ABSTRAK
Sistem kekerabatan Orang Makian sepertihalnya masyarakat etnis lain di Indonesia, diikat oleh hubungan primordial, hubungan darah, perkawinan dan persahabatan. Kekerabatannya bersandar pada semangat filosofis yang disebut sebagai “Gasilim Nipoyopso” ( Lima sisi melahirkan satu kepala, dan satu kepala melahirkan lima sisi, dan seterusnya)..Filosofi tersebut dimanefestasikan dalam kehidupan keseharian sehingga dapat membentuk sebuah jaringan-sosial yang kuat dan mempunyai sifat interdependensi sesama orang makian. Semangat inilah yang kemudian membuat orang makian mempunyai sifat menolong, menopang dan membesarkan antar sesamanya. Sistem kekerabatan juga dibangun menembus batas teritorial wilayahnya dengan semangat “ Daio Nalou Tadopas-dopas, Maiulona Tadopas te” ( Walaupun kita dipisahkan oleh gunung dan laut, namun semangat dan hati kita tetap satu). Menunaikan Ibadah haji, dan memperoleh gelar kesarjanahan adalah merupakan tingkatan atau ukuran dari kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidup orang Makian. Oleh karenanya, dengan semangat filosofi dan etos kerja yang tinggi itu bukanlah sesuatu yang mustahil jika hingga kini peranan etnis makian diberbagai sektor kehidupan dimaluku utara, diantaranya, birokrasi, politik,pendidikan, sangatlah dominan.
Etnis Makian Sebagai salah satu Kelompok Dominan di Maluku Utara Bruner, (1974), dalam Jurnal Sosilogi Indonesia mengungkapkan bahwa sekelompok dominan ( unggul ), ditentukan oleh tiga faktor : ( 1 ) Faktor Demografis, (besar kecilnya jumlah penduduk pendukung budaya etnis tersebut), (2) Kekuatan Ekonomi, dan (3) Kekuatan Budaya Lokal. Menurut Bruner, Apabila suatu kelompok etnis memiliki ketiga faktor diatas lebih dominan dari kelompok lain, maka dia dapat berperan sebagai kelompok budaya dominan.
Maluku Utara yang memiliki dua kota serta enam kabupaten dan mempunyai beberapa etnis dominan diantaranya, etnis ternate, Etnis Makian, Etnis Togalmoro, dan etnis Sanana. Beberapa etnis tersebut diatas, etnis makian peranannya lebih mendominasi dinamika ekonomi,sosial, politik (Ekosospol) di maluku Utara. Indikator ini dapat dilihat dari Insitusi-insitusi vital baik ditingkat eksekutif, legislatif, maupun Organisasi Politik (Parpol) dan OKP dan Ormas diprovinsi Maluku Utara kurang lebih 70 % dikuasai oleh kelompok etnis makian. Sedangkan 30 % lainnya dikuasai oleh etnis Ternate, Togalmoro, sanana, dan tidore. Lapangan Pekerjaan khusunya dibidang usaha perdagangan dan Industri besar didominasi oleh orang cina. Sedangkan perdagangan kecil dan menengah didominasi oleh etnis Jawa, Bugis,makassar dan gorontalo. Sementara lapangan pekerjaan sebagai buruh dll, etnis makian, ternate dan tidore mempunyai presentasi yang sama. Berikut ini beberapa etnis di indonesia yang mendiami provinsi Maluku utara, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.
NAMA SUKU DAN BAHASA DAERAH
PROVINSI MALUKU UTARA
KABUPATEN / KOTA | NAMA SUKU | NAMA BAHASA DAERAH |
KABUPATEN HALMAHERA BARAT | Sahu, Wayoli, Tobaru, Ibu, Gamkonora, Loloda. | Sahu, Wayoli, Tobaru, Gamkonora, Loloda, Gorap. |
KABUPATEN HALMAHERA TENGAH | Tobaru, Patani, Sawai, Togutil | Tobaru, Togutil, Sawai, Gorap |
KABUPATEN HALMAHERA UTARA | Boeng, Pagu, Madoleng, Togutil, Sangir, Minahasa | Boeng, Pagu, Madoleng, Togutil, Sangir, Minahasa |
KABUPATEN HALMAHERA SELATAN | Makian, Bacan, Mandioli, Bajo, Boeng, Buton, Kayoa | Makian Dalam, Makian Luar, Bajo, Boeng, Bacan, Tomia, Kaledupa |
KABUPATEN HALMAHERA TIMUR | Maba,Sawai, Jawa, Tobaru, Togutil | Maba,Sawai, Jawa, Tobaru, Togutil |
KABUPATEN KEPULAUAN SULA | Faceh,Fagudu,Falahu,MangonButon, Mange, Siboyo, Mbono, Samada, Kaday, Bajo, Gorontalo, Bugis, Minahasa | Sula, Mange, Mbono, Siboyo, Bajo, Wolio, Cia-cia, Tomio, Wanci, Kaledupa, Binongko, Kaday, Banggai, Minahasa, Gorontalo, Bugis. |
KOTA TERNATE | Ternate, Bugis, Gorontalo, Sumatera, Jawa, Madura, Buton, Sanger | Ternate, Koloncucu, Bugis, Padang, Jawa, Madura, Sanger |
OTA TIDORE KEPULAUAN | Tidore, Buton | Tidore, Buton |
Sumber : Pemda Provinsi Maluku Utara, 2002.
Namun dalam tabel diatas, belum dapat dijelaskan secara detail terhadap eksesistensi dan peran-eran suku tersebut didalam penulisan ini. Akan tetapi penulisan ini hanya memfokuskan pada makian dan pengaruhnya terhadap pembangunan di Maluku Utara.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Makian, dalam konteks kesejarahan merupakan sebuah komintas dibawah pengaruh wilayah empat kerajaan. Dalam struktur kerajaan, khususya kerajaan kesultanan ternate sebagai kerejaan dominan dari tiga kerajaan lainnya, posisi Makian merupakan kelompok masyarakat yang termasuk memegang posisi penting atau sebagai elit kerajaan yang turut mewarnai dinamika kerajaan. Walaupun merupakan bagian dari elit kerajaan, Kelompok etnik Makian baik ditingkat elit kerajaan, maupun ditingkat masyarakat adat pada wilayah etnik makian, sepertinya tidak sejalan dengan model paradigma feodalistik yang diterapkan oleh kerajaan. Dalam konteks ini, terjadi stigmatisasi historis bahkan hingga kini, bahwa etnik makian, adalah etnik yang tetap memegang adat istiadat, namun tetap mengedepankan rasionalitas berpikir, yang tentu sangat kontradiktif dengan paham feodalistik yang dibangun kerajaan.
Fenomena ini, justru kemudian memposisikan etnis makian sebagai kelompok yang tersubordinasi oleh lingkaran kerajaan, bahkan dimata kelompok etnik (masyarakat Adat) lain di maluku utara.
Walaupun demikian, Sejarah telah menunjukan bagaimana kelompok ini memanfaatkan wilayahnya sebagai bandar Jalur sutra ketika itu, untuk membentuk bangunan sosial yang kokoh, seperti halnya insiatif individu dan kelompok yang solid dalam rangka melakukan ekspansi, serta memperluas jaringan hingga menembus batas-batas teritorialnya. Dengan semangat ekspansif yang dimiliki, dan upaya memperluas jaringan dengan membentuk komunitas-komintas terkecil di daerah lain dengan tetap mempertahankan identitas diri sebagai orang makian, membuat etnis ini lebih sensitif terhadap perkembangan zaman, dan menambah pengetahuan dan pengalaman yang ditemukan untuk dijadikan bahan komparatif bagi mereka dalam rangka “memajukan” dan mengangkat harkat martabat etnisnya.
Upaya ini ditempuh dengan tujuan untuk menunjukan kebesaran etnisnya dihadapan pihak kerajaan dan etnis lain, bahwa ketergantungan terhadap sistem kerajaan justru membuat hidup dan kehidupan kita kurang berkembang dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks itu, kita dapat mengetahui adanya perbedaan yang mendasar terhadap simbolisasi makna dalam acara keagamaan dan perkawinan antara orang makian dan Masyarakat etnis lain di Maluku Utara yang notabene sangat terpatron oleh pihak kerajaan. Simbolisasi tersebut, secara inplisit memiliki makna filosofi seperti halnya “Bira Dada” (nasi Tumpeng”). Di luar etnis makian, nasi tumpeng atau “bira dada” adalah makanan yang disajiakan disaat acara keagamaan atau perkawinan yang berwarna kuning dan berbentuk seperti “gunung”. Diatas nasi Tumpeng atau “bira dada” ditempatkan telur rebus sebagai pemaknaan seorang pemimpin. Secara filosofi, warna kuning dari nasi tumpeng menjelasakan tentang warna kerakyatan, rakyat atau “bala”. Sementara telur putih yang diletakan diatas nasi tumpeng atau “bira dada” adalah simbol sebagai seorang pemimpin yang mengayomi rakyat yang disimbolkan dalam warna kuning nasi tumpeng. Telur dianggap sebagai pemimpin yang melindungi rakyatnya, karena didalam telur sendiri terdapat adanya warna kuning.
Berbeda dengan orang Makian, walaupun sebagai bagian dari masyarakat adat , dalam acara keagamaan maupun perkawinannya nasi tumpeng atau bira dada bukanlah berwarna kuning, akan tetapi nasi tumpeng yang dibuat adalah berwarna putih dan berbentuk yang sama seperti halnya etnis lain diMaluku Utara. Warna putih mempunyai pemaknaan bahwa ada kesederajatan dan kesamaan mereka selaku masyarakat dengan pemimpinnya. Oleh karenanya pada masyarakat makian tidak terdapat berlakunya sistem kasta. Perbedaan memaknai simbol-simbol inilah, yang boleh jadi menyebakan “benturan” budaya antara orang makian dan pihak kerajaan disisi lain, termasuk etnis-etnis dimaluku utara yang terpatron dengan pihak kerajaan ternate, tidore dll.
Di lain sisi, Sistem kekrabatan dan solidaritas yang tinggi dan mengedepankan inkulisfitas, serta basis sosial budaya dan amalan nilai-nilai agama yang kuat, kecenderungan berfikir rasional, membuat etnis ini selalu fleksibel dalam setiap gerak arus perubahan dan tetap melakukan filterisasi dampak perubahan yang berpotensi merusak tatanan sosial, nilai-nilai agama dan adat yang telah dibangun.
Setidaknya semangat etnis ini untuk tetap maju dan dapat eksis dalam setiap segmen kehidupan telah ada semenjak pada masa kejayaan kerajaan..Untuk mengembalikan pengakuan etnik lain terhadap etis makian sebagai etnis yang unggul, etnik ini berlomba-lomba menyekolahkan anaknya diberbagai dispilin ilmu, mendidik anaknya dari sisi moral dan agama, membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri yang tinggi. Pada Tahun 1980-an hingga 2000-an dapat di buktikan bahwa hampir 80 % kepala sekolah SMP/SMU di Provinsi Maluku Utara di dominasi oleh etnis ini. Namun kini, sepertinya terjadi sebuah proses transformasi dalam diri orang makian. Pasca tahun 2000 hingga saat ini, orang makian yang dulu kebanyakan berprofesi sebagai guru, kini beralih mendominasi kurang lebih dari 90 % menguasai Posisi –posisi startegis sebagai dosen dan pejabat dilingkunagan Universitas Khairun Ternate. Begitupun pada jabatan startegis di birokrasi dan politik etnis ini sangatlah dominan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah pada tahun keberapakah akan terjadi pengalihan profesi orang makain beralih dari birokrasi menjadi teknokrat ?..ataukah kedepan, hegomoni makian itu akan berakhir?
Tidak seperti halnya pada etnik lain yang mendiami Maluku Utara, etnik makian adalah salah satu etnik yang memiliki struktur etnik yang sangat terbuka. Itu artinya bahwa dalam rekrutmen keanggotaan masyarakat, mereka dapat menerima siapapun, yang penting seiman dan seakidah, serta menjadi penting adalah ikatan perkawinan dan memenuhi kewajiban berdasarkan adat se atorang (aturan Adat).. Berbeda dengan etnis lain di indonesia, jaringan kekerabatan etnis makian yang diikat atas dasar perkawinan tidak didasarkan atas marga, akan tetapi didasarkan pada semangat kekeluargaan kedaerahan selaku orang makian..
Fenomena seperti ini, kelompok etnis makian menganggap sebagai sebuah kekuatan untuk memperkuat tingkat solidaritas antar sesamanya diluar wilayah pulau makian. Oleh karenanya mereka membentuk beberapa model asosiasi kelompok etnisnya diperantauan. Bentuk Asosiasi kelompok atau seringkali disebut sebagai organisasi kedaerahan berjalan solid. Peranan organisasi lebih menonjolkan wadah silaturahmi ini, namun seringkali berubah menjadi wadah bargaining dalam berbagai momentum.
Semangat primordialisme yang kental, tidak kemudian menutup ruang bagi etnis ini untuk berafiliasi dan berkoalisi dengan kekuatan-kekuatan sosial lain dalam bidang perdagangan, birokrasi, pendidikan, sosial, politik dan kegiatan lainnya..Itu artinya bahwa, kelompok etnis makian, sangat menyadari bahwa tidak memungkinkan satu kelompok dapat berhasil melakukan mencapai tujuan/maksud tanpa dukungan pihak atau kelompok yang lain..
Oleh sebabnya, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika kurang lebih 70% Kelompok etnik makian sangatlah berperan dalam berbagai segmen kehidupan dan pembangunan di Provinsi Maluku Utara.
Peran Etnis Makian Di Maluku Utara.
Etnis makian merupakan salah satu etnik dominan dalam memainkan peran-perannya diberbagai segmen kehidupan dan pembangunan di wilayah propinsi maluku utara yang cenderung mengedepankan semangat kekerabatan yang disatukan dalam semangat primordialisme, hubungan kekeluargaan dan persahabatan sebagai modal sosial untuk membentuk struktur sosial etnis yang mereka bangun.
Etnik makian dimaluku Utara adalah salah satu etinik, yang sangat menarik perhatian untuk dikaji tentang struktur soisal yang dibangun sehingga mempunyai kekuatan dominan diberbagai segmen kehidupan diprovinsi Maluku Utara. Struktur Sosial yang dimaksudkan adalah jalinan antara unsur-unsusr sosial yang pokok, sepertihalnya kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial,kelompok-kelompok sosial, serta lapisan-lapisan sosial, Taneko, (1990).
Tentu dalam Masyarakat etnis makian keluarga dalam masyarakat mempunyai perbedaan sistem untuk menarik garis penghubung. Itu artinya bahwa, ada sistem yang menurut mana para anggotanya menarik garis penghubung melalui leluhur atau atas pertalian kemasyarakatan atau pengangkatan. Perkawinan orang makian dengan etnis yang lain, secara umum dalam pola hubungan kekerabatannya seringkali didominasi oleh sistem nilai-budaya orang makian.
Disamping nilai-nilai kekerabatan yang terus dipupuk, etnis makian sangat taat dan patuh terhadap ajaran-ajaran agama, khususnya agama islam. Masyarakat makian diketahui sebagai sebuah koumunitas yang sangat fanatik terhadap agama.Hal ini disebabkan karena Kebanyakan Etis makian melakukan proses perkawinan dengan orang arab, yang sejak dahulu kala memyebarkan islam dan akhirnya kawin dengan perempuan-perempuan etnis makian.
Oleh karenanya, boleh jadi pola pikir dan semangat hidup orang makian sedikitnya terkontaminasi oleh orang-orang arab yang nota bene adalah bagian dari kominitas mereka hingga kini. Dalam pada itu, tidak bermaksud menjustifikasi bahwa kewibawaan harkat dan harga diri yang tinggi mendorong orang makian dapat meraih sukses, kejayaan dan kekuasaan. Semangat-semangat hidup seperti inilah yang kemudian membuat orang makian pergi merantau dan berlalangbuana dinegeri orang, tanpa melunturkan semangat primordialisme ketika kembali kewilayahnya.
Pada dasarnya dalam diri orang makian mempunyai pandangan filosofi yang diambil melalui “buah kenari” dan dijadikan simbol jati diri orang makian. Konon kenari merupakan suatu “komuditi” unggulan dipulau makian. Kenari dapat diartikan sebagai sesuatu yang keras (kulitnya), namun didalamnya terdapat isi yang putih, menandakan kelompok masuayakarat makian yang keras (bersemangat)dalam berjuang, dan selalu bersandarkan pada nilai kebaikan bersama. Setidaknya, ada kesamaan filosofi dengan masyarakat maluku pada umumnya yang menggunakan “Pohon sagu” sebagai filosofi hidupnya. Sagu bagi orang maluku adalah pohon dan daunnya yang berduri, namun isi dari pohon sagu tersebut adalah putih. Itu artinya bahwa orang maluku terkadang di dalam pergaulan sosial dianggap sebagai orang yang kasar, keras. Namun sesungguhnya tidak demikian, orang maluku mempunyai integritas diri yang kuat, dengan adat dan buadayanya membentuk perilaku yang lembut, ramah, dibalik sifat luar yang dinampakan dalam kesahariannya.
Pandangan yang lain, justru mengatakan bahwa orang makian awalnya menuju kesuksesan didasari atas kerja keras menebang hutan dengan satu niat yang suci atau pengharapan ketika menebang pohon adalah sebagai sumber mengais kebutuhan hidup dan kelak dapat Menunaikan Ibadah Haji. Tak heran, pulau kecil ( Makian) ini kebanyakan ditemui banyak orang-orang yang mempunyai penutup “kepala putih”. Ironisnya, etos kerja keras orang makian hanya berhenti pada titik prestasi tersebut, sehingga menjadi tidak produktif dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
sehingga pada era 1960-70-an semangat itu sedikitnya bergeser, memasuki wilayah pendidikan bagi anak cucu mereka. Fenomena ini menjadi ukuran bagi orang makian sendiri bahwa tingkat kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya dapat dikatakan sukses bila niat untuk menunaikan ibadah haji dan menyekolahkan anaknya dapat diwujudkan.
Dalam masyarakat makian dapat dilihat ada kelompok kategori masyarakat yang memiliki status, tentu ini mengarahkan pada perbedaan dari martabat (prestise) dan pembedaan di antara perorangan dan kelompok didalam masyarakat makian itu sendiri, diantaranya golongan pejabat dan kelompok profesional, golongan alim ulama, golongan buruh tani. Dalam konteks ini tentu mempunyai bias pada sisi ekonomi masyarakat makian, sehingga dalam masyarakat makian dari segi ekonomi secara umum dapat dibedakan pada lapisan ekonomi atas, lapisan ekonomi menengah, dan lapisan ekonomi bawah. Di lain sisi, status orang makian dapat dipandangj, karena peralihan status dapat diukur dari tingkat pendidikan, kesejahteraan, ataupun dari pertalian masyarakat atau pengangkatan. Dengan demikian pembenaran dari setiap hierarki maksyarakat makian dan status dimaksud, tentu berimplikasi pada perbedaan peranan dan kewajiban. Dalam pengertian ini maka perbedaaan dalam status dan kekayaan selalu tergantung pada keadaan dan tidak pernah mutlak sifatnya.
Keadaan alam yang ganas, hanya sedikit menyimpan potensi sumber daya alam yang memadai selain buah kenari, adalah sebuah tantangan bagi etnis makian untuk migrasi demi mencari sumber penghidupan yang lebih layak, selain alasan kepadatan penduduk sejak itu, yang berimplikasi terhadap berkurannya pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam. Kurang lebih Tahun 1960, migrasi orang makian ke ternate banyak yang pekerjakan sebagai “anak piara” (pembantu rumah tangga).
Walaupun menjadi pembantu rumah tangga mereka berupaya bagi yang sekolah tetap melanjutkan studinya, sementara kelompok masyarakat lainnya mencari lahan produktif untuk dijadikan investasi bagi keberlangsungan kehidupan mereka kedepan.
Kini disebelah Kota Ternate Selatan, kurang lebih 50 persen didiami oleh orang makian. Migrasi Orang makian ke Ternate dan wilayah lain di Maluku Utara, tidak saja datang dan pergi, namun mereka memilih menetap, ataupun membeli lahan untuk membangun rumah, dengan asumsi, kelak anak cucu mereka tidak lagi mengalami nasib yang sama menjadi “anak piara” seperti yang mereka alami.
Setidaknya ada beberapa nilai budaya dalam kehidupan orang makian. Orang makian memaknai kekerabatan sepertihalnya masyarakat lain di Indonesia dengan diikat oleh hubungan primordial, hubungan darah, perkawinan dan persahabatan. Akan tetapi pola yang kekerabatan yang dianut sepertinya berada pada semangat filosofis kekerabatan orang makian yang disebut sebagai “Gasilim Nipoyopso” ( Lima sisi melahirkan satu kepala, dan satu kepala melahirkan lima sisi, dan seterusnya)..Filosofi tersebut dimanefestasikan dalam kehidupan keseharian sehingga dapat membentuk sebuah jaringan-sosial yang kuat dan mempunyai sifat interdependensi sesama orang makian. Semangat inilah yang kemudian membuat orang makian mempunyai sifat menolong, menopang dan membesarkan antar sesamanya. Sistem kekerabatan juga dibangun menembus batas teritorial wilayahnya dengan semangat “ Daio Nalou Tadopas-dopas, Maiulona Tadopas te” ( Walaupun kita dipisahkan oleh gunung dan laut, namun semangat dan hati kita tetap satu). Nilai-nilai agama selalu dijadikan sandaran. Kewibawaan dan harga diri orang makian karena sebagai penerima syariat islam pertama dari mazhab syafi dibumi maluku Utara, dizaman itu mereka menggangkap mereka adalah masyarakat yang berpengetahuan (pengatahuan Islam), bukan pada tingkatan syariat, akan tetapi pada tingkatan tarekat dan marifat.
Dimaluku Utara, “Blok M” merupakan sebuah istilah yang sangat populer dan cuhkup akrab didengar oleh para birokrat, politisi, Akademisi, Kaum Muda Intelektual diluar etnis makian, diantaranya ternate, tidore, Tobelo, Galela, Morotai dan Sanana. Di istilakan “Blok M” atau Blokan Makian, dikarenakan sikap kecemburuan politik-sosial oleh beberapa etnis di Maluku Utara terhadap Dominasi kelompok/individu dari Etnis Makian dalam pengambilan keputusan Stategis diberbagai Lembaga/Instansi Di Provinsi Maluku Utara. Kecemburuan diakibatkan oleh perimbangan dan pembagian kekuasaan yang sepihak tidaklah kemudian mengarahkan pada suatu kondisi Konflik etnis yang terbuka di Maluku Utara. Walaupun demikian, etnis makian bukan lah etnis yang dominan, dilain sisi etnis makian juga bukanlah sebuah etnis yang mempunyai kekuatan budaya lokal yang dominan. Sehingga boleh jadi, kecemburuan yang memuncak dari beberapa gabungan etnis dimaluku Utara terhadap etnis makian akan dapat menimbulkan konflik dimasa datang. Sesuatu yang tak dapat dielakan, bahwa kontestasi etnis di Maluku Utara adalah fenomena yang mempunyai akar sejarah yang panjang. Sejak masa kerajaan di abad 13 sudah menampakan dominasi politk sebut saja zaman momole, ternate masih dalam bentuk kesatuan budaya-belum negara – pertentangan antara empat clan- tubo, tobenga,tabanga, dan foramadiahi saling berperang memperebutkan resource kekuasaan maupun ekonomi, ini adalah gambaran awal.. Hingga kini cara pandang etnocentrisme mendominasi berbagai kelompok dan aliran diprovinsi maluku Utara.
Dibidang birokrasi pemerintahan, baik tingkat provinsi yang lebih didominasi oleh kelompok makian dikarenakan rekruitmen aparat berdasarkan cara pandang etnocentrisme, maka setelah pemekaran wilayah justru masing masing daerah diluar etnis makian membuat kapling-kapling etnis, sebagai sikap balas dendam, dan mengharamkan bagi etnis makian menorobos masuk diwilayah administratifnya.
Kedepan, Konflik bisa saja terjadi diakibatkan oleh etnis-etnis yang mendiami di Provinsi Maluku Utara adalah merupakan bagian dari masyarakat yang turut berada dalam suatu sistem persaingan kelompok, dan menggambarkan perjuangan untuk dapat memperoleh sumber-sumber bagi kebutuhan material yang mendasar, disamping kehormatan, dan reperesentasi etnis dalam struktur kekuasaan di Maluku Utara. Itu artinya bahwa, konflik juga dapat menumbuhkan dinamikan kehidupan yang dapat memacu pada tingkat kehidupan yang lebih baik.
Kesimpulan.
Pembahasan Peran Etnis Makian sebagai kelompok dominan dimaluku Utara, lewat tulisan ini hanyalah bersifat deskriptif atas fenomena struktur dan nilai-budaya masyarakat etnis makian. Dalam kerangka ini, tentu diharapakan melihat secara lebih proporsional dalam kaitannya dengan eksistensi makian sebagai kelompok dominan.
Jika direviu, maka dapat dikatakan bahwa Dominannya etnis makian di berbagai segmen kehidupan di Maluku Utara disebabkan oleh Faktor historis yang keras menuntun mereka untuk maju dan meninggalkan paham-paham feodailseme yang dibangun pihak kesultanan sejak itu.. Disamping sebagai sebuah komunitas yang akomodatif, dan mempunyai nilai-nilai tradisinal yang berkembang dan dinamik, etnis makian memiliki kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai agama (islam) yang sangat tinggi.
Dari berbagai uraian dimaksud, tentu dapat dilihat bahwa, keberadaan dan daya dukung suatu masyarakat sangat tergantung pada Moralitas sosial, penguatan jaringan sosial seperti yang terkandung dalam semangat filosofi “Gasilim nipoyopso dan Daio Nalou Tadopas-dopas maiulona tadopas te”.
Di lain sisi, Dominannya etnis makian diberbagai segmen kehidupan di Maluku Utara ditengah kecemberuan etnis yang lain, tentu sangat diharapkan untuk menghilangkan kecenderungan yang menjurus pada pemahaman yang sempit akan makna “Sukuisme”.. Dalam berbagai pengalaman, fenomena ini tidak dapat dijadikan sandaran untuk mengembangkan dan membangun daerah, akan tetapi justru sebaliknya menciptakan dan menumbuhkan konflik yang berkepanjangan..Itu artinya bahwa semangat kedaeahan atau primordilaisme harus berada pada batas-batas kepantasan, sejauh semangat itu tidak dimaknai secara sempit sehingga akan membawa pada akibat negatif..
Oleh sebab itu, secara esensial diperlukan niat bersama untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama/umum dari pada kepentingan kelompok dan golongan.
Baca Selengkapnya......