KORE INO FATI ANA, AFA NO LEGO SE NO SIMORE, NO MARUKU LA NOTIBA, DIFITU KORE MUDIRI RATO

Jiko Makulano

Jiko Makulano

Selasa, 24 Februari 2009

“Membangun Rumah Dengan SPPD”

Tulisan ini adalah sebuah cerita dari seorang pejabat daerah halmahera barat tentang bagaimana cara dirinya mendapatkan SPPD. SPPD itu sangat terkait dengan mekanisme administrasi pertanggunjawaban penggunaan keuangan daerah yang diperuntukan bagi para pejabat, dan staf PNS yang diberikan tugas Dinas keluar daerah. Pemberian SPPD sangat berbeda-beda antara Golongan II, III, maupun IV. Dan berbeda pula nominal yang diberikan sesuai jarak antara daerah yang menjadi tujuan penugasan dinas. Konkritnya, SPPD wajib untuk di berikan, jika berkaitan dengan penugasan Dinas. Namun di luar dari kegiatan dinas, lantas mereka menadapatkan SPPD, maka hal itu dinamakan Surat Pencuri Perjalan Dinas (SPPD).
Beberapa tahun lalu, saya sempat nongkrong sambil ngopi disalah satu warung yang berada di pertigaan Jalan Hate Bicara Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Warung dengan pemilik Mas Narot asal Suroboyo itu, menyediakan berbagai macam menu makanan dan minuman. Ada ikan bakar dengan saos pedasnya, ada pula ikan dasar kua asam, dan berbagai macam minuman yang siap di suguhkan kepada para pengunjung yang datang. Tak heran, pada setiap hari, warung ini banyak langganan dan pengunjungnya. Umumnya pengunjung warung ini di dominasi oleh Warga PNS (pegawai Negeri Sipil), apalagi di saat jarum jam menunjukan pukul 12.30 wit, adalah waktu istrahat kerja para “kuli kertas” , dipastikan warung ini akan menjadi sasaran mereka untuk “yukul”, alias makan.
Saat itu, sambil ngopi saya ditemani oleh salah seorang pekerja sosial sebut saja bung Irvan. Di sela-sela perbincangan kami, saya seketika tersentak mendengar sapaan dari seorang pejabat yang langsung datang menghampiri saya dan ikut “gabung” bersama kami. Awalnya hanya saya bersama teman, kita berdiskusi tentang isu-isu yang hendak di angkat pada agenda aksi pekan depan, terkait dengan dugaan Korupsi dana Website yang merugikan daerah kurang lebih 3 miliard rupiah. Namun keberadaan pejabat itu, membuat susasana seketika menjadi berubah. Kita bertigapun akhirnya larut dalam perbincangan dengan topik baru, tentang kinerja pemerintah, kinerja Legislatif dan eksistensi OKP di Halmahera Barat. Perbincangan kita pun kemudian berlangsung cukup seru. Namun obroloan kita sempat terhenti, ketika seorang pelayan warung bergegas datang membawakan sepering nasih putih lengkap dengan menu-nya atas pesanan bapak pejabat itu. Saya bersama teman menunggu sampai dia pun selesai makan. Setelah semua menunya disikat habis, giliran dirinya bermandi keringat, karena saking pedasnya makanan yang di makan tadi. Pedasnya mulut, membuat lidahnya semakin kaku, dan pembicaraan kitapun terhenti sejenak. Dalam waktu beberapa menit kemudian, dia mendahulukan pembicaraan kita. Kali ini bukan melanjutkan diskusi awal kita , melainkan keluhan yang datang dari dirinya sendiri.
Dia sepertinya mengeluh akan masalah finansial ditengah-tengah kebutuhan dirinya dan keluarga. Keinginannya untuk merehabilitasi rumah pribadinya, menjadi salah satu masalah dari sekian banyak masalah lainnya yang dia harus hadapi, karena memilik konsekwensi anggaran yang cukup besar. Untuk mengaharapkan gaji dan tunjangan jabatannya tidak cukup, katanya. Karena sebagaian gajinya telah di potong oleh pihak Bank, karena dirinya telah melakukan kredit pinjaman. Belum lagi dengan kebutuhan biaya pendidikan anaknya yang setiap akhir bulan, mau dan tidak mau harus di penuhi. Melihat ceritanya, rasa keprihatinan mulai muncul dari benak saya, betapa susahnya orang ini, kataku. Akan tetapi rasa keprihatinanku itu kemudian berubah secepatnya, berganti dengan rasa geram dan marah, karena sempat memikirkan bagaimana dengan orang lain disekitarnya yang sampai saat ini belum juga memiliki rumah, bahkan tanah saja mereka sulit mendapatkannya.. Tapi kok kenapa Bapak pejabat yang satu ini sudah memiliki jabatan dan pengasilan yang serba cukup, tapi masih saja mengeluh susah.
Dengan perasaan marah berkecamuk di dalam dada, namun begitu tak tega harus menampakan kemarahanku tercermin di wajahku. Untuk menghibur kesusahan bathinnya, dengan sedikit bercanda aku kemudian menawarkan solusi untuk meminta bantuan ke Bapak Bupati, Pak Wahyudin Pora saat itu. Kata aku, Bapak, baiknya minta bantuan saja sama Pak Bupati, mugkin ada proyek fisik yang nilainya kecil-kecilan diberikan ke bapak via pihak ketiga, nanti bapaknya terima vinya saja dari pekerjaan itu, gimana bapak.? Pasti Pak Bupati mau, lagian kan bukan uang dia (bupati), lanjut aku.. Tak lama kemudian Bapak pejabat itu kemudian menanggapi pernyataan aku itu. Dia mengatakan, sepertinya tidak enak kalo ngeluh proyek ke Pak Bupati. Namun bagi dirinya solusi untuk mengatasi masalah yang di hadapinya, dia telah berkonsultasi dengan Pak Bupati tapi sampai sekarang belum ada sinyal dari pak bupati. Aku sempat terdiam, namun di dalam hati sempat bertanya, kira2 solusi solusi apa, dan sinyalemen seperti apa yang belum dia terima dari pak bupati. Pernyataan ini membuat aku terus mengejar subtansi dari pernyataan bapak pejabat itu. Disela-sela pembicaraannya, aku langsung saja mengintrup, Pak..pak.. maaf..sebentar saya potong pembicaraan bapak, katanya sudah mengkonsultasikan masalah bapak dengan Pak Bupati, tapi kenapa masih mengeluh? Bukankah sudah clear semua masalahnya tuh? Emangnya Pak Bupati mau bantu apa, dan cara apa yang bapak lakukan sehingga Pak Bupati "mengamini" dengan cara membantu bapak?.. Mendengar pertanyaan itu, Bapak pejabat itu kemudian tertawa, dan mengatakan kepadaku, Lafdi…supaya ngana (kamu) tahu, pak Buapti juga manusia yang punya perasaan, tidak semua kebijakan yang di ambil itu bersandar pada aturan, akan tetapi dari sisi kemanusiannya di pertimbangkan juga. Trus gimana caranya pak??..tanya aku. Menurutnya sangat sederhana, caranya datang ke Pak Bupati dan minta satu SPPD untuk perjalanan ke Jakarta, uang sisa perjalanannya nanti masih cukup untuk memperbaiki rumahnya, katanya singkat. Lho koq bisa pak, emangnya gak apa2 kalo cara itu yang ditempuh, apa tidak ada masalah yang muncul dikemudian hari, ketika diaudit dan dikatakan temuan? tanya aku selanjutnya. Gampang katanya, Bapak pejabat itu kemudian menceritakan seperti ini,; lafdi, sebelum saya menghadap Pak bupati untuk meminta satu SPPD ke jakarta, saya harus menghubungi jaringan saya di departemen yang ada di jakarta dulu . Saya “atur” bersama mereka untuk merekayasa suatu rencana kegiatan nihil di jakarta. Dan saya menyuruh mereka Faks ke daerah. Nah, ketika suratnya sudah di tangan saya, itu merupakan alasan saya menghadap Pak bupati untuk meminta satu Perjalanan dinas. Dan saya tidak lupa ngengungkapin unek-unek dan keluhan saya ke pak bupati, bahwa jika pak bupati memberikan kesempatan ini kepada saya untuk pergi ke jakarta, maka dengan sendirinya pak bupati juga bantu saya untuk memikirkan tentang masalah saya.
Ternyata, alasan untuk mendapatkan SPPD fiktif berbeda-beda. Bukan karena alasan yang mengada-ada seperti rehabilitasi rumah/pembuatan rumah, akan tetapi, anak sakit, dan anak mereka sekolah yang membutuhkan biaya , adalah sederetan masalah yang mereka harus merunduk dan memegang "kemaluan"nya di hadapan Pak bupati untuk mendapatkan SPPD dengan berkedok dibalik selembar surat kegiatan dari Departemen atau lembaga terkait di Pusat. Semoga Pak Bupati Halmahera Barat yang sekarang ini, tidak tertipu dengan foya-foriki yang lakoni oleh pejabat Pemerintah daerah seperti cerita di atas.

Baca Selengkapnya......

Kamis, 19 Februari 2009

MENAPAK KNPI HALBAR 2009-2011.

Pada bulan September 1995, di Hotel Fairmont, San Francisco [AS] berkumpul para pengendali perusahaan multinasional [TNC], ahli-ahli ekonomi dari Harvard, Oxford, Sanford, dan pemimpin politik dunia yang membicarakan tentang “ Tatanan baru menuju Abad 21”. Pembicaraan ketat berlangsung di tempat tersebut dengan masing-masing orang mendapat kesempatan berbicara tidak kurang dari 1,5 menit. Pembicaraan yang dihadiri tokoh-tokoh penting tersebut menghasilkan satu kesimpulan bahwa : Dunia ini cukup diatur oleh 20% dari seluruh penduduk bumi. Artinya hanya dengan 20% manusia saja bumi ini bisa dikendalikan, (melalui perangkat teknologi dan ekonomi) tanpa harus mengurangi kualitas kemampuan kerja untuk tetap berjalan. Bagaimana yang 80% manusia yang lain? Mereka menyebutnya sebagai resep “tittytainment”, istilah yang diberikan oleh Haudegen Zbigniew Brezezinki, penasehat pertahanan presiden Jimmy Carter. Satu resep sejenis doping candu yang dapat membuat manusia berada dalam kesenangan tetapi sekaligus kehancuran.. Dalam konteks kedinamikaan Pemuda di Halmahera Barat kedepan sanggupkah kita sebagai elemen muda duduk dalam suatu pertemuan dan menyepakati bahwa jazirah Halmahera Barat cukup diatur oleh 10% orang-orang muda dari jumlah penduduk Halmahera Barat yang ada. Benar atau tidak, saat ini ada kecenderungan kuat ke arah itu.. Akan tetapi model mengendalikan tatanan masyarakat bukan melalui perangkat teknologi dan ekonomi, melainkan politik ekonomi kekuasaan yang mereka miliki.

Lihat saja saat ini, di Halmahera kurang lebih 90% tokoh muda yang menjadi caleg, menjadi pengusaha/pedagang/, birokrat dan lain sebagainya. Jika demikian, maka kedepan kaum muda kita hanya berkutat pada wilayah politik ekonomi kekuasaan, sehingga membuat kekosongan pada wilayah kebangsaan lainnya, khususnya pada ruang teknologi. . Itu artinya bahwa pada Era Globalisasi dan liberalisasi yang menuntut adanya spesialisasi kerja, boleh jadi akan menjebak kaum muda karena rendahnya daya saing skill dan pengetahuan yang dimilikinya.

Saat ini, seiring dengan gelombang demokratisasi, kita menyaksikan pertumbuhan organisasi-organisasi non-pemerintah (OKP, NGO dll) berkembang untuk memberikan respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi bangsa kita. Pada tingkat Nasional sebagai salah satu segmen kunci masyarakat sipil (civil society) di Indonesia dan Khususnya Halmahera Barat, maka KNPI dituntut untuk memainkan peran penting pada agenda isu-isu yang terkait kebijakan-keijakan diantaranya; biaya pendidikan murah, pelayanan kesehatan yang murah, penurunanan angka kemiskinan, penanggulangan pengangguran, perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia, kampanye HIV AIDS, kampanye anti Narkoba, gender, serta pembangunan sosial ekonomi masyarakat kita.

KNPI saat ini, tidak dapat lagi menyebutkan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang melakukan pengawasan dan kontrol terhadap lembaga-lembaga negara. Peran ini juga dilakukan media, akademisi, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Tanpa suatu terobosan dalam membangun hubungan dan interaksi dengan pemerintah, parlemen, sektor swasta dan lain-lain akan sulit mendapatkan pengakuan tentang kontribusi ber- KNPI-an kita kedepan terhadap publik. Bagi saya, KNPI adalah sebuah institusi kepemudaan yang memiliki nilai-nilai-nilai independesi, oleh karenanya bukan sebagai agen pemerintah, melainkan mitra pemerintah. Jika KNPI berada pada ruang ini, maka semestinya KNPI harus mengedepankan sens of sensibility dan sens of responsibility terhadap nasib dan kepentingan masyarakat. Sehingga kedepan, bagi saya, KNPI dalam memainkan peran atas respons terhadap kebijakan pemerintah, tidak harus secara konfrontatif dan demonstartif, melainkan metode gerakan Konsep, lobbying dan negosiasi.

Pada sisi lain, yang terjadi pada bangsa kita akhir-akhir ini adalah, struktur tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara mulai kembali mengalami krisis, mulai dari ekonomi, social, budaya, politik, hukum, pendidikan, agama dan sebagainya. Misalnya ekonomi, harga sembako yang mulai tidak terjangkau, kenaikan BBM dan lemahnya usaha-usaha kerakyatan. Kemudian urusan sosial, maraknya kriminalitas, dan kemiskinan. Urusan budaya, menurunnya semangat kebersamaan bangsa serta egoisme kesukuan/primordialisme yang tinggi, sehingga boleh jadi mengancam plurlisme budaya. Pada konteks ini, KNPI kedepan sangat berkepentingan membangkitkan kesadaran pemuda di Halmahera Barat sebagai perwujudan dari pembangunan peradaban itu sendiri.

Fenomena segregasi sosial dikalangan pemuda pada tingkatan lokal masyarakat Halmahera Barat, sepertinya membuat keropos semangat solidaritas dan soliditas antar sesama kaum muda. Situasi ini pada akhirnya berimplikasi terhadap menjamurnya organisasi tanah-tanah yang semestinya disadari sebagai antitesis dalam merespons kedinamikaan peran-peran KNPI sebagai wadah berhimpun OKP di Halmahera Barat selama ini. Akan tetapi, proses antitesis sebagai bentuk dialektika, selama itu pula terjadi ketidakjelasan arah dalam melaksakan fungsi dan perannya. Idealisme yang awalnya dikehendaki menjadi sebuah sikap, berubah menjadi sikap gaga-gagahan yang cenderung pragmatis. Ketidakjelasan arah, carut marut metode gerakan, dan ketidakjelasan Organisasi, sebenarnya merupakan cermin dari suatu krisis ideologi yang sedang terjadi. Boleh jadi jika situasi tersebut terus berlanjut, maka proses menuju OKP GAGAL (Failed Organisation) di Halmahera Barat tidak bisa dibendung. Ideologi penting menurut saya, karena dengan ideologi kita dapat menjelaskan bagaimana masa lalu membentuk masa kini, dan bagaimana masa kini akan membentuk masa depan. Ideologi akan memberikan arah tindakan yang dirancang untuk mencapai masa depan yang diinginkan.

Dari sisi internal Organisasi dan anggota KNPI serta hubungan eksternal organisasi KNPI dengan anggota Organisasi lainnya, semangat kebersamaan masih tetap dibangun, dan bukan menjadi masalah. Atau dengan kata lain, Hubungan kebersamaan dan atau solidaritas sesama kaum muda pada level instutusi bukan menjadi perkara. Yang menjadi masalah adalah apa yang hedak kita (setiap organisasi ini) perbuat untuk bangsa dan daerah yang kita cintai ini. Sebab saat ini, ada beberapa faktor yang sama sekali tidak nampak pada kita, yaitu kejujuran dan keterbukaan. Rendahnya sikap keterbukaan dan ketidakjujuran tersebut, disebabkan oleh hancurnya modal sosial yang dimiliki oleh sebuah institusi organisasi.

Oleh Karenanya,membangun semangat nasionalisme atau kebersamaan antar sesama anggota dan Seluruh elemen muda dihalmahera barat melalui kegiatan silaturahmi, menggelar forum curhat secara periodik baik secara internal KNPI maupun eksternal, sangat mendesak untuk di lakukan. KNPI Halmahera Barat kedepan, di fardhukan melakukan pembenahan dan perubahan pada tingkatan manajemen organisasi layaknya club sepak bola, maka KNPI kedepan diharuskan memiliki manajer, marketing club, pelatih dan pemain yang handal. Semua harus bersatu padu, sehingga mampu bergerak menembus pasar, meraih simpati penonton agar tetap loyal, namun tidak juga menegasikan mekanisme legislasi yang terdapat pada aturan main organisasi (AD/ART).

Baca Selengkapnya......

Rabu, 18 Februari 2009

Mekanisme Penyelesaian Konflik Produksi Pertanian Pada Komunitas Petani di Desa Susupu - Halmahera Barat.)

Komunitas petani kelapa di desa Susupu Kecamatan Sahu Halmahera Barat, memeliki pilihan tersendiri terkait dengan mekanisme sosial penyelesaian konflik produksi. Terdapat kecenderungan menggunakan kemampuan magic untuk mengantisipasi hilangnya tanaman, rusaknya tanaman dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggungjawab. Bagi masyarakat di di desa ini sering menyebutnya sebagai matakau. Cara membuatnya tentu berbeda-beda dan sangat sederhan. Namun umumnya mereka sering menggunakan botol dan didalam terdapat air yang telah dibacakan mantra-mantarnya kemudian diujung botolnya diikat kain berwarna merah dan digantung pada pohon yang terletak di tengah-tengah dusun. Cara ini sangat dipercaya bagi masyarakat disekitarnya, dan pada umumnya masyarakat Halmahera Barat.

Jika terdapat ”matakau” di salah satu dusun, maka dusun tanaman itu akan aman dari niat dan perilaku orang yang sengaja merusak maupun mengambil sesuatu yang berada dusun itu. Jika seseorang itu mempunyai niat mencuri sesuatu tanaman/buah-buahan dan lain-lain didalam dusun itu, dan mewujudkan niatnya dalam bentuk tindakan mencuri maka ”matakau” pasti mengena dirinya. Bagi masyarakat didesa ini, jika ada seseorang yang sudah terkena matakau karena tindakannya, mereka meyakini orang yang seperti itu akan terkena sakit perut didaerah dusun dan tidak bisa jalan, atau terdiam dibawah pohon selamanya. Terkecuali pemilik kebun datang dan membebaskannya dengan mantra yang digunakannya. Bagi mereka hal ini penting dilakukan untuk memberikan pelajaran bagi mereka yang sering mencuri hasil-hasil dusun yang bukan miliknya. Korban ”matakau” sering kali diadili oleh si pemilik dusun dan kemudian selanjutnya dibawah langsung ke kepala desa dan pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti penyelesaian kasusnya sesuai hukum.

Di sisi lain, budaya sasi juga, ternyata tidak hanya berlaku pada tardisi masyarakat maluku di Ambon dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alamnya. Sasi sebagai bagian dari otoritas lokal, juga terdapat pada masyarakat sahu, khususnya didesa Susupu Kecamatan sahu. Sasi yang selama ini di claim sebagai tata pengaturan masyarakat Ambon khususnya dalam pengelolaan dan pemanfatan sumber daya alam, ternyata boleh dibilang keliru. Dari sisi bahasa, ternyata budaya sasi sudah ratusan tahun tumbuh di daerah maluku utara.. Dilihat dari asal kata sasi sendiri berasal dari bahasa ternate yang artinya, sumpah.

Sumpah atau sasi bagi masyarakat maluku utara, khususnya didesa Susupu diberlakukan atau diterapkan karena atas dasar ketidakpuasan atas suatu masalah hak kepemilikan atau pengaturan Sumber Daya Alam, dan perselisihan antara dua belah pihak yang tidak ada titik temu, seperti halnya tanah, tanaman, dan lain sebagainya. Bagi masyarakat setempat melihat masalah tersebut sebagai “harbata” atau perselisihan yang tidak ada akhir penyelesaiannya secara damai. Jika tidak terdapat penyelesaian terhadap suatu masalah yang mempunyai kaitannya misalnya dengan tanah, dusun, pohon kelapa dan lain sebagainya, biasanya kedua belah pihak di bawah kepada pihak pemerintah desa setempat untuk diselesaikan. Namun jika pihak pemerintah desa tidak mampu melerai dan menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak yang berseteru itu, maka kedua belah pihak tersebut akan digiring oleh peihak pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama menemui para imam sigi lamo atau masjid besar, dan jomoding/petugas harian Masjid, beserta para khatib untuk diselnggarakannya proses sasi di dalam masjid.

Sasi toma kalammullah atau proses sumpah dihadapan mihrab masjid merupakan solusi penyelesaian atas masalah kedua bela pihak. Saksi-saksi yang mengahdiri proses itu terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, imam masjid besar, dan para jomoding. Prosesi sasinya berlangsung dengan diletakannya kitab suci alquran diatas kepala masing-masing kedua bela pihak, dan para saksi memerintahkan kepada kedua belah pihak secara bergantian untuk si bobeto. Si bobeto artinya memerintahkan kepada kedua belah pihak yang bermasalah untuk mengeluarkan perkataan sumpah yang ditujukan kepada pihak pertama, begitupun sebaliknya. Sumpah yang mereka keluarkan pada saat proses sasi tentu sangat bervariasi, sesuai kehendak mereka. Dan bagi masyarakat setempat mereka umumnya percaya akan akibat dari sasi ini. Saya pernah menelusuri pelaku-pelaku yang pernah bertikai masalah lahan kebun kelapa diantaranya Om Malik.

Om Malik ini pernah bertikai dengan saudaranya yang bernama Om Baba, karena masalah lahan kelapa pada tahun 1990. Menurut Om malik tanah yang dia dapatkan adalah berasal dari warisan kedua orang tua mereka ( Om Malik dan Om Baba), namun saat menerima warisan tanah dari orang tua mereka, tanah tersebut sangat sedikit sekali ditanami pohon kelapa. Hingga pada saat itu diapun segera melakukan pembibitan dan menanam pohon kelapa diatas tanah warisan orang tua mereka. Suatu ketika Om Malik pergi merantau tepatnya di Pulau Bacan Halmahera selatan. Kurang lebih 15 tahun Om Malik berdiam diri dibacan bersama istrinya. Karena rindu akan kampun halamannya Om Malikpun pergi meninggalkan daerah bacaan, dan memilih pulang kekampung halamannya di desa Susupu untuk berkumpul bersama keluarganya dan berkesempatan untuk mengelola tanah orang tuanya yang telah dia tanami pohon kelapa. Namun, sesampainya dia dikampung halaman dia tidak diberikan kesepmpatan oleh saudaranya Om Baba untuk mengelola tanah warisannya. Karena menurut Om Baba, selama 15 tahun semenjak dia pergi Om Baba lah yang merawat dan memeliharnya. Menurut Om Malik, apa yang dikatakan saudaranya itu benar, oleh karenanya dia meminta untuk mengelola sebagianya, dan sebagiannya lagi untuk Om Baba. Akan tetapi Om baba bersikeras untuk mempertahankan lahan dan isinya, bahwa dia lah yang harus mengelolanya. Perselisihan pun terjadi, tidak ada titik penyelesaian sehingga baik om baba, dan malik digiring didepan kalammullah (didalam masjid tepatnya didepan mihrab) untuk dilakukan proses sasi. Baik Om Baba dan Om Malik, masing- masing mereka diberikan kesempatan untuk mengeluarkan bobeto. Om malik menceritakan bahwa persitiwa itu cukup menegangkan karena takut akan akibat yang akan ditanggungnya kedepan. Pada kesempatan itu bobeto yang disampaikan om Malik adalah sebagai berikut: Insya Allah fangare lahi jou Allah Ta’ala, kalo gogou igo gena fangare gia sebadan kama boboho ua, fangare dahe bahala, cobo fangare na durengo ida bicara se iwaro fangaere na gia se badan na boboho karna igo enagena, ngon oro, tapi ngon se ngofa sedano tero panyake pado. ( artinya : saya minta Kepada Allah Swt, kalau benar-benar pohon kelapa itu tangan dan badan saya tidak lelah, maka saya akan dapat kutukan, namun jika keringat saya dapat bicara dan tahu bahwa badan dan tangan saya ini cukup dan sangat lelah atas kelapa yang ditanam itu, saya tidak akan minta apa2 dari hasil itu, tapi kamu (Om Baba) jika kamu tetap ambil dan makan pohon kelapa yang saya tanami, maka anak dan cucumu akan terkena penyakit kusta). Demikianlah penyampaian bobeto yang dibeberkan Om Malik kepada Om Baba. Setelah selesai proses sasi di masjid, bagi masyarakat, mereka yakini akan datang kebenaran dan sanksi dari Allah Swt terhadap pihak yang dianggap benar dan salah. Menjelang setahun kemudian Om baba menderita sakit, jari-jari tangannya perlahan-lahan habis dimakan waktu. Menurut ceritanya, diapun kemudian dilarikan ke rumah sakit. Dan ternyata sakit yang diderita adalah penyakit kusta menurut dokter. Hal inipun tidak berlaku pada om baba, hingga hari ini ibu dan anaknyapun menderita penyakit yang sama, yakni penyakit kusta. Berbagai upaya pihak keluarganya menelusuri sebab musabab, tidak hanya dari sisi medis, namun dari kekuatan supranatural ternaya menditeksi penyebab sakit disebabkan oleh karena persoalan perebutan lahan.

Cerita Om malik dan Om baba ini merupakan sedikit dari sekian banyak kasus yang disasi didesa Susupu. Jika ada lahan, dan pohon kelapa maupun sejenis tanaman lainnya yang sedang disasi, maka pasca gelar sasi, kedua belah pihak bersama kelurganya masing-masing tidak akan bisa menikmati atau memiliki apa yang diperebutkannya. Jika satu diantara mereka melanggar “aturan sasi” yang digelar didalam masjid, maka dia akan terkena sanksi/bahala. Terkecuali jika mereka menganggap bahwa satu diantara mereka benar-benar berada pada posisi yang benar dalam kasus dimaksud. Terkadang kedua belah pihak takut mengelola apalagi menikmati apa yang menjadi sumber perebutan mereka, misalnya lahan atau pohon kelap dan sejenis tanaman lainnya. Sehingga kebanyakan lahan yang di sasi, di kelola oleh orang lain diluar dari keluraga kedua belah pihak yang berseteru, dan hasil dari lahan tersebut diberikan kepada masjid.

Kemampuan masyarakat mengatur aturan main dalam hubungan sosial di masyarakat, sebagaimana ditunjukkan dalam keseharian masyarakat Sahu, memperlihatkan kepada kita bahwa sesungguhnya masyarakat mampu mengatur proses sosialnya, termasuk dalam hal ini menetapkan sanksi-sanksi sosial mereka. Sanksi-sanksi sosial dan adat dalam masyarakat menunjukkan kepada kita bahwa di dalam masyarakat tak hanya ada satu hukum negara yang mengatur hubungan sosial melainkan ada hukum sosial yang disusun masyarakat sendiri. Tertib social (social order) yang ada dalam masyarakat sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum (legal order) yang diproduksi Negara, juga bukan ketertiban yang berlangsung dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai sikap taat yang spontan dan otomatis (outomatic spontanaeus submission to tradition)

Kemampuan masyarakat menciptakan aturan main, memberi makna dan kategori secara beragam dan berubah sepanjang waktu mengenai hukum yang berlangsung dalam kehidupan sosial mereka, menginspirasi Moore, Sally Falk, 1978, untuk mengemukakan pandangannya mengenai hukum sebagai proses. Ia menganggap masyarakat sebagai semi outonomous social field yang dapat membentuk hukum. Semi outonomous social field menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat dapat memiliki kapasitas untuk membentuk aturan (rule-making capasities). Bagi Moore, hukum (law) adalah self regulating dari semi outonomous social field. Pandangan ini menurut Moore sangat penting untuk melihat konteks masyarakat yang tak selalu berada di bawah subordinasi aturan yang diproduksi Negara, melainkan senantiasa berkembang sesuai dengan konteks dinamika social masyarakatnya, dan integral dalam perilaku masyarakatnya.

Baca Selengkapnya......