sosial dan modal sosial yang mengatur pola dan semangat hidup yang di dasarkan pada kepercayan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, dan saling menolong diantara anggota kelompok masyarakat di Halmahera barat pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya. Mabari dalam perspektif sosiologis, keberadaanya juga merupakan sebuah proses sosial yang bersifat assosiatif. Proses sosial yang bersifat assosiatif seperti yang dimaksudkan adalah berbentuk kerjasama/gotong royong, dan tolong menolong, (Ibrahim, 2003). Babari merupakan warisan leluhur di maluku utara yang dilembagakan sehingga telah menjadi sebuah kebiasaan dalam kerangka hidup saling tolong menolong, dan disisi lain sebagai ruang publik (publik spheare) untuk mencairkan serta merajut segala bentuk pertentangan dalam komunitas masyarakat agar tercipta selalu rasa solidaritas, dan soliditas pada masyarakat Halmahera Barat.

Bari sebagai sebuah nilai sosial, tentu merupakan sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap efektif dan penting oleh anggota kelompok masyarakat di Halmahera Barat. Misalnya nilai harmoni, kerja keras, tolong menolong, kerjasama dan lainnya merupakan contoh nilai yang sangat umum dikenal dalam kehidupan masyarakat. Dalam pada itu, nilai-nilai memainkan peran dalam kehidupan sosial. Menurut Maurice Duverger dalam Soekanto (1984), hubungan-hubungan sosial didasarkan bukan saja pada fakta-fakta positif, akan tetapi pada pertimbangan-pertimbangan nilai, karena nilai-nilai mencerminkan suatu kualitas preferensi dalam tindakan. Nilai-nilai juga memberikan sumbangan yang berarti kepada pembentukan pandangan dalam suatu komunitas tetang “dunia” mereka, dan nilai-nilai juga memberikan perasaan identitas kepada masyarakat dan menentukan seperangkat tujuan yang hendak ingin dicapai.

Di halmahera Barat, bari di tingkatan praksis dapat dilihat pada bentuk kegiatan masyarakat seperti halnya kegiatan keagamaan, kedukaan, perkwaninan, dan aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia lainnya misalnya, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan ekonomi lainnya. mabari nyatanya, dapat juga dilihat dalam aktivitas panen masyarakat petani kebun kelapa, cengkeh dan lain sebagainya.

Kegiatan Bari petani kelapa ,disaat panen dan pembuatan kopra di desa susupu, Halmahera Baat.

Disisi lain kegiatan pembangunan perumahan, tempat peribadatan, fala lamo (balai desa) di Halmahera barat dilakukan secara bersama dengan semangat bari. Akan tetapi dalam aktivitas bari terdapat sisi ekonomis yang saling menguntungkan satu dengan yang lainnya.

Seiring dengan perubahan sosial dan perubahan paradigma pembangunan orde baru, sepertinya telah memudarkan nilai-nilai sosial bari dan semangat kebersamaan. Konflik horisontal Maluku Utara khususnya di Halmahera barat merupakan salah satu indikasi lunturnya nilai bari sebagai sebuah kelembagaan di kabupaten Halmahera barat, namun disisi lain kelembagaan bari juga sepertinya menjadi alternative yang dipakai dalam pemecahan masalah konflik dalam rangka rekonsiliasi di kabupaten Hamahera Barat. Lewat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Soemake di Halmahera Barat tepatnya didesa Idam Dehe turut pula membenarkan bahwa proses rekonsiliasi didesa tersebut dilakukan melalui kerja sama yang penuh tenggang ras, sukarela dan partisipatif lewat komunikasi membuat komunitas idam dehe yang dulunya tercabik-cabik, kemudian bisa dipulihkan. Sarana yang dipakai untuk menuju rekonsiliasi, menurut Someake (2005) melalui kegiatan pembangunan sekolah yang telah rusak akibat konflik dikerjakan secara bersama-sama oleh masyarakat setempat yang dulunya berkonflik. Dalam konteks ini, jika dilihat kebiasaan masyarakat di Idam dehe dan Masyarakat desa lainnya dikabupaten Halmahera Barat kebiasaan untuk bekerja sama, tolong menolong merupakan bagian dari nilai-nilai soial bari yang telah berlangsung lama di Kabupaten Halmahera Barat sebelum konflik itu terjadi.

Di sisi lain dalam praktek keshariannya, “bari” seringkali dijumpai selain dalam aktivitas petani Kelapa , juga terdapat pada kegiatan pembersihan area pohon kelapa, pembongkaran hutan yang dilaksankan secara tradisonal serta mengandalkan mekanisme tolong menolong. “Bari” pemaknaannya tentu berbeda dengan “mabari”. Kata Bari lebih menunjukan pada pemaknaan sebagi sebuah konsep nilai sosial, sedangkan “mabari” lebih pada aktivitas atau implementasi dari nilai-nilai sosial bari itu dalam masyarakat. Secara umum, kegiatan mabari dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi beratnya suatu pekerjaan, dan menyelesaikan berbagai masalah sosial ekonomi dalam kehidupan mereka..

Dengan adanya modal sosial atau kelembagaan ini, tentu masyarakat akan merasa lebih mudah dalam mengerjakan setiap aktivitasnya yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Aktivitas bari lebih bersifat sukarela, siapa saja dapat mengikutinya. Setiap orang yang mengikuti aktivitas bari, sepertinya tidak mengharuskan adanya pembedaan status sosial antara buruh, majikan, petani biasa dan sebagainya. Itu artinya bahwa semua kelompok dalam melakukan pekerjaan mabari mempunyai status sosial atau kedudukan yang sama, demikian pula hak dan kewajiban sebagai sesama kelompok dalam mabari.

Dalam kerangka itu, bari tentu merupakan suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dan menjadi nilai bersama untuk melayani tujuan kolektif. Pada sisi lain, kelembagaan bari juga mengatur mekanisme dalam pertukaran (resiprositas) tenaga kerja dalam setiap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Artinya bahwa dalam melaksanakan aktivitas bari, tentu mempunyai kecenderungan saling tukar kebaikan dalam suatu kelompok atau antar kelompok dalam masyarakat itu sendiri. Pola pertukaran ini dapat dilakukan dalam jangka pendek atau pun dalam pereidoik jangka panjang dalam nuansa altruism.

Saat ini disebagian besar desa dikabupaten Halmahera barat, proses mabari dalam konteks sosial – ekonomi sepertinya mengalami kemandekan, yang tertinggal hanyalah nilai-nilai bari itu sendiri. Namun demikian masih ada desa-desa lain dalam lingkup Kabupaten Halmahera Barat, aktivitas bari dalam kelompok –kelompok tertentu hingga kini masih eksis.

Selama ini di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat seperti halnya bari untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangan kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Padahal di sisi lain pemerintah sebagai Stakeholder dari program pembangunan sangat memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan di Halmahera barat.

Dengan demikian, maka penting untuk dilakukan riset agar dapat mengungkap sejauhmana peran Bari sebagai Modal Sosial dan kelembagaan Pemberdayaan dan desa dalam rangka mendorong proses pembangunan di Halmahera Barat. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan kerjasama lebih intensif dengan kelembgaan local dan atau modal sosial yang ada dimasyarakat. Tentu dalam konteks ini ,Nilai-nilai budaya lokal dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada masyarakat itu diharpaan senantiasa terpelihara dan berkembang menjadi modal yang bernilai harganya dalam proses pembangunan..

Baca Selengkapnya......