Memahami sosok seorang Butila, seakan-akan memaksa memori kita untuk mengingatkan kembali suatu cerita peristiwa sosial di zaman nabi musa AS dan Nabi Khaidir. Nabi Musa AS adalah seorang yang sangat patuh dan taat dalam menjalankan perintah Allah SWT. Kehidupan kesehariannya tidak pernah absen dari sholat. Begitupun dengan nabi khaidir. Namun, pada saat itu kenapa tugas untuk menyelesaikan masalah keumatan , Allah SWT lebih memilih khaidir ketimbang Musa AS. Sebenarnya apa yang menjadi ukuran dan pertimbangan sehingga tugas itu harus diberikan kepada nabi khaidir. Jawabanya tentu hanya satu yakni; nabi khaidir memiliki kesalehan sosial yang lebih tinggi disamping kesalehan ritul normatif, sementara Musa AS hanya memiliki kesalehan ritual normatif semata.
Cerita dizaman nabi musa dan Khaidir, justru menegasakan indentitas kemanusiaan kita dalam hubungannya dengan Tuhan bukanlah dinilai dari kesalehan ritual normatif seperti sholat yang seakan-akan menjadi ukuran semata, akan tetapi kesalehan sosial dari seseorang juga memiliki ukuran dan ruang kehormatan tersendiri di hadapan Allah swt.
Kesalehan Sosial yang dimiliki khadir, juga dimiliki oleh sosok seorang butila. Perbedaannya, sosok butila sampai menghembuskan nafas terakhirnya hanya berpredikat sebagai butila biasa, Sementara Musa dan khaidir mendapat berpridikat sebagai seorang nabi. Akan tetapi dalam konteks memaknai hidup dan kehidupan, sepertinya mempunyai prinsip-prinsip sosial keagamaan yang sama, yakni disamping kesalehan ritual normatif, kesalehan sosial juga cenderung menjadi sikap dan perilaku hidup keduanya.
Butila hanyalah sosok seorang nelayan jelata, yang menghabiskan waktu kesehariannya dilaut untuk mencari ikan. Ketika kita menyebutkan nama butila, pasti mengingatkan pada sejenis ikan yang namanya butila. Sebenarnya butila bukanlah nama yang sesungguhnya, setelah ditelusuri, ternyata butila memiliki nama aslinya adalah Ka’bang. Penamaan Butila hanyalah sebuah predikat sosial yang diberikan oleh orang-orang dizaman itu karena profesinya sebagai nelayan, seringkali hasil tangkapan ikan yang diperolehnya adalah ikan butila. Dari sinilah awal mula seorang Ka’bang di panggil dengan sebutan butila.
Dipantai inilah (susupu) seorang Ka'bang sering menangkap ikan butila
Konon ceritanya, butila hidup dan menetap ditengah hutan susupu. Dia memiliki areal pertanian yang sangat luas. Namun aktifitas kesehariannya kebanyakan dihabiskan dilaut untuk mencari ikan. Waktu menjelang sore saatnya butila menyiapkan perlengkapan penangkapan ikannya menuju pantai susupu untuk mencari ikan. Ketika selesai menangkap ikan dilaut, Butila selalu memilih pulang ke rumahnya yang berada dihutan pada waktu subuh ketika orang-orang dipesisir pantai masih menikmati tidur lelapnya. Keinginan untuk pulang pada waktu subuh, agar mendapat “ruang kesempatan” yang bebas untuk membagikan atau memberikan sebagian hasil tangkapan ikannya di rumah-rumah penduduk, dengan cara menggantungkan hasil tangkapannya (ikan butila) di belakang dapur tanpa sepengetahuan orang disekitarnya. Jiwa sosial yang tinggi terselip rasa malu untuk memberikan hasil tangkapannya kepada penduduk merupakan keseharian gaya hidup seorang butila. Sepertinya butila tidak menghendaki orang disekitar pesisir laut tahu akan pemberian dan pembagian hasil tangkapan ikannya kepada mereka. Kata orang; memberikan bantuan kepada orang lain dengan tangan kanan, maka tangan kiri tidak perlu tahu. Perilaku hidup seorang butila seperti ini, jika dibandingkan dengan prilaku manusia modern saat ini, terjadi pergeseran perilaku sosial yang cukup tajam. Manusia kekinian, hanya memberikan “sehelai benang” saja duniapun tahu. ketidakbersamaan, saling tidak membantu dan tidak berbagi kelebihan apa yang dimiliki menjadi “gaya hidup” yang dipertontonkan khalayak masa kini. Sepertinya konsep islam yang menegaskan manusia sebagai Wakil Tuhan di muka Bumi untuk memelihara dan mengembangkan kehidupan antar sesama dalam rangka ibadah hanyalah lips service belaka.
Selanjutnya, Ketika selesai membagikan hasil tangkapan ikannya, butila bergegas pulang menuju rumahnya. Namun perlu diketahui, Tidak semua ikan hasil tangkapan butila diberikan kepada penduduk di pesisir pantai susupu, akan tetapi dia masih sempat menyisihkan sebagian hasil tangkapannya untuk dibagikan kepada pohon-pohon yang dedaunannya tidak sengaja menyentuh tubuhnya ketika dia harus berjalan pulang kerumahnya yang terletak di hutan. Pohon-pohon yang sering kita tebang dan musnahkan dalam pandangan butila, merupakan mahkluk bernyawa yang mempunyai bahasa isyarat untuk meminta pembagian hasil tangkapannya. Bukanlah tidak mungkin, jika saat ini ada seribu butila di Halmahera Barat, boleh jadi hutan kita akan tetap terjaga, tidak gundul dan jauh dari penebangan liar. Manusia-manusia modern saat ini, telah kehilangan kontak secara manusiawi dalam tata hubungan antar manusia, karena manusia dizaman ini telah menjadi egoistik. Manusia sekarang kehilangan kontak dengan alam, dan oleh karenannya kerusakan lingkungan menjadi masalah utama dalam hidup kita saat ini. Disisi lain, manusia masa kini sepertinya kehilangan kontak juga dengan dimensi transendentalnya.
Prof KH. Tumenggung Sis, Guru Besar pada Universitas Sam Ratulangi juga pernah menceritakan sosok seorang butila. Kata Pak Profesor, Butila adalah seorang pemuda di Maluku Utara tepatnya didesa susupu, yang memiliki kemampuan spiritual yang sangat tinggi. Entah dari mana Profesor itu mendapatkan cerita tentang butila. Cerita sang Profesor itu kalau kita mendengarkannya seakan menggugah pemikiran dan pandangan kita, bahwa sesungguhnya butila bukanlah seorang yang kesehariannya lebih menonjolkan kesalehan sosialnya saja, seperti yang diketahui orang-orang pada saat itu. Karena kesalehan ritual normatif seperti shalat yang dilakukan butila, tidak pernah dilihat oleh orang-orang disekelilingnya, bahkan butilapun tidak mau menunjukan aktifita ritualnya. Bagaimana sang profesor menceritakan sosok seorang butila ? berikut ini cerita sang profesor : “ suatu ketika para sahabat rasullah melaksanakan shalat di mekkah, pada saat bersamaan ada seorang pemuda yang datang pada waktu yang berbeda tanpa diketahui, turut melaksanakan shalat secara berjamaah dengan mereka. Ketika selesai tahyat akhir dan salam pemuda itu kemudian menghilang, entah kekuatan ghaib apa yang dimiliki seorang pemuda itu. Diantara sahabat, mereka saling bertanya tentang pemuda yang tiba-tiba menghilang itu, namun tak satupun tahu asal usulnya. Kejadian seperti ini terus berulang selama tiga kali mereka melaksanakan shalat secara bersamaan. Lagi-lagi pemuda itupun kemudian “menghilang” ketika mengakhiri shalat (tahyatul akhir dan salam). Pada satu saat, para sahabat inipun kemudian bersepakat untuk “menangkap” seorang pemuda itu,walaupun mereka tidak melanjutkan jikir dan wirid shalat setelah takhaytul akhir dan salam. Akhrinya para sahabat ini berhasil menangkap sosok seorang pemuda itu. Mereka pun bertanya tentang asalnya, pemuda itu mengatakan ia berasal dari kerajaan matahari terbit. Sosok itu menurut Profesor adalah Butila. Oleh karenanya sang profesor dalam sela-sela materinya berpesan kepada kepada mahasiswannya, agar menyempatkan diri ke Maluku Utara disana, ada sebuah makam butila yang patut dijiarah. Kini kuburan butila menjadi “jere” butila yang sering dijiarah oleh masyarakat disekitar susupu pada saat-saat tertentu, seperti malam jumat, pada sehari menjelang puasa, sehari menjelang idulfitri, bahkan seringkali “jere” butila ini dijadikan tempat untuk berdoa untuk “mememinta” sesuatu yang diinginkan oleh masyarakat susupu dan sekitarnya.
Butila adalah cerita nyata yang seharusnya menjadi catatan sejarah tersendiri sebagai anak bangsa yang berbudaya dan beragama di halmahera Barat yang patut diteladani. Sayang, hanya seorang Banau dengan jiwa keberanian dan kekerasannya tak habis-habis diceritakan dalam catatan sejarah dan menjadi legenda di Halmahera Barat, bahkan Dunia. Sementara Orang-Orang yang hidup dengan semangat sosial yang tinggi, kesalehan sosial yang tinggi, dan patut diteladani seperti halnya Butila, begitu saja dilupakan, atau sengaja melupakannya. Tak heran, jika kekerasan selalu saja menjadi lebih dekat dengan cara hidup dan kehidupan kita. Karena sejarah yang kita pelajari juga sepertinya memberikan andil dalam menuntun sikap dan perilaku kita, seperti sejarah banau dan lainnya. Orang kemudian berbondong-bondong mencari “popularitas diri” hanya dengan semangat keberanian dan modal kekerasannya.
Baca Selengkapnya......