KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Senin, 25 Agustus 2008

Mencari Sistem Pemerintahan Desa di Halbar, Menyambut Penyusunan Regulasi Tentang Desa di Halmahera Barat

Tulisan ini tentu diharapkan dapat menjawab bentuk dan susunan pemerintahan desa di Kabupaten Halbar ke depan. Sebagai kabupaten yang baru dimekarkan, salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah bentuk dan susunan pemerintahan desa dimana hal tersebut sangat terkait dengan kehidupan rakyat Halbar secara keseluruhan. Sistem pemerintahan desa di Halbar ke depan yang akan dituangkan dalam regulasi daerah sangat penting posisinya, bukan hanya bagi program pembangunan pemerintah daerah tetapi juga bagi bangunan sosial yang hendak didirikan dalam kehidupan masyarakat desa. tulisan ini hendak membahas berbagai pendekatan sistem pemerintahan desa, baik semasa UU No. 5 Tahun 1979 diberlakukan ataupun sesudah dicabutnya UU yang kontroversial tersebut. Pembahasan juga akan diletakkan pada pengalaman masyarakat desa di Halbar, khususnya ketika negara belum mengambil alih sistem kelembagaan lokal yang tumbuh sejak jaman dinasti Kerajaan di Jazirah Moloku Kie Raha.

Kehancuran Lokalitas

Ada dua hal yang penting yang semestinya dipelajari dalam pengalaman pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979, pertama adalah penghancuran lokalitas. Pengalaman di Halbar sendiri menunjukkan kenyataan tersebut, dengan pudarnya sistem pemerintahan lokal yang telah tumbuh dan berkembang. Pengancuran lokalitas ini merambah ke berbagai level dari istilah sampai substansinya, seperti, Kampong diganti dengan nama desa, Fanyira (Nyira) diganti dengan kepala desa, Kabo diganti dengan Kepala Dusun, Marinyo diganti dengan sekretaris desa, Rumah Adat dipindahkan ke Balai Desa, dolo-dolo (kentongan) diganti dengan surat menyurat, Bari diganti dengan upah/perintah, dan lain sebagainya.

"Sasadu" atau rumah adat sahu di Kabupaten Halmahera Barat, tidak lagi digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat adat, melainakn kantor desa sejak diberlakukannya UU no.5 Tahun 1979.

Tifa dan dolo-dolo (pentongan) yang biasanya dipakai untuk mengumpulkan masyarakat melakukan pertemuan dalam rumah adat "sasadu" kemudian menjadi hilang, dan diganti dengan surat menyurat dan alat pengeras suara.

Pendek kata apa yang sudah tumbuh selama ratusan tahun di Halmahera Barat secara tiba-tiba dengan adanya UU No. 5 Tahun 1979 diganti dengan sebuah sistem pemerintahan yang asing sama sekali.

Kedua, paralel dengan yang pertama adalah hancurnya sistem sosial, terlebih ketika segregasi sosial semakin tajam di masyarakat. Kepemimpinan yang lahir dari bawah, tumbuh sejalan dengan aspirasi dan kepercayaan masyarakat digantikan dengan sistem kepemimpinan modern yang tumbuh berdasarkan rasionalistas. Demokrasi dan birokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dihasilkan dari sistem politik modern yang menisbikan adat istiadat masyarakat. Penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa yang diterapkan dalam UU No. 5 Tahun 1979 telah mengubah sistem rekruitmen kepemimpinan lokal yang berdasar pada patromonial tradisional menjadi rasional modern. Sayangnya sistem kepemimpinan yang tumbuh dari pola rekruitmen rasional madern gagal dalam mengantisipasi krisis di Halbar tahun 2000 (kerusuhan sosial) dan justru kepemimpinan lokal tradisionalah yang berhasil menjembatani dan meredakan. Hal ini membuktikan bahwa UU No. 5 Tahun 1979 telah gagal dalam mengembangkan kepercayaan rakyat di desa atas kepemimpinan yang dilahirkan.

Pintu Kembali ke Lokalitas

UU No. 22 Tahun 1999 (yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) telah menunjukkan sikap koreksinya atas pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1979. Dengan sikap koreksinya tersebut semestinya menjadi energi untuk menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang ditengarai sebagai penyeragaman bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa tidak dapat lagi ditolerir.

Di Kabupaten Halbar, momentum tersebut dapat digunakan sebagai pintu membuka arsip lama mengenai bangunan pemerintahan desa ke depan. Pengalaman sejarah sosial di pedesaan sejak jaman dinasti kerajaan Moloku kie raha menunjukkan kehidupan sosial masyarakat pedesaan berlangsung sangat dinamis dan penuh dengan semangat kerelawanan (volunterisme). Adat istiadat tumbuh menemukan ruang dalam tradisi masyarakat lokal berhimpitan dengan keyakinan masyarakat yang membentuk jembatan antar komonitas. Apa yang kemudian dikenal dengan adat matoto agama, agama matoto kitabullah adalah bukti bahwa antara adat dengan keyakinan religius adalah dua nilai yang melekat erat dalam masyarakat kita.

Sistem pemerintahan Kampong terbentuk atas dasar nilai-nilai universal dan keyakinan kepemimpinan yang dijaga secara turun temurun. Kemimpinan yang terpilih adalah figur terbaik di tingkat lokal yang mendapat mandat menjadi pelindung sekalian warga yang tinggal di dalamnya. Fanyira (Nyira) adalah sosok yang dituakan di desa atas dasar kepribadian dan kepemimpinannya diikuti oleh semua orang. Berbeda dengan kepala desa pada masa sekarang yang cenderung mengakar ke atas, Fanyira (Nyira) figur yang mengakar ke bawah untuk menjaga adat istiadat dan memerintah dengan bijaksana. Fanyira (Nyira) tidak mencari kebenaran tekstual (legalitas) , tetapi kontekstual (legitimasi). Apa yang menjadi kehendak masyarakat, itulah yang dijalankan.

Di bawah Fanyira (Nyira) ada Marinyo dan Kabo yang membantu Fanyira (Nyira) dalam urusan administrasi dan pemerintahan. Mereka dipilih atas dasar keahlian tertentu yang diyakini mampu memperlancar urusan pemerintahan Fanyira. Dalam panyira juga dibentuk Mahimo yang merupakan badan yang bertugas mengawasi Fanyira. Secara keseluruhan sistem pemerintahan di Halmahera Barat berjalan dalam ruang yang diciptakan dan disepakati oleh warga yang tinggal di dalamnya. Tidak mengherankan kalau sistem pemerintahan ini terbukti mampu menggerakkan masyarakat untuk bekerja tanpa pamrih bagi pembangunan desanya. Sistem sosial Bari telah membuktikan bahwa di Jailolo pernah hidup semangat kesalehan sosial untuk saling membantu dan bergotong royong sebagai sebuah relasi sosial turun temurun.

Tantangan Ke Depan

Mengembalikan sistem pemerintahan desa kedalam lokalitas bukan utopia. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Jailolo pernah menjalankan sistem pemerintahan desa yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, pun dengan daerah lain memiliki karakteristiknya sendiri. Bahkan sistem pemerintahan tersebut telah menjadi tameng sosial yang efektif ketika masyarakat desa menghadapi krisis. Semangat Bari dan kepemimpinan Fanyira (Nyira) yang legitimate merupakan senjata yang ampuh untuk melindungi masyarakat dari bahaya sosial berupa perpecahan.

Pembukaan Kegiatan Lokakarya Kampong (upaya memperkuat regulasi pemerintah desa berbasis lokal), yang dihibur oleh musik bambu ( yangers ) di Jailolo Halmahera Barat.

Dalam peluang otonomi, hendalah menjadi pintu masuk untuk menyusun pemerintahan desa sebagai pondasi penting dalam pembangunan di Halbar. Untuk mempersiapkan hal tersebut, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah Halbar kalau ingin menjadikan pemerintahan desa yang kokoh dan mengakar ke bawah, pertama, menumbuhkan keberanian bahwa apa yang disebut dengan spirit lokalitas adalah pilihan terbaik dalam kehidupan sosial politik masyarakat Halmahera Barat. Bahwa masyarakat Halbar memiliki tradisi pemerintahan desa yang berbeda dengan daerah lain dan terbukti mampu menopang kehidupan warga yang tinggal di dalamnya. Keberanian ini didsarkan pada argumen mengenai kenyataan sejarah sosial masyarakat Halbar sendiri. Kedua, menyusun sebuah dokumen mengenai berbagai pengalaman kelembagaan lokal, sekaligus juga konfigurasi yang memungkinkan di lakukan dengan perkembangan sosial politik yang berlangsung baik pada tingkat lokal maupun nasional. Tidak dapat diingkari bahwa Kabupaten Halbar tetap merupkana bagian dari NKRI yang harus tunduk pada aturan-aturan normatif yang disusun pusat. Namun bukan berarti apa yang telah disusun pusat implementasikan secara mentah begitu saja tanpa ada upaya untuk melakukan penyesuaian dengan memperhatikan situasi sosial politik masyarakat Halbar. Semestinya kebijakan pusat mewadahi berbagai keragaman yang berlangsung, sebagai panorama ditaman sarinya Nusantara. Ketiga, harus ada sikap untuk terbuka dan belajar dari berbagai pihak, baik DPRD, eksekutif maupun masyarakat desa sendiri mengenai pentingnya satu pondasi pemerintahan desa yang kuat, dengan partisipasi rakyat sebagai tiang utamanya. Sebagai kabupaten baru, visi, kualitas dan hasil pembangunan sangat ditentukan sekarang. Masa dimana segenap kompenen dalam Kabupaten Halbar sedang mencari bentuk pendekatan yang paling tepat, termasuk didalamnya adalah bentuk dan sistem pemerintahan desa. Jangan sampai kebijakan yang dihasilkan menjadi residu (racun) bagi masyarakat yang akibatnya akan terasa puluhan atau ratusan tahun ke depan oleh generasi berikutnya di Halbar.

Tidak ada komentar: