KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Rabu, 18 Februari 2009

Mekanisme Penyelesaian Konflik Produksi Pertanian Pada Komunitas Petani di Desa Susupu - Halmahera Barat.)

Komunitas petani kelapa di desa Susupu Kecamatan Sahu Halmahera Barat, memeliki pilihan tersendiri terkait dengan mekanisme sosial penyelesaian konflik produksi. Terdapat kecenderungan menggunakan kemampuan magic untuk mengantisipasi hilangnya tanaman, rusaknya tanaman dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggungjawab. Bagi masyarakat di di desa ini sering menyebutnya sebagai matakau. Cara membuatnya tentu berbeda-beda dan sangat sederhan. Namun umumnya mereka sering menggunakan botol dan didalam terdapat air yang telah dibacakan mantra-mantarnya kemudian diujung botolnya diikat kain berwarna merah dan digantung pada pohon yang terletak di tengah-tengah dusun. Cara ini sangat dipercaya bagi masyarakat disekitarnya, dan pada umumnya masyarakat Halmahera Barat.

Jika terdapat ”matakau” di salah satu dusun, maka dusun tanaman itu akan aman dari niat dan perilaku orang yang sengaja merusak maupun mengambil sesuatu yang berada dusun itu. Jika seseorang itu mempunyai niat mencuri sesuatu tanaman/buah-buahan dan lain-lain didalam dusun itu, dan mewujudkan niatnya dalam bentuk tindakan mencuri maka ”matakau” pasti mengena dirinya. Bagi masyarakat didesa ini, jika ada seseorang yang sudah terkena matakau karena tindakannya, mereka meyakini orang yang seperti itu akan terkena sakit perut didaerah dusun dan tidak bisa jalan, atau terdiam dibawah pohon selamanya. Terkecuali pemilik kebun datang dan membebaskannya dengan mantra yang digunakannya. Bagi mereka hal ini penting dilakukan untuk memberikan pelajaran bagi mereka yang sering mencuri hasil-hasil dusun yang bukan miliknya. Korban ”matakau” sering kali diadili oleh si pemilik dusun dan kemudian selanjutnya dibawah langsung ke kepala desa dan pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti penyelesaian kasusnya sesuai hukum.

Di sisi lain, budaya sasi juga, ternyata tidak hanya berlaku pada tardisi masyarakat maluku di Ambon dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alamnya. Sasi sebagai bagian dari otoritas lokal, juga terdapat pada masyarakat sahu, khususnya didesa Susupu Kecamatan sahu. Sasi yang selama ini di claim sebagai tata pengaturan masyarakat Ambon khususnya dalam pengelolaan dan pemanfatan sumber daya alam, ternyata boleh dibilang keliru. Dari sisi bahasa, ternyata budaya sasi sudah ratusan tahun tumbuh di daerah maluku utara.. Dilihat dari asal kata sasi sendiri berasal dari bahasa ternate yang artinya, sumpah.

Sumpah atau sasi bagi masyarakat maluku utara, khususnya didesa Susupu diberlakukan atau diterapkan karena atas dasar ketidakpuasan atas suatu masalah hak kepemilikan atau pengaturan Sumber Daya Alam, dan perselisihan antara dua belah pihak yang tidak ada titik temu, seperti halnya tanah, tanaman, dan lain sebagainya. Bagi masyarakat setempat melihat masalah tersebut sebagai “harbata” atau perselisihan yang tidak ada akhir penyelesaiannya secara damai. Jika tidak terdapat penyelesaian terhadap suatu masalah yang mempunyai kaitannya misalnya dengan tanah, dusun, pohon kelapa dan lain sebagainya, biasanya kedua belah pihak di bawah kepada pihak pemerintah desa setempat untuk diselesaikan. Namun jika pihak pemerintah desa tidak mampu melerai dan menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak yang berseteru itu, maka kedua belah pihak tersebut akan digiring oleh peihak pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama menemui para imam sigi lamo atau masjid besar, dan jomoding/petugas harian Masjid, beserta para khatib untuk diselnggarakannya proses sasi di dalam masjid.

Sasi toma kalammullah atau proses sumpah dihadapan mihrab masjid merupakan solusi penyelesaian atas masalah kedua bela pihak. Saksi-saksi yang mengahdiri proses itu terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, imam masjid besar, dan para jomoding. Prosesi sasinya berlangsung dengan diletakannya kitab suci alquran diatas kepala masing-masing kedua bela pihak, dan para saksi memerintahkan kepada kedua belah pihak secara bergantian untuk si bobeto. Si bobeto artinya memerintahkan kepada kedua belah pihak yang bermasalah untuk mengeluarkan perkataan sumpah yang ditujukan kepada pihak pertama, begitupun sebaliknya. Sumpah yang mereka keluarkan pada saat proses sasi tentu sangat bervariasi, sesuai kehendak mereka. Dan bagi masyarakat setempat mereka umumnya percaya akan akibat dari sasi ini. Saya pernah menelusuri pelaku-pelaku yang pernah bertikai masalah lahan kebun kelapa diantaranya Om Malik.

Om Malik ini pernah bertikai dengan saudaranya yang bernama Om Baba, karena masalah lahan kelapa pada tahun 1990. Menurut Om malik tanah yang dia dapatkan adalah berasal dari warisan kedua orang tua mereka ( Om Malik dan Om Baba), namun saat menerima warisan tanah dari orang tua mereka, tanah tersebut sangat sedikit sekali ditanami pohon kelapa. Hingga pada saat itu diapun segera melakukan pembibitan dan menanam pohon kelapa diatas tanah warisan orang tua mereka. Suatu ketika Om Malik pergi merantau tepatnya di Pulau Bacan Halmahera selatan. Kurang lebih 15 tahun Om Malik berdiam diri dibacan bersama istrinya. Karena rindu akan kampun halamannya Om Malikpun pergi meninggalkan daerah bacaan, dan memilih pulang kekampung halamannya di desa Susupu untuk berkumpul bersama keluarganya dan berkesempatan untuk mengelola tanah orang tuanya yang telah dia tanami pohon kelapa. Namun, sesampainya dia dikampung halaman dia tidak diberikan kesepmpatan oleh saudaranya Om Baba untuk mengelola tanah warisannya. Karena menurut Om Baba, selama 15 tahun semenjak dia pergi Om Baba lah yang merawat dan memeliharnya. Menurut Om Malik, apa yang dikatakan saudaranya itu benar, oleh karenanya dia meminta untuk mengelola sebagianya, dan sebagiannya lagi untuk Om Baba. Akan tetapi Om baba bersikeras untuk mempertahankan lahan dan isinya, bahwa dia lah yang harus mengelolanya. Perselisihan pun terjadi, tidak ada titik penyelesaian sehingga baik om baba, dan malik digiring didepan kalammullah (didalam masjid tepatnya didepan mihrab) untuk dilakukan proses sasi. Baik Om Baba dan Om Malik, masing- masing mereka diberikan kesempatan untuk mengeluarkan bobeto. Om malik menceritakan bahwa persitiwa itu cukup menegangkan karena takut akan akibat yang akan ditanggungnya kedepan. Pada kesempatan itu bobeto yang disampaikan om Malik adalah sebagai berikut: Insya Allah fangare lahi jou Allah Ta’ala, kalo gogou igo gena fangare gia sebadan kama boboho ua, fangare dahe bahala, cobo fangare na durengo ida bicara se iwaro fangaere na gia se badan na boboho karna igo enagena, ngon oro, tapi ngon se ngofa sedano tero panyake pado. ( artinya : saya minta Kepada Allah Swt, kalau benar-benar pohon kelapa itu tangan dan badan saya tidak lelah, maka saya akan dapat kutukan, namun jika keringat saya dapat bicara dan tahu bahwa badan dan tangan saya ini cukup dan sangat lelah atas kelapa yang ditanam itu, saya tidak akan minta apa2 dari hasil itu, tapi kamu (Om Baba) jika kamu tetap ambil dan makan pohon kelapa yang saya tanami, maka anak dan cucumu akan terkena penyakit kusta). Demikianlah penyampaian bobeto yang dibeberkan Om Malik kepada Om Baba. Setelah selesai proses sasi di masjid, bagi masyarakat, mereka yakini akan datang kebenaran dan sanksi dari Allah Swt terhadap pihak yang dianggap benar dan salah. Menjelang setahun kemudian Om baba menderita sakit, jari-jari tangannya perlahan-lahan habis dimakan waktu. Menurut ceritanya, diapun kemudian dilarikan ke rumah sakit. Dan ternyata sakit yang diderita adalah penyakit kusta menurut dokter. Hal inipun tidak berlaku pada om baba, hingga hari ini ibu dan anaknyapun menderita penyakit yang sama, yakni penyakit kusta. Berbagai upaya pihak keluarganya menelusuri sebab musabab, tidak hanya dari sisi medis, namun dari kekuatan supranatural ternaya menditeksi penyebab sakit disebabkan oleh karena persoalan perebutan lahan.

Cerita Om malik dan Om baba ini merupakan sedikit dari sekian banyak kasus yang disasi didesa Susupu. Jika ada lahan, dan pohon kelapa maupun sejenis tanaman lainnya yang sedang disasi, maka pasca gelar sasi, kedua belah pihak bersama kelurganya masing-masing tidak akan bisa menikmati atau memiliki apa yang diperebutkannya. Jika satu diantara mereka melanggar “aturan sasi” yang digelar didalam masjid, maka dia akan terkena sanksi/bahala. Terkecuali jika mereka menganggap bahwa satu diantara mereka benar-benar berada pada posisi yang benar dalam kasus dimaksud. Terkadang kedua belah pihak takut mengelola apalagi menikmati apa yang menjadi sumber perebutan mereka, misalnya lahan atau pohon kelap dan sejenis tanaman lainnya. Sehingga kebanyakan lahan yang di sasi, di kelola oleh orang lain diluar dari keluraga kedua belah pihak yang berseteru, dan hasil dari lahan tersebut diberikan kepada masjid.

Kemampuan masyarakat mengatur aturan main dalam hubungan sosial di masyarakat, sebagaimana ditunjukkan dalam keseharian masyarakat Sahu, memperlihatkan kepada kita bahwa sesungguhnya masyarakat mampu mengatur proses sosialnya, termasuk dalam hal ini menetapkan sanksi-sanksi sosial mereka. Sanksi-sanksi sosial dan adat dalam masyarakat menunjukkan kepada kita bahwa di dalam masyarakat tak hanya ada satu hukum negara yang mengatur hubungan sosial melainkan ada hukum sosial yang disusun masyarakat sendiri. Tertib social (social order) yang ada dalam masyarakat sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum (legal order) yang diproduksi Negara, juga bukan ketertiban yang berlangsung dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai sikap taat yang spontan dan otomatis (outomatic spontanaeus submission to tradition)

Kemampuan masyarakat menciptakan aturan main, memberi makna dan kategori secara beragam dan berubah sepanjang waktu mengenai hukum yang berlangsung dalam kehidupan sosial mereka, menginspirasi Moore, Sally Falk, 1978, untuk mengemukakan pandangannya mengenai hukum sebagai proses. Ia menganggap masyarakat sebagai semi outonomous social field yang dapat membentuk hukum. Semi outonomous social field menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat dapat memiliki kapasitas untuk membentuk aturan (rule-making capasities). Bagi Moore, hukum (law) adalah self regulating dari semi outonomous social field. Pandangan ini menurut Moore sangat penting untuk melihat konteks masyarakat yang tak selalu berada di bawah subordinasi aturan yang diproduksi Negara, melainkan senantiasa berkembang sesuai dengan konteks dinamika social masyarakatnya, dan integral dalam perilaku masyarakatnya.

1 komentar:

Abu ibrahim mengatakan...

bagaimana tu jembatan yang di pantai wisata ? hehehheehhe......