Latar Belakang
Kehidupan masyarakat pedesaan khsususnya di desa Dum-dum dan sekitarnya, tentu sangat berkaitan erat dengan dampak-dampak eksternal yang turut mempengaruhi dan menetukan arah dan tahapan perkembangan sebuah komunitas itu. Mewacanakan tentang kehidupan masyarakat dipedesaan, mau tidak mau akan bersentuhan dengan petani, yakni segolongan orang yang hidup dari hasil bercocok tanam melalui pengelolahan sumber-sumber agraria. Walaupun mata pencarian orang-orang desa di dum-dum dan sekitarnya beragam, namun sebagian besar adalah petani ( petani kelapa ) dan kegiatan pertanian/perkebunan menjadi sumber penghasilan utama masyarakat di desa ini. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan,termasuk tanah yang merupakan bagian dari sumber agraria, tentu tidak dapat dilepas pisahkan dengan tradisi atau nilai-nilai yang selama ini dipegang dan pahami. Seiring dengan perkembangan kapitalisme dan kecenderungan globalisasi yang diperkenalkan melalui ideology developmentalisme orde baru justru kemudian memposisikan desa ini (dum-dum dan akelamo kao) sebagai arena pertarungan dalam memperebutkan sumber daya alam.
Hadirnya industri di wilayah ini ( PT Nusa Halmahera Minerals) mempunyai konsekwensi logis atas tercerabutnya sumber-sumber agraria, khususnya pada lahan pertanian dan perkebunan, masyarakat kemudian menjadi kehilangan lahan akibat keberadaan perusahan pertambangan tersebut, bahkan nilai-nilai lokalitas dan pandangan ekologis yang didasarkan oleh nilai-nilai setempatpun kemudian ikut berubah. Dalam kontek ini, desa – desa pada wilayah ini telah menjadi obyek penetrasi pengetahuan ala barat, serta sistem ala kelembagaan kapitalistik yang sudah tentu sangat mempengaruhi keberdayaan lokal masyarakat setempat. Dalam hal ini, masyarakat di desa dum-dum dan sekitarnya justru kemudian ”bertekuk lutut” menjadi tidak berdaulat lagi atas sumber daya alam yang dimilikinya sehingga, sistem hidup masyarakat pedesaan berubah menjadi sangat mengganaskan.
Eksistensi PT Nusa Halmahera Minerals Sebagai Ekspansi Ideologi Developmentalisme Orde Baru dan Perubahan Nilai Lokalitas.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama Orde Baru bahkan hingga kini, tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial kita. Penelitian tentang pengaruh modernisasi di Indonesia telah banyak dilakukan, termasuk oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas bagaimana dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi. Sementara Sajogyo kemudian membahas proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.
Dari kedua penelitian tersebut, sepertinya dapat dijadikan sebuah ilustrasi untuk kemudian menggambarkan fenomena pada masyarakt Dum-dum dan sekitarnya di Kabupaten Halmahera Barat dengan hadirnya PT. Nusa Halmahera Minerals pada masa orde baru. Orde baru dalam startegi pembangunannya, menempatkan modernisasi sebagai rujukan utama, bahkan satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Dalam kerangka inilah, kebijakan politik – ekonomi orde baru cenderung di dominasi paham modernism atau developmentalisme dengan memberikan ruang yang begitu besar di dalam produk undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya yang menguntungkan bagi pihak invaestasi asing. Hadirnya PT Nusa Halmahera Minerals di desa Dum-dum tepatnya di pegunungan gosowong dan tuguraci merupakan keinginanan pemerintah dalam kerangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Keberadaan perusahaan ini di ikuti dengan hadirnya berbagai jenis peralatan teknologi yang menunjang jalannya proses eksploitasi tambang. Kehadiran teknologi ini, tentu mempunyai dampak ekologis yang cukup berat sehingga menyebabkan degradasi lingkungan pada wilayah masyarakat dum-dum. Dalam kerangka ini, dapat dikatakan bahwa teknologi tidak hanya mengubah kehidupan sosial, akan tetapi teknologi juga membawa perubahan destruktif dalam konteks ekologi.Tercemarnya teluk kao, kali kobok, akibat dari pembuangan limbah bercaun (zat cianida) oleh PT.NHM adalah sebuah fenomena degradasi lingkungan yang turut mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat setempat khususnya para nelayan, serta pada sisi menurunya kualitas kesehatan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, maka terjadi perubahan pada budaya masyarakat atau pola produksi masyarakat dum-dum baik, sebagai nelayan maupun petani.
Dalam kerangka ini, tentu masyarakat dum-dum dan sekitarnya yang dulu sebagai sebuah komunitas yang homogen pada tingkatan cultural, kini menjadi masyarakat yang sangat heterogen atau multikultural. Artinya bahwa telah terjadi akulturasi budaya pada komunitas ini. pendatang inilah yang kemudian memperkenalkan nilai uang pada masyarakat dum-dum, sehingga nilai-nilai budaya transaksi tradisonal seperti halnya “baranta” atau barter kemudian menjadi “pudar” dengan sendirinya. dahulunya masyarakat dum-dum untuk mempereoleh sesuatu seperti halnya rokok sebungkus dapat dipertukarkan dengan kelapa sebanyak 10 buah.
Dalam konteks perubahan sosial, menurut saya bukanlah pendatang yang menjadi variable tunggal sebagai sumber perubahan dan hilangnya nilai-nilai lokalitas, dan menggeser pola hidup tradisonal masyarakat kearah yang modernis, akan tetapi “permainan capital” atau uang lah yang kemudian bereperan sebagai bagaian dari sumber perubahan itu sendiri.. Asumsi ini tentu sangat berbeda dengan apa yang kemukakan oleh Cristianita L.Day dalam mengamati perubahan sosial di Lon Alango menempatkan pendatang sebagai sumber perubahan. Padahal jika di lihat perubahan di Long Alango juga, uang justru mempunyai andli besar mengubah pola hidup masyarakat di long alango. Dalam kerangka ini, maka materialistic, sepertinya sangat tepat untuk meneropong fenomena perubahan sosial di Desa dum-dum Kabupaten Halmahera Barat. Kubu perspektif materialis ini memandang bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya faktor material yang menyebabkannya. Faktor material tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi dan teknologi yang berhubungan dengan ekonomi produksi. Faktor ekonomi yang dimaksudkan dalam perspektif ini tentu termasuk uang dan atau kapital sebagai sumber perubahan. Dengan demikian faktor ekonomi dan teknologi pada dasarnya akan menghasilkan perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya, kepercayaan dan norma.
Untuk mengakhiri tulisan ini, sepertinya mentalitas Frontier yang merupakan konsep dasar ajaran Chiras telah menjadi sebuah paradigm berpikir dalam memandang lingkungan oleh Pihak PT Nusa Halmahera Minerals dan masyarakat dum-dum pada masa kini. mentalitas frontier memandang bahwa manusia itu terpisah dari alam dan bukan merupakan bagian dari alam itu sendiri, dan bahwa alam dilihat sebagai sesuatu yang harus ditundukkan. Teknologi adalah alat ampuh bagi manusia untuk menundukkan alam, dan juga merupakan jawaban bagi banyak permasalahan konflik antara masyarakat manusia dengan alam. Semoga aja tidak ya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar