KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Jumat, 04 Januari 2008

“Bari" Sebagai Modal Sosial di Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara

Kesenjangan pembangunan yang selama ini terjadi, sepertinya merupakan perbedaan bawaan sumber daya fisik maupun sumber daya sosial (endowmen). Selama ini, pengertian sumber daya hanya dipahami dalam konteks sumber daya fisik belaka, sementara sumber daya sosial relatif terabaikan. Terabaikanya pembangunan sumber daya sosial akan menyebabkan lemahnya modal sosial, sepertinya lemah rasa percaya, jaringan kerja yang tidak efisien, lemahnya norma maupun hilangnya nilai-nilai bersama. Ketiadaan intensitas komunikasi dan rasa paling percaya akan mengarah pada situasi prisoner’s dilemma (dilema tahanan) yang akhirnya merugikan semua pihak yang berinteraksi.

Menurut putnam (1993), fukuyama (1995) dan Rao (2001), perbedaan rasa saling percaya menjadi faktor penyebab adanya perbedaan pembangunan pada suatu wilayah. Selain itu rasa percaya juga merupakan komponen modal sosial yang dapat meningkatkan akses masyarakat kepada sumber-sumber kesejahteraan (Grotaert,2001).

Penelitian-penelitian modal sosial diberbagai negara menunjukan bahwa modal sosial dapat dibangun pada aras mikro, meso dan makro. Modal sosial merupakan salah satu syarat bagi tercapainya kesejahteraan rumah tangga, maupun kemakmuran masyarakat pada umumnya. Penelitian di Indonesia juga menunjukan hal yang sama. Hasil penelitian Grotaert ( 2001), dijambi jawa tengah dan Nusa Tenggara timur menunjukan bahwa kontribusi modal sosial dapat untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga dan peningkatan pendapatan rumah tangga.

Dalam konteks itu, maka Modal sosial dapat dipandang sebagai sebuah jalinan kerja sama antar warga untuk menghasilkan tindakan kolektif untuk tujuan bersama. Tentu dalam melaksanakan tindakan, sepertinya mempunyai nilai-nilai dan akar tradisi yang kuat dalam suatu komunitas dan kemudian dapat dilembagakan-menjadi sebuah kebiasaan.

Pentingnya kehadiran modal sosial tersebut sebagai upaya mensejahterakan kehidupan masyarakat, juga telah dibuktikan oleh korea selatan. Dengan semangat semaul undong, korea selatan yang pada tahun 1960-an tidak lebih sejahtera dari indonesia telah menjadi sebuah negara maju dalam kurun waktu 30 tahun. Negara itu tidak mempunyai sumber daya yang melimpah tetapi mempunyai sumber daya yang siap mewujudkan modal sosial dalam kehidupannya dalam masyarakat. Dengan semangat semaul undong yang berisikan tiga elemen pokok, yaitu kerja keras, kemandirian dan kesediaan untuk kerja sama negara ini telah menjadi salah satu negara maju di dunia ( lihat sihombing dan park 2002).

Dalam konteks indonesia sebenarnya memiliki modal sosial yang cukup lengkap untuk menjadi sebagai sebuah negara maju. Selain sumber daya alam yang sangat kaya bangsa indonesia juga memiliki sumberdaya manusia yang cukup memadai. Akan tetapi jika dilihat, modal sosial yang menjadi unsur penting bagi upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa kurang dimiliki oleh bangsa ini. Pada hal nilai-nilai budaya yang menjadi dasar bagi terbentuknya modal sosial ini adalah dimiliki oleh bangsa ini. Nilai gotong royong, tolong menolong, yang pernah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat telah semakin tipis, begitu juga dengan nilai kemandirian, kerja keras, yang pernah menyatu dalam ruh kehidupan masyarakat. Kilas balik kehidupan masyarakat kita dalam memenuhi kebutuhan seperti halnya pembangunan sarana ibadah, irigasi, sekolah, balai umum, pasar, dan berbagai sarana kehidupan lainnya merupakan bukti dari kemandirian dan kerja keras masyarakat itu sendiri Akan tetapi, nilai-nilai sosial seperti itu, sekarang tidak terlihat lagi sebagai bagian dari denyut jantung masyarakat kita saat ini.

Dalam kerangka itu, mungkin saja berkaitan dengan sejarah sosial bangsa pada masa pemerintahan orde baru. Pundi-pundi pemerintah yang cukup melimpah pada waktu telah menjadikan dirinya menjelma sebagai sinterklas. Dana pemerintah yang di miliki pemerintah sebagian di bagi-bagikan kepada rakyat dalam bentuk dana inpres, seperti inpres pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Memang apa yang di lakukan pemerintah adalah baik. Namun disatu sisi, jalan yang ditempuh sepertinya keliru.Akhirnya tingkat kemandirian masyarakat menjadi menurun.

Dari penjelasan yang bersifat teoritik dan upaya menggambarkan modal-modal sosial yang di gunakan oleh beberapa daerah bahkan negara seperti halnya korea Selatan sepertinya membuka mata hati masyarakat Halmahera Barat, khususnya para pelaku pembangunan untuk berpikir dan “berkaca” tentang betapa pentingnya revitalisasi modal-modal sosial atau kelembagaan sosial seperti halnya bari dikabupaten Halmahera Barat.

Diketahui bahwa Bari adalah nilai-nilai sosial dan modal sosial yang mengatur pola dan semangat hidup yang di dasarkan pada kepercayan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, dan saling menolong diantara anggota kelompok masyarakat di Halmahera barat pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya. Mabari dalam perspektif sosiologis, keberadaanya juga merupakan sebuah proses sosial yang bersifat assosiatif. Proses sosial yang bersifat assosiatif seperti yang dimaksudkan adalah berbentuk kerjasama/gotong royong, dan tolong menolong, (Ibrahim, 2003). Babari merupakan warisan leluhur di maluku utara yang dilembagakan sehingga telah menjadi sebuah kebiasaan dalam kerangka hidup saling tolong menolong, dan disisi lain sebagai ruang publik (publik spheare) untuk mencairkan serta merajut segala bentuk pertentangan dalam komunitas masyarakat agar tercipta selalu rasa solidaritas, dan soliditas pada masyarakat Halmahera Barat.

Bari sebagai sebuah nilai sosial, tentu merupakan sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap efektif dan penting oleh anggota kelompok masyarakat di Halmahera Barat. Misalnya nilai harmoni, kerja keras, tolong menolong, kerjasama dan lainnya merupakan contoh nilai yang sangat umum dikenal dalam kehidupan masyarakat. Dalam pada itu, nilai-nilai memainkan peran dalam kehidupan sosial. Menurut Maurice Duverger dalam Soekanto (1984), hubungan-hubungan sosial didasarkan bukan saja pada fakta-fakta positif, akan tetapi pada pertimbangan-pertimbangan nilai, karena nilai-nilai mencerminkan suatu kualitas preferensi dalam tindakan. Nilai-nilai juga memberikan sumbangan yang berarti kepada pembentukan pandangan dalam suatu komunitas tetang “dunia” mereka, dan nilai-nilai juga memberikan perasaan identitas kepada masyarakat dan menentukan seperangkat tujuan yang hendak ingin dicapai.

Di halmahera Barat, bari di tingkatan praksis dapat dilihat pada bentuk kegiatan masyarakat seperti halnya kegiatan keagamaan, kedukaan, perkwaninan, dan aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia lainnya misalnya, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan ekonomi lainnya. mabari nyatanya, dapat juga dilihat dalam aktivitas panen masyarakat petani kebun kelapa, cengkeh dan lain sebagainya.

Kegiatan Bari petani kelapa ,disaat panen dan pembuatan kopra di desa susupu, Halmahera Baat.

Disisi lain kegiatan pembangunan perumahan, tempat peribadatan, fala lamo (balai desa) di Halmahera barat dilakukan secara bersama dengan semangat bari. Akan tetapi dalam aktivitas bari terdapat sisi ekonomis yang saling menguntungkan satu dengan yang lainnya.

Seiring dengan perubahan sosial dan perubahan paradigma pembangunan orde baru, sepertinya telah memudarkan nilai-nilai sosial bari dan semangat kebersamaan. Konflik horisontal Maluku Utara khususnya di Halmahera barat merupakan salah satu indikasi lunturnya nilai bari sebagai sebuah kelembagaan di kabupaten Halmahera barat, namun disisi lain kelembagaan bari juga sepertinya menjadi alternative yang dipakai dalam pemecahan masalah konflik dalam rangka rekonsiliasi di kabupaten Hamahera Barat. Lewat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Soemake di Halmahera Barat tepatnya didesa Idam Dehe turut pula membenarkan bahwa proses rekonsiliasi didesa tersebut dilakukan melalui kerja sama yang penuh tenggang ras, sukarela dan partisipatif lewat komunikasi membuat komunitas idam dehe yang dulunya tercabik-cabik, kemudian bisa dipulihkan. Sarana yang dipakai untuk menuju rekonsiliasi, menurut Someake (2005) melalui kegiatan pembangunan sekolah yang telah rusak akibat konflik dikerjakan secara bersama-sama oleh masyarakat setempat yang dulunya berkonflik. Dalam konteks ini, jika dilihat kebiasaan masyarakat di Idam dehe dan Masyarakat desa lainnya dikabupaten Halmahera Barat kebiasaan untuk bekerja sama, tolong menolong merupakan bagian dari nilai-nilai soial bari yang telah berlangsung lama di Kabupaten Halmahera Barat sebelum konflik itu terjadi.

Di sisi lain dalam praktek keshariannya, “bari” seringkali dijumpai selain dalam aktivitas petani Kelapa , juga terdapat pada kegiatan pembersihan area pohon kelapa, pembongkaran hutan yang dilaksankan secara tradisonal serta mengandalkan mekanisme tolong menolong. “Bari” pemaknaannya tentu berbeda dengan “mabari”. Kata Bari lebih menunjukan pada pemaknaan sebagi sebuah konsep nilai sosial, sedangkan “mabari” lebih pada aktivitas atau implementasi dari nilai-nilai sosial bari itu dalam masyarakat. Secara umum, kegiatan mabari dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi beratnya suatu pekerjaan, dan menyelesaikan berbagai masalah sosial ekonomi dalam kehidupan mereka..

Dengan adanya modal sosial atau kelembagaan ini, tentu masyarakat akan merasa lebih mudah dalam mengerjakan setiap aktivitasnya yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Aktivitas bari lebih bersifat sukarela, siapa saja dapat mengikutinya. Setiap orang yang mengikuti aktivitas bari, sepertinya tidak mengharuskan adanya pembedaan status sosial antara buruh, majikan, petani biasa dan sebagainya. Itu artinya bahwa semua kelompok dalam melakukan pekerjaan mabari mempunyai status sosial atau kedudukan yang sama, demikian pula hak dan kewajiban sebagai sesama kelompok dalam mabari.

Dalam kerangka itu, bari tentu merupakan suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dan menjadi nilai bersama untuk melayani tujuan kolektif. Pada sisi lain, kelembagaan bari juga mengatur mekanisme dalam pertukaran (resiprositas) tenaga kerja dalam setiap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Artinya bahwa dalam melaksanakan aktivitas bari, tentu mempunyai kecenderungan saling tukar kebaikan dalam suatu kelompok atau antar kelompok dalam masyarakat itu sendiri. Pola pertukaran ini dapat dilakukan dalam jangka pendek atau pun dalam pereidoik jangka panjang dalam nuansa altruism.

Saat ini disebagian besar desa dikabupaten Halmahera barat, proses mabari dalam konteks sosial – ekonomi sepertinya mengalami kemandekan, yang tertinggal hanyalah nilai-nilai bari itu sendiri. Namun demikian masih ada desa-desa lain dalam lingkup Kabupaten Halmahera Barat, aktivitas bari dalam kelompok –kelompok tertentu hingga kini masih eksis.

Selama ini di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat seperti halnya bari untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangan kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Padahal di sisi lain pemerintah sebagai Stakeholder dari program pembangunan sangat memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan di Halmahera barat.

Dengan demikian, maka penting untuk dilakukan riset agar dapat mengungkap sejauhmana peran Bari sebagai Modal Sosial dan kelembagaan Pemberdayaan dan desa dalam rangka mendorong proses pembangunan di Halmahera Barat. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan kerjasama lebih intensif dengan kelembgaan local dan atau modal sosial yang ada dimasyarakat. Tentu dalam konteks ini ,Nilai-nilai budaya lokal dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada masyarakat itu diharpaan senantiasa terpelihara dan berkembang menjadi modal yang bernilai harganya dalam proses pembangunan..

Tidak ada komentar: