KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Rabu, 17 September 2008

Kembali Ke Lokalitas; ( Menyambut pemerintahan Desa berbasis Lokal di halbar)

Himawan S. Pambudi
( Direktur LAPERA Jogyakarta dan Fasilitator Lokakarya Kampong Di Halmahera Barat )

Saat ini semangat untuk mengadopsi lokalitas berkembang di berbagai daerah. Pengalaman politik menunjukkan bahwa sentralisasi bukan hanya berbuah ketimpangan antara wilayah, tetapi juga gagal dalam menyelesaikan krisis sosial. Ketika otoritas negara runtuh, kekuasaan resmi sudah tidak dapat dipercaya, dan legitimasi politik desirable, maka satu-satunya pintu keluar dari krisis sosial adalah kembali kepada lokalitas. Hanya otoritas yang terbangun dari bawah dan tumbuh sejalan dengan sistem sosial yang dibangun secara kolektif lah yang dapat menyelamatkan rakyat dari krisis. Pengalaman di berbagai tempat, khususnya daerah-daerah yang dilanda krisis ketegangan horisontal, masyarakat berhasil menyelesaikan krisis justru ketika kelembagaan dan otoritas lokal tampil ke depan menggantikan peran negara. Sayangnya justru inilah yang diingkari oleh negara dengan mengembalikan bentuk dan sistem pemerintahan desa yang birokratis sebagaimana dalam UU No. 32/2004.
Keinginan untuk mengembalikan karakter lokalitas bukan hanya sikap eforia dan sentimen kedaerahan tanpa makna, tetapi muncul dari pengalaman bahwa berbagai persoalan di masyarakat desa dapat diselesaikan dengan cara-cara dari dalam (lokal). Kenyataan bahwa masyarakat desa memiliki sistem sosialnya sendiri yang tumbuh selama ratusan tahun, dan dibangun berdasarkan pengalaman sejarah mereka atas berbagai persoalan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat desa. Disaat genting, masyarakat desa membutuhkan kehadiran sistem nilai lokal yang menjadi jembatan antar berbagai kelompok. Nilai lokal tumbuh dalam kesejarahan sosial atas berbagai situasi yang dihadapi jauh sebelum institusi politik hadir menggantikannya.
Sayangnya jembatan sosial yang diterjemahkan sebagai Bhineka Tunggal Ika oleh para pendiri negara (founding fathers), diterjemahkan secara dangkal oleh pemerintah Orde Baru yang tercermin dalam sistem pemerintahan, termasuk didalamnya bentuk dan susunan pemerintahan desa. Keberagaman sebagai kenyataan sosial tidak diakui, persatuan yang menjadi amanat agung diterjemahkan sebagai “persatean”. Sikap dan pandangan yang menggugat cara pandang penguasa divonis dengan subversif.
Kenyataan inilah yang hendak diangkat dalam sebuah lokakarya di Halmahera Barat (Halbar) dengan tajuk Upaya Memperkuat Regulasi Pemerintahan Desa Berbasis Lokal. Momentum yang pakai dalam lokakarya tersebut paling tidak ada dua hal, pertama secara normatif saat ini pemerintahan kabupaten Halbar sedang menyusun rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang pemerintahan desa yang akan menjadi fondasi bagi bentuk dan susunan pemerintahan desa ke depan. Kedua, secara substantif sebagai kabupaten baru, pemerintah Halbar harus segera menemukan formula pemerintahan desa sebelum “tercemar”oleh bentuk dan susunan pemerintahan desa yang bukan berbasis lokal. Bentuk dan susunan pemerintahan desa yang bukan berbasis lokal adalah bentuk dan susunan pemerintahan desa yang mengembalikan sentralisme dan pengendalian.. Melalui lokakarya diharapkan pemerintah Halbar kembali menemukan spirit lokalitas yang telah tercerai berai akibat dari kebijakan pemerintah pusat yang menempatkan desa sebagai alat pengendalian untuk mobilisasi dan kontrol atas rakyat.

Pengalaman Halbar
Penelitian singkat saya di Halbar untuk mempersiapkan materi lokakarya, menemukan betapa pentingnya spirit lokalitas dalam situasi krisis di masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika situasi genting berlangsung, khususnya ketika krisis sosial terjadi beberapa waktu lalu, salah satu pegangan utama menuju rekonsiliasi adalah semangat lokalitas yang kembali dihidupkan di tingkat lokal. Kenyakinan bahwa masyarakat Halbar adalah saudara, dengan menumbuhkan kepemimpinan tradisional telah berhasil memulihkan kebersamaan untuk keluar dari ketegangan sosial yang tidak produktif. Namun sayangnya situasi dan pengalaman ini yang tidak menjadi pelajaran berharga oleh para penyusun kebijakan, khususnya berkaitan dengan paket rancangan Perda tentang pemerintahan desa.
Para penyusun kebijakan tentang pemerintahan desa agaknya tidak mau terlalu pusing (latah) dan tidak mengetahui sejarah sosial masyarakatnya mengenai bagaimana masyarakat Halbar mampu keluar dari krisis. Para penyusun Raperda hanya “mencontek” dan “memoles” aturan-aturan normatif yang ada di PP No. 72/2005 tentang pemerintahan desa dan memindahkannya menjadi kebijakan daerah tanpa mau menggali pengalaman objektif terhadap sistem pemerintahan kampong.
Diakui atau tidak, saat ini kehidupan sosial di Halbar dalam situasi yang mengkhawatirkan. Paling tidak ada dua ancaman persoalan yang harus segera diantisipasi berkaitan masyarakat desa, pertama adalah birokratisasi (dan sentralisasi) yang muncul dalam berbagai regulasi, khususnya regulasi pusat yang ingin mengembalikan semangat pengendalian politik dalam sistem pemerintahan desa. UU yang mengatur pemerintah desa sangat jelas menunjukkan maksud tersebut. Salah satu yang paling menonjol adalah birokratisasi pemerintahan desa melalui berbagai instrumen politik. Akan lebih runyam lagi kalau para regulator di Halbar tidak mau melahirkan berbagai inovasi berdasar prakarsa lokal yang sesuai dengan karakter sosial masyarakat. Sikap tidak mau repot dan pusing, terlebih kehilangan ingatan sosial terhadap sejarah masyarakatnya rupanya menjangkiti para pengambil kebijakan di Halbar. Hal ini ditunjukkan dengan paket Perda pemerintahan desa yang tumpang tindih dan tanpa kejelasan visi mengenai bentuk pemerintahan desa ke depan. Semestinya sejarah sosial lokal menjadi rujukan utama dalam penyusunan Raperda Pemerintahan Desa yang telah ditenggelamkan oleh sentralisme Orde Baru melalui UU No. 5 Tahun 1979.
Kedua, segregasi sosial dalam berbagai bentuk khususnya agama dan etnis. Segregasi ini semakin tajam setelah krisis sosial beberapa waktu yang lalu. Segregasi sosial sering dijadikan komoditi oleh berbagai orang dan kelompok yang kepentingan pragmatisnya tidak tertampung dalam kebijakan, dan dapat meletup kapan saja ketika menemukan mementumnya. Segregasi sosial dapat menjadi bom waktu yang mengubur cita-cita pemekaran untuk kesejahteraan masyarakat Halbar.
Bila spirit lokalitas hilang ditambah dengan segregasi yang tajam menemukan momentum, maka peristiwa kelabu dapat saja terulang. Pengalaman disituasi krisis beberapa waktu yang lalu menunjukkan peran kelembagaan dan kepemimpinan tradisional mampu membuka jalan bagi rekonsiliasi. Melalui ingatan sosial tentang sejarah masyarakat Halbar, masyarakat menemukan pintu untuk mengakhirisi krisis. Sayangnya hal ini tidak dijadikan pelajaran dalam menyusun kebijakan pemerintahan desa.
Halbar memiliki pengalaman yang berbeda dengan daerah lain mengenai spirit lokalitas. Di berbagai daerah spirit lokalitas berkaitan wilayah kelola agraria, proporsi anggaran bahkan etnorivalitas. Di Halbar spirit lokalitas diletakkan sebagai jembatan untuk mengeliminasi segregasi sosial dan menjebatani dinamika sosial menjadi energi produktif menatap masa depan. Kelembagaan sosial yang tumbuh jauh sebelum negara mengambil alih, telah menggantikan fungsi negara dalam meredakan dan membangun dialog pluralitas. Kalau hal ini tidak segera diperbarui dan direvitalisasi, maka kehidupan sosial politik di masyarakat halbar berada di kotak mesiu bersumbu pendek.

Penutup
Apa yang diharapkan dari lokakarya sistem pemerintahan desa berbasis lokal? Pemerintah dan masyarakat Halbar memiliki pekerjaan rumah yang besar. Sebagai kabupaten baru hasil pemekaran, para regulator daerah harus menemukan formula yang tepat sebagai pondasi pemerintahan desa . Kesembronoan dalam menyusun kebijakan sistem pemerintahan desa akan berakibat fatal bagi pembangunan dan sistem sosial masyarakat. Kelatahan dalam menyusun kebijakan pemerintahan desa bukan saja pemborosan politik, tetapi juga mendirikan istana pasir bernama desa.
Melalui lokakarya yang diselenggarakan oleh DPD KNPI Halbar diharapkan menghasilkan rekomendasi bagi para regulator daerah mengenai bagaimana bentuk dan susunan pemerintahan desa harus dibangun. Bagi masyarakat desa Halbar, lokakarya ini dapat menjadi batu pertama bagi upaya membangun jembatan sosial menuju masa depan yang bermakna.

Tidak ada komentar: